Chapter 20 : Do we feel the same way?

520 48 15
                                    

"Mau kemana, Sasuke?" Kiba menatap Sasuke yang tiba-tiba berdiri dari tempatnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau kemana, Sasuke?" Kiba menatap Sasuke yang tiba-tiba berdiri dari tempatnya.

"Mencari udara segar" Ia pun melangkahkan kakinya menuju pintu, tak lupa menatap Hinata sekilas. Mengapa wajahnya merah sekali?

Hinata langsung menunduk dalam-dalam berusaha menetralkan degup jantungnya yang sangat cepat, bahkan sedikit nyeri.

'Tenang Hinata, mungkin ini adalah waktu yang tepat. Apakah benar begitu? Ya, mungkin? Tapi.. Argh! aku tidak mengerti,sungguh!'

Hinata menjambak rambutnya dan menutup matanya rapat-rapat. Tidak bisa, ia tidak sanggup jika harus bertatapan dengan pria itu lagi.

Shikamaru melihat Hinata yang sibuk sendiri lalu menguap, ia seperti sudah memprediksi apa yang akan terjadi nantinya.

Belasan menit berlalu, Hinata semakin tenggelam dalam pikirannya di saat yang lain semakin berisik dan bersenang-senang.

Baiklah, ia akan menemui Sasuke sekarang. Ia siap dengan apa yang terjadi kedepannya.

Ia meneguk air putih yang tersisa di gelasnya lalu berdiri, tidak ada yang menyadarinya karena mereka benar-benar sibuk dengan dunianya. Ia pun bisa dengan leluasa melangkah keluar Tavern.

Byakugan-nya aktif dan langsung mencari keberadaan si Uchiha bungsu itu. Astaga, baru mencarinya saja jantungnya kembali berdetak cepat.

Pria itu berdiri tak jauh dari Tavern, di pinggir danau yang tak begitu besar. Ia menghembuskan nafasnya lalu berjalan ke tempat itu.

Tak sampai lima menit ia sudah berada di balik pohon besar. Ia mengintip, lelaki itu tampak sedikit jenuh menatap danau yang tenang. Hinata kembali bersembunyi, baru saja ia ingin menghembuskan nafasnya langsung tertahan karena suara tenang itu sedikit mengagetkannya.

"Keluar, untuk apa kau bersembunyi disitu?" Sasuke menatap pohon besar nan lebat itu.

Sesuatu yang tak terlihat berhembus dari arah barat ke timur membuat beberapa benda bergerak searah. Keduanya sama-sama menyisir rambut yang menghalangi wajah mereka karena terpaan angin.

Air menggenang di iris gandarianya, tak cukup tempat lagi untuk menampungnya. Perlahan air matanya jatuh mengenai sepatu putihnya karena ia menunduk.

Tidak peduli akan diejek cengeng atau lebay, meski hanya dua minggu tak bertemu ia sangat merindukan suara lelaki itu. Bukan suaranya saja, tapi segala sesuatu tentangnya.

Memang benar, rindu itu berat.

Genggamannya pada harpin cantik itu menguat, ia baru menyadarinya sedari tadi ia membawa hairpin itu. Hilang sudah jejak air mata di wajahnya, dengan keberanian yang ia punya, ia pun melangkah keluar dari persembunyiannya.

Serendipity In Another Life Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang