Lahan-lahan yang di tanami kol, sawi, dan tanaman yang tidak Zeya kenali terhampar luas di depan mata. Ini seperti lahan pertanian di tengah hutan. Sangat tidak wajar.
Mobil papa terus berjalan membelah hutan yang kini di penuhi pohon-pohon besar di kiri kanannya.
“Sebentar lagi kita akan sampai di rumah kita.” Kata papa, masih tanpa menyunggingkan senyum.
Selanjutnya perumahan berbentuk komplek namun tidak seluas perumahan biasanya.
Rumah dengan gaya modern berwarna abu-abu terpampang jelas dan tampak lebih besar di banding rumah lainnya di sekelilingnya.
Rumah itu sepertinya dua tingkat, karena dari luar tampak sangat tinggi, dengan model atap yang datar.
Halaman rumah itu sangat luas dan di sana hijau, dengan rerumputan.Pohon palem setinggi tiga meter berbaris di sekeliling halaman itu menyerupai pagar.
Rumah itu tidak memiliki pagar. Zeya ragu telah bertengkar dan menuduh Papa seorang mafia.
Rumahnya sederhana saja, tidak berlebihan seperti yang Zeya bayangkan—bagaimana rumah mafia yang di film, yang begitu megah.
Bahkan rumah ini tidak memiliki pagar sebagai benteng perlindungan dari serangan musuh. Bahkan rumah oma saja memiliki pagar.
Hingga mobil itu menuruni tanjakan yang sepertinya ruang bawah tanah.
Ruang bawah tanah itu ternyata tidak hanya ada satu mobil tapi puluhan.
Nah ini sih mafia beneran.
Papa sedari tadi belum mengeluarkan sepatah kata pun.
Hingga seorang wanita paruh baya datang dan menyuruhnya untuk mengikuti dirinya.
Zeya di bawa ke lantai selanjutnya
Menuju ruang khusus untuk Zeya katanya.Wanita ini memperkenalkan dirinya sebagai tante Maria.
“Ini kamar Nona.” Kata tante Maria
“Saya tidak akan tidur di sini!” Tolak Zeya, dia sudah berjanji pada oma akan pulang nanti.
“Ya saya tahu.”
“Tetapi karena nanti malam akan ada acara makan malam keluarga, Nona harus ganti baju.” Tante Maria memberi penjelasan pada Zeya.
Zeya menatap dirinya dari atas sampai bawah, dia baru sadar, bahwa dia hanya mengenakan baju kaos dan celana jeans.
Pantas tante Maria menyuruhnya ganti baju.
Zeya penasaran mamanya di mana.
Hingga suara kencang seperti angin kencang, mengalihkan perhatian zeya untuk melihat keluar melalui jendela.
Dan ternyata helikopter terbang merendah karena ingin landing
Kemudian tiga orang turun dari helikopter itu.
Satu orang mengenakan hoody dan topi sehingga wajahnya tidak tampak.
Seorang perempuan paruh baya yang bergandengan tangan dengan seorang laki-laki paruh baya.
Beberapa menit kemudian."Nona saatnya turun untuk makan malam." Kata tante Maria menyuruhnya untuk segera bersiap-siap.
Zeya mengenakan dress berwarna silver, sesuai saran tante Maria.Ruang makan itu simple sekali, tidak ada hiasan berlebihan di sana.
Makanan tersaji.
Orang yang tadi mengenakan hoody, telah berganti baju dengan jas dan dasi kupu-kupu berwarna silver juga, senada dengan warna baju Zeya.
Mukanya seperti...
Tinggi
Geo, dengan sisiran rambut yang berbeda dengan biasanya, kali ini Geo menyisir rapi rambutnya ke belakang. Hari-hari biasanya di sekolah Geo membelah rambutnya.
Bisa-bisanya Zeya terkecoh, hanya karena gaya rambut berbeda.
“Zeya, kok di sini?” Tanya Geo sama terkejutnya dengan Zeya.
“Kalian sudah saling kenal?” Tanya papa, berharap seperti tidak mungkin.
Zeya mmenggeleng.
Sedangkan Geo malah menggaguk jujur.
“Kita satu sekolah om Zaf.” kata Geo memberi tahu.
“Oh mami ingat sekarang, dia kan yang kemarin antar Nata ke rumah , aku pikir siapa ternyata kamu, pantesan kayak pernah liat, ternyata mukanya Zafran banget.” Kata Mami yang masih mengingat Zeya dengan baik.
“Aku pikir anakmu yang masih hidup itu laki-laki.” Kata Laki-laki patuh paya itu, mata beliau menatap tajam dan tidak suka pada Zeya.
Makan malam itu pun selesai, dan mereka semua memilih pindah ke ruang keluarga.
“Jadi tujuan saya mengundang kalian ke sini, untuk memperkenalkan anggota keluarga kita yang selama ini kita pikir telah tiada, ternyata masih hidup." Kata papa begitu tenang pembawaaannya.
“Ini Zeya Amira, putri ku.” Kata papa bangga, Zeya tidak melihat lagi kemarin di raut wajah papa.
“Zeya ini om Gibran adiknya papa dan tante Fira istri om Gibran , Nata pasti kamu sudah kenal kan, dia sepupu kamu.” Papa juga memperkenalkan keluarganya secara rinci pada Zeya.
“Aku pikir dia laki-laki, kalau perempuan dia akan sama saja dengan ibunya, tidak berguna!!” Kata om Gibran setelah papa kenalkan. Tidak hanya matanya yang tajam tapi mulutnya juga, begitu pikir Zeya.
Deggg
Mama di mana.Tujuan Zeya ke sini hanya untuk bertemu sang mana, bukan untuk mendengar omongan menohok seperti itu.
“Mas kamu tidak seharusnya bicara seperti itu pada Zeya. Harusnya kita bersyukur dia masih hidup.” Kata Mami Fira ikut memihak Zeya.
“Dia hanya akan merepotkan dengan kegilaan nya.” Kata om Gibran, lagi-lagi tak ada kata yang enak di dengar.
“Aku harap kamu menarik kembali ucapanmu Gibran!!” Kata papa, tidak terima putrinya di jelek-jelekkan, dan di pandang sebelah mata demikiannya.
“Tidak bisa, ini seperti menyalahi ekosistem. Kalian tahu sendiri kan tentang rantai makanan. Siapa yang terkuat dialah yang bertahan lebih lama.” Om Gibran tetap mempertahankan argumennya.
“Zey keluar yuk, mulai panas nih.” Bisik Geo pada Zeya yang sedari tadi sangat serius menyimak obrolan itu.
Karena mereka duduk di sofa yang sama, jadi bisikan itu terdengar dengan jelas di telinga Zeya.
“Om, Mami, papi, aku sama Zeya mau keluar ya, mau lihat-lihat.” Pamit Geo pada orang tua si sana, tanpa menunggu jawaban mereka, Geo langsung menarik tangan Zeya, dan membawanya keluar dari ruang itu.
“Jelasin Geografi, gue nggak mau tahu!!” Titah Zeya setelah melepaskan tangannya yang di cengkram kuat oleh Geo hingga kini mereka tiba di taman belakang rumah.
“Apanya?” Tanya Geo tifak mengerti maksud Zeya.
“Masalah keluarga ini!!” Kata Zeya memperjelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZEYA
Novela JuvenilApa yang kamu tahu tentang seorang Zeya? Jelas saja tidak tahu apa-apa. Bukan hanya orang asing di luar sana yang tidak mengenal Zeya. Bahkan Zeya sendiri tidak kenal dirinya sendiri. Zeya bahkan tidak tahu orang tuanya siapa. Zeya seperti asing bag...