23-Penuh Sayatan (2)

3 0 0
                                    

Hallo, balik lagi sama aku..
Kita lanjutin yang kemaren yaa..
.
.
.
.
Happy reading All

    Ujung bibirnya terangkat ketika melihat jendela Viona tergerak, batinnya penuh harap Viona mau mendengarkan penjelasan darinya. Namun, Sean kembali murung ketika mendapati Viona yang justru menampilkan tubuhnya di jendela. Itu berarti ia tak ingin mendengar penjelasannya. Sean menatap sendu tubuh Viona yang terlihat sangat lemas, ia juga mampu melihat raut wajah Viona yang sembab dan penuh air mata.

   "GUE MOHON DENGERIN GUE DULU, VI! LO SALAH PAHAM, DIA YANG JEBAK GUE. BAHKAN GUE NGGAK NYENTUH DIA SAMA SEKALI!" teriak Sean dari kamarnya. Belum selesai Sean berbicara, ia sudah tak melihat Viona di jendela kamarnya. Sepertinya Viona benar-benar menghindarinya. Ia menghela napas panjangnya.

  ****

    Viona membuka matanya, ia merasa sudah terlalu lama menangis tanpa peduli dengan keadaan dirinya sendiri. Sejak pulang dari sekolah tadi, ia belum memasukkan makanan apapun untuk mengisi perutnya. Ditambah dengan perasaan yang sangat mengganjal menambah pilu di hati dirinya.

   "GUE MAU NGOMONG SAMA LO, KALAU LO MAU DENGER, BUKA JENDELANYA! KALAU LO NGGAK MAU, LO BISA TUNJUKKAN DIRI LO DI JENDELA."  Suara Sean terdengar sangat memuakkan di telinga Viona. Untuk saat ini, ia masih belum ingin mendengar dan berhubungan dengan apapun yang berkaitan dengannya.

   Dengan terpaksa ia berjalan pelan ke arah jendela, ia menampilkan dirinya dan menggerakkan jendelanya hingga ia dapat melihat Sean tersenyum padanya, tetapi dengan cepat ia menutup jendelanya dan kembali berjalan ke arah kasur. Ia belum ingin mendengar suara Sean.

   Ia melirik ponselnya yang bergetar, air matanya meluncur dengan cepat ketika mendengar suara dari seberang, bahkan rasa sakitnya melebihi rasa sakit yang sedang ia rasakan saat ini.

   Mama dan Papa meninggal baru saja karena terlibat kecelakaan sebelu menuju bandara. Dia ingin cepat bertemu kamu, dek, tapi Tuhan lebih ingin cepat bertemu dengan Mama dan Papa.

   "ARGGH! KENAPA SESAKIT INI, TUHAN? GUE BELUM BISA TANPA MEREKA! GUE MASIH SAYANG MEREKA!" Viona meluapkan semua rasa sakitnya dengan berteriak keras. Ia meremas kesal sprei kasurnya, kemudian berlanjut memukuli dada dengan kepalan tangannya sendiri, semua aksinya membuat ia kehilangan kesadaran.

   Matanya mengerjap menyusahkan cahaya  di sekitarnya. Mengapa tempat ini terasa asing baginya? Ya, ini bukan kamar Viona, bukan tempat yang tadi menjadi tempat dirinya tak sadarkan diri. Suasana ini tampak seperti rumah sakit.

   "Sayang? Kamu sudah sadar?"

   Suara itu lagi? Mengapa Viona tak bisa lepas dari suara berat itu? Air matanya kembali meluruh untuk yang ke sekian kalinya, ia percaya kabar yang sang kakak berikan adalah mimpi buruk di tidur siangnya.

   "Kenapa gue ada di sini?" tanya Viona ketus, meski begitu lelaki di sampingnya menatap Viona dengan tatapan hangat.

   "Kamu pingsan. Bunda yang menemukan kamu nggak sadar di kamar. Tenang aja, Bunda yang bawa kamu kemari," jawab Sean dengan penuh senyuman. Ia mengerti jika Viona masih tak ingin berhubungan dengannya.

   "Di mana Bunda?" tanya Viona lagi.

   "Bunda di sini, sayang. Kamu sudah sadar?" Wanita paruh baya menghampiri brankar Viona. Dengan cepat Viona memeluknya dengan tangisan yang kembali terdengar.

From Neighbour To Life FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang