Prolog

91 5 2
                                    


Terdengar seseorang itu meringis terus menerus. Lalu dengan tangan memegangi kepalanya yang terasa berat, ia mencoba mengatur napas lagi dan lagi. Ia merasa penyakitnya kembali kambuh.

Tok..tok

"Adek."

Belum sempat memejam, untuk sekedar mengistirahatkan diri. Pintu kamarnya diketuk pelan disertai panggilan namanya.

"Hara, ayo makan malam."

Suara lembut sang ibunda kembali terdengar pun membuatnya kembali tersadar dari lamunannya. Ia memutuskan bangkit dari tempat tidur, tapi baru beberapa langkah saja kepalanya terasa berputar.

Jika saja ia tak menopang tubuhnya dengan berpegangan pada tembok kamar, ia pasti terjatuh.

"Dek. Hara kenapa?" Ketukan pintu masih terdengar, bersamaan dengan itu ia terduduk di depan tembok putih itu. Ia menyandarkan kepalanya dan tubuh rampingnya.

"Bunda boleh masuk?" Hara menoleh kearah pintu kamarnya, kenop pintu nya sengaja diputar. Namun nihil, karena Sahara sengaja menguncinya.

Ia memang melarang siapapun untuk masuk kedalam bilik kamarnya ini, kecuali pembantu yang membersihkan kamarnya. Itupun tak lama.

Merasa tak ada suara dan ketukan lagi. Ia kembali memejam, meresapi setiap rasa sakit yang bersarang di tubuhnya. Bunda pasti mengira nya tertidur.

Walau begitu tak apa, Sahara memang sudah kebal dengan namanya kesepian dan sendirian selama ini.

Lalu beberapa saat kemudian, derap langkah kaki bertambah banyak, ia menerka mungkin saja ada dua orang yang menghampiri kamarnya.

Suara ketukan terdengar lagi. Ternyata, sang ibunda memanggil kakak nya.

"Hara, lo denger gue?"

"Bisa buka pintunya?" Sekali lagi. Namun yang dipanggil semakin memejam erat, pusing di kepalanya makin terasa. Ia tak tahu penyebabnya kembali seperti ini.

"Dek, bunda sama kak Tian masuk ya?" Setelahnya suara kunci dan pintu terbuka terdengar lalu dibarengi suara panik sang ibu memecah keheningan malam itu.

"Astaga, adek kenapa?!" Bunda menyentuh kening Sahara. Dan terasa panas.

"Bun— sakit.." Napasnya tercekat. Ia bingung ingin mengatakan apa. Karena pada dasarnya, seluruh anggota keluarganya tak ada yang tahu tentang kondisi fisiknya selama ini.

Entah memang benar-benar tak tahu, atau enggan peduli.

"Kak.." Yang dipanggil tersentak pelan. Septian sedari tadi diam dengan pikiran yang berkelana melihat kondisi mengenaskan adiknya.

Dan dengan gerakan terburu-buru, Septian menggendong Sahara keluar— menuju rumah sakit, lalu disusul bunda yang terlihat berkaca-kaca.

Bertepatan dengan itu, Samudra juga baru saja keluar dari mobil miliknya. Sam mengernyit melihat kakak nya menggendong si bungsu dan ibu yang terlihat yang menangis. Dan lagi mereka panik.

Dengan cepat, Samudra mengikuti mereka.

"Bun, ada apa?" Sang ibu menoleh dengan pipi yang sudah basah, membuat Samudra reflek mengusap airmata itu.

"Bunda nggak tahu, mas." Tepat setelahnya Septian menyuruh sang ibu untuk masuk. Mereka akan ke rumah sakit.

"Mas, tolong kabari ayah sama mas Satra ya?" Sam mengangguk, walaupun ia masih tidak mengerti dengan keadaan adiknya.

Didalam perjalanan, tangan bunda selalu setia menggenggam telapak tangan Sahara yang berkeringat dingin itu.

Lalu Septian dan bunda seketika menoleh bersamaan saat Sahara berucap dengan lirih dan dengan mata yang masih memejam erat menahan sakit.

"Bunda.. apa Hara harus sakit dulu supaya bisa diperhatikan sama kalian kayak gini?"[]

__________________

Gimana-gimana? Prolog nya masuk ga ke kalian?
Kalau gitu, sampai jumpa di chap selanjutnya(⁠ ͝⁠°⁠ ͜⁠ʖ͡⁠°⁠)⁠ᕤ

Jangan lupa votemen nyaa, aku maksa hehe(⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)

Need (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang