Kelopak bunga bertaburan di atas tanah yang sedikit menggunung. Wangi bunga itupun tercium kuat di indra penciuman. Karangan buket bunga lilly ikut memenuhi di sekitar batu nisannya.
Banyak orang berpakaian serba hitam mengikuti prosesi pemakaman ini. Dari kerabat hingga kalangan pebisnis lain yang merupakan kolega ataupun rekan kerja juga ikut menghadiri pemakaman.
Media pun dibuat geger ketika kakek yang merupakan pebisnis terkenal dan cukup berpengaruh itu meninggal akibat serangan jantung.
Banyak yang berspekulasi mengenai akibat kematian kakek yang mendadak, namun tak ada satupun dari keluarga Januartha yang berkomentar atau memberi tanggapan sedikitpun.
Proses pemakaman itu terjadi cukup khidmat tanpa adanya kendala sama sekali. Sampai akhirnya tinggal lah saudara terdekat saja yang berada di sana. Para wartawan dan rekan bisnis telah pergi beberapa saat yang lalu.
Sahara kini tengah berjongkok seraya memandangi batu nisan yang bertuliskan nama kakek dengan mata yang membengkak. Tak ada air mata yang menetes lagi di pipinya. Hanya saja meninggalkan luka yang mendalam dan berhasil membuatnya merasa pedih yang teramat sakit dalam hatinya.
Walupun ditemani oleh Aliya dan Nara di sampingnya, Sahara tetap tak menghiraukan kalimat penenang yang dilontarkan untuknya. Ia tetap diam seolah apa yang dikatakan oleh sahabatnya hanyalah angin lalu.
Tatapan kosongnya membuat Satra yang sedari tadi memperhatikannya di atas kursi roda merasa takut. Takut jika Sahara akan melakukan hal yang buruk dan juga, ia takut itu mengganggu kesehatan adiknya.
"Ayo pulang." Satra menoleh ketika Septian menarik kursi rodanya.
"Sahara—"
"Gue nanti ke sini lagi setelah anterin lo balik ke rumah sakit." Sela Septian dengan suara seraknya secara langsung.
Satra yang mendengar itupun menganggukkan kepalanya.
Septian mendorong kursi roda Satra hingga sampai di samping mobilnya yang terparkir. Dan di sana ada banyak pengawal dan juga Anton yang setia menunggu.
"Biar gue dianterin mereka. Lo bisa balik ke sana." Perintah Satra dibalas anggukan kecil oleh Septian.
Tepat setelah mobil yang ditumpangi Satra menjauh, Septian berbalik menuju makam kakek berada. Ketika berjalan, ia terlihat sibuk dengan pikirannya tapi seketika ia memijat kepalanya yang terasa berat.
Kemudian Septian berhenti saat sudah berada di makam kakek.
Septian menoleh ke arah kanan, tepat Sahara dan juga sahabatnya berada. Kedua sahabat adiknya itu terlihat mencoba menghibur Sahara tapi tetap berujung sia-sia, sebab Sahara berubah menjadi pendiam seperti ini setelah gadis itu memeluk Satra kemarin.
Kemudian, Septian menoleh ke arah kiri. Samudra dan Serina berdiri berdampingan menatap makam kakek di belakang ayah, bunda dan juga paman Bas. Sedangkan di depannya, Leo serta paman Diego berdiri dengan wajah menunduk diam. Paman Diego segera terbang pulang ketika Samudra mengabari tentang kondisi kakek yang memburuk.
Lain halnya dengan Septian, Samudra kini hanya diam persis seperti Sahara. Tatapan nya juga kosong. Samudra terkekeh geli dalam hatinya, rasanya baru kemarin ia mendapat pukulan sayang dari kakek ketika merecoki Sahara. Dan kini, hal itu tak dapat terulang lagi.
Semuanya telah berakhir dan menjadi kenangan yang akan mereka kenang selamanya. Baik Sahara maupun ayah— semuanya merasa kehilangan.
Paman Bas menepuk pundak ayah, pria itu pamit terlebih dulu— Leo pun menghela napasnya dan pergi mengikuti ayahnya. Di susul dengan ayah dan bunda, lalu paman Diego.
KAMU SEDANG MEMBACA
Need (On Going)
أدب المراهقينBELUM DIREVISI!! "Bunda.. apa Hara harus sakit dulu supaya bisa diperhatikan sama kalian kayak gini?" Jatuh-bangun Sahara melewati berbagai rintangan yang mengancam keluarganya. Namun, jika yang membawa malapetaka adalah keluarganya sendiri, apakah...