"Enak ya sop-nya? Aaaa...."
Oka yang sedang duduk di balik meja makan mengamati sejenak Menur yang antusias menyuapi Zayyan.
"Tambah cocis Uti..." Zayyan melirik ke arah panci di atas kompor.
"Tambah sosis yaaa...." Menur segera menuju kompor dan menuang sup merah ke dalam mangkuk, kemudian kembali menyuapi Zayyan.
Sudut bibir Oka tertarik sedikit sebelum kembali menyuap ayam goreng dengan sambal bajak di piringnya. Sup merah dihidangkan di mangkuk terpisah. Sup andalan ibunya yang berisi sosis, wortel, kacang polong, makaroni, dan potongan dada ayam. Di atas meja masih tersedia perkedel kentang dan udang goreng tepung. Tadi pagi sebelum menjemput Zayyan, ibunya mengirimi foto menu makanan di atas meja dan siang ini ia memutuskan mampir.
Begitu tiba, ia segera menemukan kenyamanan.
Saat ia datang tadi, rumah baru saja selesai dibersihkan. Jejak aroma wangi karbol masih tertinggal. Ia melihat ayahnya sedang mengobrol dengan Pak Ali, tukang yang biasa dipanggil untuk bersih-bersih.
"Ini buat pencuci mulut." Menur mengeluarkan wadah berisi potongan semangka dari dalam kulkas. "Enak ayamnya?"
"Enak Ma!" Oka yang makan dengan lahap segera mengangguk.
"Papa semalem minta sup merah. Pagi tadi Mama langsung ke pasar, kebetulan semua bahan di kulkas habis. Papa lagi agak masuk angin jadi pingin yang anget-anget. Jadi Mama ke pasar, belanja, terus masak. Tadi Papa sudah makan duluan, sampai nambah nasi dua piring...." Menur terkekeh pelan yang turut menyeret senyuman Oka. Terselip kekecewaan yang selama ini hanya bisa ia pendam sendirian.
Oka yakin, di belahan Bumi mana pun setiap laki-laki menginginkan wanita yang bisa memprioritaskan keluarga. Selama ini ia tumbuh dan dibesarkan dengan melihat sikap seperti itu.
Ayahnya bertindak sebagai pencari nafkah dan memenuhi segala kebutuhan rumah tangga. Sedangkan, ibunya bertindak sebagai wanita yang mengurus rumah dan anak-anak. Oka tidak pernah melihat ibunya mengeluh atau menggerutu. Ibunya selalu tampak ikhlas dan bahagia saat mengurus keluarga.
Ibunya juga tidak pernah terganggu dengan pencapaian-pencapaian orang lain. Misal, ada saudara membeli gelang emas satu renteng, ibunya tidak akan panas lalu membandingkan pemberian ayahnya. Ibunya selalu tampak menerima dan segalanya berjalan baik-baik saja. Seumur hidup, ia tidak pernah mendengar ayah ibunya ribut-ribut. Ia hanya pernah mendengar ayah ibunya beberapa kali berdebat kecil, akan tapi tidak sampai bertengkar sengit seperti ia dan Oki.
Bagaimana bisa?
Ia sendiri juga heran. Tapi ia mengingat-ingat kembali bagaimana sikap ibunya yang cenderung tidak membantah dan menurut. Oka sempat mengira, orang tuanya jarang bertengkar karena ibunya penurut. Tetapi ia baru menyadari jika penilaiannya salah. Dalam beberapa hal, ia melihat ayahnya lebih sering menuruti keinginan ibunya. Lalu semakin ke sini ia mengerti, bukan wanita penurut yang menjadi poin dari kisah ayah ibunya. Melainkan sikap hormat.
Sikap hormat itulah yang membuat ayahnya menjadi laki-laki dengan sikap tenang di rumah, sehingga tidak perlu meninggikan suara. Oka percaya karena pada dasarnya, ayahnya adalah laki-laki yang baik. Ayahnya sungguh jauh dari perilaku berengsek dan tak bertanggung jawab. Maka sungguh amat pantas jika ayahnya mendapatkan seluruh sikap hormat ibunya.
Oka yakin laki-laki mana pun hanya ingin dihormati oleh wanitanya.
Wanita yang ngeyel menggugat, wanita yang merasa benar sendiri dan selalu menganggap diri sebagai korban, hanya akan menyeret amarah dan emosi laki-laki. Selama ini ia melihat semua sikap itu ada pada diri Oki.
Padahal ia tidak pernah memukul. Ia masih menafkahi penuh walau sempat ingin berhenti gara-gara Oki yang gatal dengan pria lain. Ia masih pulang ke rumah. Ia masih berfungsi sebagai suami dan ayah. Lalu Oki merasa korban dari apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
TULANG RUSUK
RomanceSelama ini Oka mengira pernikahannya sempurna dan baik-baik saja sampai ia mengetahui istrinya diam-diam mengagumi lelaki lain dan mengunggah semua kejelekannya. Istrinya bercerita melalui akun samaran, jika telah kehilangan rasa cinta dan hanya ber...