Bab 19

655 115 39
                                    

"Mbak Oki balik kantor sama siapa?"

"Sama Pak Sugeng."

"Keburu balik?"

"Kenapa?"

"Mau makan siang dulu? Kelihatan nggak semangat lho. Aku sama anak-anak mau makan martabak sama sate kambing. Ikut?"

Tawaran Bisma setelah meeting tadi membuat senyumannya kembali terbentuk samar.

Siang-siang makan kambing?

Tentu saja ia menolak halus ajakan Bisma. Tidak enak dengan para sales anak buah Bisma. Ia memilih kembali ke kantor dan saat ini sedang memantau status WhatsApp Anna, salah satu anak buah Bisma yang selama ini bertugas membantu perolehan merchant dan kartu kredit di cabangnya. Selama ini Anna rutin mengunjungi kantornya seminggu tiga kali, biasanya untuk mengurus aplikasi dan meminta tanda tangannya.

Di dalam status Anna Bisma terlihat duduk di belakang meja panjang dengan jajaran sales, tersenyum menatap kamera. Selanjutnya ia melihat menu sate yang terlihat menggiurkan, juga martabak yang tebal-tebal. Keinginan makannya sedikit terpancing, setelah seharian tidak begitu berselera. Kedua matanya melirik menu pangsit mie yang sudah disediakan office boy.

Oki memutuskan mengisi perut, karena kepalanya sudah terasa pusing. Ia menyeret wadah styrofoam ke hadapannya dan mulai menyantap makan siangnya yang terlambat. Ini sudah hampir jam tiga dan ia baru mengisi perut.

Sambil menikmati makanan yang terasa tawar di lidah, Oki menyempatkan untuk scroll media sosial. Ia ingin menyegarkan sedikit pikirannya yang lelah sehingga makan siangnya terasa hambar. Oki yakin bukan mie pangsitnya yang tawar, melainkan lidahnya karena ia tidak begitu berselera makan akibat suasana hati yang buruk. Tapi bayangan mengurus rumah dengan badan sakit memaksanya harus makan.

Ia pernah flu berat dan pagi-pagi tetap harus mencuci piring bekas makan malam Oka. Hanya satu piring, tapi Oka tidak pernah mau mencuci sendiri meski tahu ia sedang flu berat.

Pernah suatu ketika ia demam dan hanya berbaring seharian di tempat tidur. Saat menuju dapur, ia melihat tumpukan piring kotor bersama gelas-gelas yang berserakan. Seingat Oki, Oka hanya satu kali membuatkan teh ketika ia sakit saat awal-awal menikah dulu. Padahal ketika Oka sakit, ia selalu perhatian dengan membuatkan teh panas, menyiapkan obat, dan memasak sup. Tapi ketika gilirannya sakit, ia dibiarkan begitu saja. Oka bahkan tidak berniat meringankan sedikit saja pekerjaan rumah untuknya.

Oleh sebab itu, Oki melarang dirinya sakit agar tidak semakin tersiksa. Apalagi hubungannya dengan Oka sedang tidak baik-baik saja.

Seperti ini lah kehidupannya. Ia punya suami tapi merasa kesepian dan sendirian. Setelah menikah ia dibebani dengan seluruh pekerjaan rumah, padahal saat masih gadis dan tinggal di rumah orang tua, ia tidak harus melakukan itu semua. Daripada sibuk mengerjakan pekerjaan rumah, ibunya lebih senang melihat ia belajar dan gigih mencari uang. Ayahnya saja tidak pernah menyuruhnya menyapu dan mengepel rumah.

"Sudah, biar Ibu aja." Demikian ibunya selalu berkata. "Kamu belajar aja atau bikin gelang-gelang buat kamu jual. Jangan habisin waktu buat bersih-bersih terus. Kamu masih muda, kembangin aja potensi kamu biar kamu besok bisa cari uang sendiri. Jadi perempuan sukses, supaya hidup kamu besok jauh lebih enak daripada Ibu. Biar kayak orang-orang yang hidupnya enak itu, bisa bayar ART. Capek masak tinggal beli. Kalo ada uang, hidup kamu jadi gampang."

Dulu ia berpikir jika ia punya uang, semua akan berjalan sesuai nasihat ibunya. Ternyata, tidak juga.

"Besok kalo sudah nikah sama Oka, jangan pake ART yang nginep di rumah." Demikian pesan Menur satu bulan sebelum ia dan Oka menikah. "Bahaya."

TULANG RUSUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang