Bab 11

860 114 12
                                    

Ke mana kamu yang dulu?

Dini hari itu Oka masih duduk sendirian di ruang tamu. Menarik bantal, ia mulai merebahkan kepalanya. Ponsel masih dalam keadaan di-charger dan Oka tertarik membuka kembali folder yang berisi foto-foto lamanya dengan Oki.

Ia melihat foto selfie mereka berdua zaman masih pacaran dulu. Zaman itu Oki masih senang-senangnya tampil dengan rambut kecokelatan. Sementara ia di dalam foto masih terlihat kurus. Maksud Oka, lebih tirus dari sekarang.

Oka ingat saat usianya masih dua puluhan dulu ia masih punya waktu untuk berolahraga, merawat diri, dan memperhatikan penampilan. Tubuhnya dulu ramping tapi padat, dengan dada agak bidang dan perut yang kencang. Perutnya tidak sedikit buncit seperti sekarang. Ia dulu juga rajin melatih otot bisepnya sehingga percaya diri mengenakan kemeja lengan pendek di hari Jumat. Dulu Oki juga sangat suka bergelayut manja di lengannya. Sekarang otot bisep macho itu sudah hilang tergerus waktu.

Sekarang ia sudah bapak-bapak. Daripada mengejar otot bisep, ia memilih mengejar rezeki untuk keluarganya. Prioritasnya bukan lagi dirinya, tapi keluarganya.

Foto lama itu diambil di rumah ini. Saat rumah masih kosong dan hanya ada kasur busa juga tikar yang menjadi tempat bercengkerama mereka. Kenangan lama muncul kembali. Di atas kasur busa ciuman pertamanya dengan Oki terjadi, begitu juga hal-hal lainya.

Memang ide berkencan di rumah ini datang darinya. Ide itu muncul tiga bulanan setelah mereka resmi pacaran. Biasanya mereka berkencan di luar dan menghabiskan waktu di mall atau di kafe. Mereka memang jarang berkencan di rumah Oki yang saat itu masih sangat sederhana. Sejujurnya, rumah Oki juga tidak nyaman untuk berkencan meski saat itu mereka hanya duduk-duduk saja di teras. Lebih tepatnya di kursi plastik yang digunakan untuk berjualan rujak.

Oleh sebab itu, Oki lebih suka jika mereka kencan di luar. Tapi setelah tiga bulan ia menginginkan tempat yang lebih romantis. Maksud Oka, tempat yang lebih privat sehingga mereka bisa mengekspresikan cinta dengan lebih leluasa.

Pokoknya begitu.

"Mau lihat rumah aku nggak?" Oka masih mengingat pertanyaannya yang disambut positif oleh Oki. Jadi di suatu hari, tepatnya di Sabtu sore, ia mengajak Oki melihat rumah ini yang waktu itu masih kosong.

Oka masih ingat sebelum menuju ke rumah ini mereka menyempatkan mampir ke mini market untuk membeli minuman dan camilan. Sesampainya di sini, Oki langsung memuji rumahnya yang terlihat luas. Ia dengan sedikit malu memohon maklum karena saat itu hanya ada tikar. Benar-benar tidak ada apa-apa. Itu pun rumahnya terlihat bersih setelah pagi-pagi ia bersihkan terlebih dulu. Biasanya rumahnya kotor dan berdebu karena belum tentu sebulan sekali dibersihkan. Kebetulan beberapa hari sebelumnya ia sudah memanggil orang untuk memotong rumput yang sudah tinggi.

Oka ingat terselip penyesalan, karena tidak sempat membeli sofa. Saat itu pun di kamar mandi ia hanya menyediakan sabun batang dan gayung baru. Tetapi Oki melihat rumahnya dengan tatapan lebar, seolah melihat istana.

Hari itu duduk di atas tikar dan mengobrol sampai malam.

Akhir pekan berikutnya mereka kembali mendatangi rumah ini. Saat itu ia sudah membeli kasur busa. Mereka mengobrol ngalor-ngidul. Mengisi waktu dengan canda riang seperti biasanya. Tiba-tiba hening saat mereka sama-sama kehabisan topik.

"Mas Oka, pernah ciuman?"

Sungguh pertanyaan yang tiba-tiba itu membuatnya sedikit tercengang. Maksud Oka, pertanyaan menyerempet intim itu datang lebih dulu dari Oki. Namun ia segera menepikan herannya mengingat Oki memang sering bertanya ini dan itu. Lagi pula, mereka sudah sama-sama dewasa dan sama-sama mau. Ia menganggap Oki sudah mengerti maksudnya saat menyetujui berkencan di rumah kosong ini.

TULANG RUSUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang