Bab 6

1K 137 25
                                    

"Mas, kamu sayang aku nggak?"

Oki tidak tahu, kenapa pertanyaan basi itu harus keluar dari bibir perempuan. Memangnya tidak terlihat? Ia saja yang jelas-jelas diabaikan memilih tidak bertanya. Oki merasa aneh jika pertanyaan itu keluar dari perempuan yang masih ditatap lembut oleh suaminya.

Apalagi, kalau suaminya tidak ketus hanya gara-gara ditolak bercinta.

"Mas, nggak makan?" Jam sembilan malam, ia mendekati Oka yang sedang asyik menonton Youtube di sofa ruang tamu.

"Nggak," jawab Oka tanpa mengalihkan tatapan dari layar. Kamu pingin ditatap kayak gimana sih? Pertanyaan mengandung kesal itu kembali terlintas di kepalanya.

'Udah lama aku nggak ditatap kayak gitu sama suamiku sendiri...'

Sepintas curhatan di akun tulangrusuk kembali muncul di pelupuk matanya.

Alah alasan! Bilang aja kamu betah pandang-pandangan sama dia! Oka semakin mengeraskan rahang.

Sementara, Oki kembali menyelami raut ketus Oka. Kalau diingat-ingat, raut ketus ini muncul di pagi hari pasca malamnya ia menolak Oka yang ingin bercinta. Lalu tingkat keketusan itu bertambah saat mereka berselisih soal kurban. Ternyata ketusnya Oka awet juga. Oki sungguh sadar jika Oka masih menyimpan kesal. Ciri-ciri marahnya Oka itu sangat kentara. Selain silent treatment, Oka tidak akan memanggilnya dengan sebutan, Sayang atau Yang, seperti biasanya.

Sebenarnya, ia tidak ingin peduli. Tapi sudah tiga harian Oka melakukan silent treatment untuk menghukumnya. Sengaja menyiksanya. Oka tahu ia tidak pernah tahan dengan sikap yang satu ini, tapi selalu menggunakannya tiap kali ia tidak sepaham. Oka sengaja merusak suasana istirahatnya di rumah dengan bersikap diam dan menganggapnya tidak ada.

"Kamu kenapa sih Mas?" Ia yang sudah tidak tahan duduk di sofa yang sama.

"Nggak pa-pa."

"Mas...."

Oki segera mendapatkan tatapan Oka yang terasa begitu sengit. Ia dapat melihat seluruh kebencian berkumpul di sana. Penghakimannya akan segera tiba. Sepenuhnya ia akan menjadi pihak yang salah.

"Kamu tolak aku yang lagi pingin." Oka menatap sengit wajah Oki yang ia anggap berlagak polos. "Kamu tiba-tiba mau kurban sendiri. Oke, terserah kamu. Soal kurban aku udah nggak ngurusin lagi. Poinnya, kamu udah nggak butuh aku. Kamu sering lho nolak pas aku lagi pingin. Terus kamu masih tanya kenapa?" Oka menghela napas melalui bibir saat emosinya mulai memuncak.

Ya emang, kamu pernah mau gitu kalo dibutuhin? Oki menatap heran. Kamu biarin aku apa-apa sendiri. Terus sekarang kamu bingung kenapa aku nggak butuh kamu? Sebenernya, kamu yang butuh aku kan? Kenapa jadinya aku yang butuh kamu?

Namun, Oki memilih menahan rentetan kalimat yang menjadi jawaban dari pertanyaan Oka sebatas di benaknya saja. Ia tahu jawaban jujurnya akan semakin memperkeruh suasana.  Alih-alih memenangkan perdebatan yang tidak mungkin ia menangkan, karena Oka keras kepala, Oki memilih meredam situasi saja demi kewarasannya. Lagi pula, Oka tidak akan mengerti. Mau mereka berdebat sampai jelek sekali pun, Oka tetap tidak akan mau mengerti dan memilih menjadi pihak yang menang seperti biasanya. Oki pikir, lebih baik ia akhiri saja kemarahan Oka. Rasanya ia sudah stres melihat sikap ketus Oka.

"Kalau aku nggak minta ke kamu, aku minta ke siapa lagi?" sambung Oka dengan emosi tertahan. "Aku lagi pingin, terus kamu tolak aku. Coba kamu pikir, aku minta ke siapa lagi kalau bukan ke kamu?"

Oki terdiam memandang raut keras Oka. Yang barusan itu kalimat peringatan atau ancaman? Akan tetapi, Oki merasa yang diutarakan Oka memang benar. Siapa lagi yang menuntaskan hasrat biologis Oka jika bukan dirinya?

TULANG RUSUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang