Chapter 3

858 77 16
                                    

Happy Reading, Love.

...

Yogyakarta, 15 Juli 2024

Selama tujuh hari terakhir, Dai berbagi kamar dengan Shun, seorang mahasiswa musik semester tujuh yang terkesan memiliki aura misterius dan tertutup. Sejak hari pertama mereka bertemu, perkenalan mereka tidak berjalan mulus. Perasaan canggung dan keengganan mengisi ruang antara mereka, seolah ada batasan tak tertulis yang membuat mereka saling menjaga jarak.

Ketika Dai bertanya apakah Shun ingin menggunakan kamar mandi lebih dulu, atau ketika Shun bertanya tentang bahan makanan yang Dai perlukan untuk memasak, interaksi mereka terbatas pada kebutuhan dasar. Percakapan tersebut sering kali terasa kaku dan formal, seperti dua orang yang terpaksa berbagi ruang tanpa saling mengenal lebih jauh.

Ada satu momen di mana Dai mencoba untuk menjembatani jurang pemisah tersebut. Suatu hari, setelah makan malam, Dai bertanya dengan penuh harapan tentang bagaimana hari Shun di kampus. Namun, jawabannya yang dingin dan penuh dengan nada sarkastik menyentuh Dai lebih dalam dari yang diharapkan. Shun hanya menjawab dengan singkat, "Seperti biasa, sibuk ga ada habisnya," sebelum mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah-olah percakapan tersebut tidak layak untuk dilanjutkan.

Dai tidak menyerah. Dia berusaha mengatasi hambatan yang ada dengan sabar, meskipun sering kali merasa diabaikan. Setiap kali mencoba untuk terlibat dalam percakapan yang lebih mendalam atau merencanakan kegiatan bersama, Shun selalu menolak mentah-mentah. Satu-satunya waktu mereka benar-benar berinteraksi adalah saat kebutuhan mendasar seperti berbagi kamar mandi atau bertukar informasi mengenai bahan makanan.

Shun jarang berbicara, hanya menjawab seperlunya, dan lebih sering menghabiskan waktu dengan memainkan alat musiknya atau menatap ke luar jendela dengan pandangan yang sulit ditebak. Dai merasa seolah tinggal bersama bayangan; Shun hadir secara fisik, tetapi sepertinya jiwanya melayang di tempat lain. Suara denting keyboard atau petikan gitar sering memenuhi kamar mereka, menciptakan atmosfer yang aneh namun menenangkan, seperti berada di dalam mimpi yang penuh misteri.

Kehidupan di asrama bagi Dai adalah sebuah perjalanan penyesuaian yang menantang. Sementara Dai berusaha menjalin hubungan dan memahami Shun lebih baik, ia sering merasa terjebak dalam siklus ketidakpastian. Meski begitu, Dai terus berusaha, berharap suatu hari nanti Shun akan membuka diri dan memberikan kesempatan untuk sebuah persahabatan yang mungkin akan membuat pengalaman tinggal di asrama ini menjadi lebih berwarna.

🌱

Malam itu, Dai merasa kelelahan setelah seharian penuh disibukkan oleh seminar yang menjadi puncak dari minggu yang padat. Saat tiba di asrama, ia mengira akan mendapati Shun sudah terlelap, terbungkus selimut seperti biasa. Namun, yang ia temukan hanyalah keheningan; Shun tidak ada di kamar mereka.

Ada perasaan aneh yang menyelinap di hati Dai, semacam kekhawatiran yang tak bisa diabaikan. Shun memang sering misterius, tetapi tidak pernah pulang selarut ini. Setelah membersihkan diri, Dai memutuskan untuk duduk di ruang bersantai dekat pintu masuk, menunggu kepulangan Shun sambil meneguk kopi hangat. Jam dinding terus berdetak, dan ketika jarumnya menunjuk pukul 2 pagi, kegelisahan Dai semakin menjadi. Hujan deras di luar tampak tak kunjung reda, menambah kecemasan di hatinya.

Untungnya, Dai pulang tidak sendirian. Ikuo, yang sengaja menunggu Dai  dan Alan setelah membantu menyelesaikan pekerjaan di kampus, telah memastikan mereka bisa pulang dengan aman menggunakan mobilnya, menghindari hujan deras yang mengguyur kota. Namun, meskipun ia sudah berada di tempat yang hangat dan kering, pikiran Dai tetap tertuju pada Shun yang belum juga pulang.

Setelah satu jam menunggu dengan gelisah, Dai dikejutkan oleh kedatangan Shun yang tiba-tiba di pintu asrama. Shun tampak jauh dari kata baik-baik saja; tubuhnya basah kuyup, rambutnya meneteskan air, dan gitar yang selalu menemani Shun juga basah. Dai segera bangkit dari tempat duduknya, rasa khawatirnya memuncak. Tanpa berpikir panjang, ia menuju ke arah Shun, menawarkan handuk kering dan bantuan agar Shun bisa merasa lebih nyaman.

Moonlit EmbraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang