23. Alergi susu

1 0 0
                                    

Begitu Zeya sadar, dia langsung meminta pulang.
Hingga Zeya menangis, barulah keinginannya di kabulkan. Papa mengantarnya pulang, sore itu.

Oma sangat murka, ketika mengetahui apa yang terjadi pada lengan Zeya.

Oma sampai menyuruh Zeya masuk ke kamarnya, karena ingin berbicara dengan papa.

"Kamu memang tidak becus. Kamu tahu apa akibatnya jika hal seperti ini terus terjadi hah!" Kata oma keras sekali, suaranya bahkan terdengar ke kamar Zeya, padahal ruang tamu sedikit jauh dari sana, karena kamar Zeya berada di lantai dua.

"Cucu ku bisa mati!!!" Kata oma lagi, sedangkan papa hanya diam, walau oma menunjukkan dirinya sesinis apa pun.

"Tidak akan aku biarkan kamu bertemu Zeya lagi!!!" Ancam oma.

"Tapi ma..." Kata-kata papa terhenti, karena oma lebih dulu bersuara.

"Sudah cukup Aleya yang kamu buat gila, dia bahkan tidak ingat pada ku lagi!!" Kali ini oma lebih histeris, meratapi mental putrinya yang sudah tidak bisa di perbaiki lagi.

"Zeya masih belum paham apa yang kamu buat." Suara oma sedikit bergetar saat mengatakan itu.

"Dia sudah aku anggap pengganti Aleya, jadi jangan pernah datang lagi." Kata oma menyudahi kemurkaannya dengan mengusir papa secara terang-terangan.

Papa pun memilih pergi, karena tahu, keadaan sekarang sedang tidak baik-baik saja. Papa pun masih berharap bisa bertemu dengan Zeya lagu.

"Aku nggak mau ketemu papa lagi oma." Lirih Zeya, sambil tidur si pangkuan oma pada malam itu, oma pun hanya mengangguk.

"Oma janji tidak akan membiarkan papa datang lagi." Kata oma sambil mengusap lembut rambut Zeya.

"Sekarang tidur ya!" Kata oma lagi.



****

Setelah kejadian itu terjadi, banyak sekali perubahan yang terjadi pada Zeya.

Dia seperti trauma dengan kejadian itu, tetapi tidak pernah di ungkapkan pada siapa pun.

Dia lebih memilih diam, sambil menunggu waktu menjawab seluruh persoalan hidupnya.

Perpisahan sekolah semakin dekat.
Dan persiapan untuk ujian akhir pun semakin giat di lakukan oleh siswa.

Zeya sekarang lebih banyak diam di antara teman-temannya, dia seperti kehilangan minat bicara.

Zeya pun jarang tersenyum, bibirnya terasa kaku.

Zeya tidak lagi ke kantin, dia lebih memilih ke rooftop ketika jam istirahat berlangsung.

Bahkan Kia dan Amna begitu bingung dengan sikap Zeya yang tidak biasa ini.

Pada malam hari Zeya lebih sering menangis diam-diam, sambil meringkuk dalam selimutnya.

Zeya yang lebih kurus dari biasanya, terlihat dari mukanya yang lebih tirus, dan pergelangan tangan yang hanya menonjolkan rangka tanpa lemak pelapis kulit.

Zeya yang begitu trauma dengan tembakan itu, sekarang bahkan begitu waspada pada suara yang ada di sekelilingnya.

Zeya yang tidak banyak bicara, membuat Naka mencari tahu penyebabnya, hingga dia membuntuti Zeya yang ke rooftop hari itu.

Ternyata Zeya tahu kalau Naka, mengikuti dirinya sedari tadi, jadi dia tidak begitu terkejut, ketika Naka menyapanya.

Hingga Naka bertanya, sedikit segan sebenarnya, tapi demi menjawab rasa penasarannya, dia pun memberanikan diri.

"Lo kenapa?" Tanya Naka ikut duduk di bangku yang ada di sana.

Zeya hanya menggeleng, bibirnya yang kering, menandakan bahwa dia belum makan apa-apa.

"Tapi gue yakin lo nggak baik-baik aja!" Kata Naka sambil membuka kantong kresek yang di bawanya tadi.

"Nih makan." Kata Naka, menyodorkan sebungkus roti pada Zeya.

Zeya meliriknya sekilas, hingga kemudian bersuara.

"Gue alergi susu." Lirih Zeya, jujur.

"What!!" Naka malah kaget, emang ada orang yang alergi susu, begitu yang muncul di kepalanya.

"Kok bisa?" Ternyata keterkejutan Naka belum selesai.

Zeya hanya menggeleng, dia malas sekali bicara, jadi itu isyarat darinya, yang berarti tidak tahu.

ZEYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang