22. Nyeri

0 0 0
                                    

Zeya berjalan kaki di jalanan besar, yang begitu sepi pagi itu.

Dia masih terisak, setelah papa membentaknya tadi.

Hatinya berdenyut nyeri, mengingat itu.

Seharusnya Zeya tidak usah ber-ekspektasi lebih pada papa, karena sudah mendengar panjang lebar bagaimana kisah hidup papa yang di keliling musuhnya—saat oma bercerita beberapa waktu lalu.

Hingga satu mobil lewat di depan Zeya, dan berhenti beberapa langkah di depan.

Geo keluar dari mobil itu dan menghampirinya.

Tapi Zeya tidak peduli.

"Gue anterin Lo pulang." Kata Geo, penuh permohonan.

"Nggak mau." Zeya masih saja ketus, sambil duduk di sisi jalan yang sepi itu, dia ingin istirahat sebentar.

"Di sini nggak ada rumah orang. Bahaya!!" Kata Geo memperingati.

"Gue nggak peduli!!" Ketus Zeya.

"Gue emang nggak punya siapa-siapa di dunia ini." Kata Zeya sambil menunduk.

"Mama nggak pernah menganggap aku ada." Lirih Zeya. Dis tidak bisa kalau tidak menangis, mengingat hal itu.

"Lo masih punya sepupu ganteng kayak Gue kok!! Ayok buruan naik!" Kata Geo sambil berusaha mengajak Zeya pulang.

"Nggak mau!!" Jawab Zeya.

"Gue juga mau punya mama kayak orang lain!!" Jelas Zeya, menghapus air matanya.

"Banyak juga kok yang nggak punya ibu tapi bahagia!!" Kata Geo menenangkan Zeya.

"Jangan sama kan gue dengan orang lain, gue...." Kata-kata Zeya terhenti karena ada suara yang mendadak di sekitar mereka.

Suara gedebum, seperti tembakan, mengenai bumper mobil.

Dan orang-orang dengan baju hitam keluar dari hutan itu satu persatu hendak mengepung mereka.

"Zeya naik, CEPAT!!!" Kata Geo melotot pada Zeya.

"Kita harus pergi dari sini, sebenarnya ini kawasan musuh.  Lo salah arah jalannya." Kata Geo ketika mereka berdua sudah ada di dalam mobil.

"Tembakan satu per satu mulai di luncurkan ke arah mereka. Begitu membabi buta.

"Gue takut!!” Zeya semakin menangis.

"Tenang dulu, Gue nggak bisa nyetir kalo panik!!" Tambah Geo lagi.

Hingga salah satu peluru itu berhasil menembus kaca dan mengenai lengan Zeya.

Zeya semakin meraung kencang.

"Tangan gue SAKIT!!!!" Teriak Zeya.

"Sial." Geo mengumpat sambil memukul stir mobil yang di bawanya.

Hingga tembakan itu berhenti dan mobil Geo tidak mau bergerak lagi karena bensin yang sudah bocor terkena tembakan tadi. Ini bukan mobil antipeluru,  hanya mobil biasa.

Hp ketinggalan geo lagi, kesialan yang bertubi.

Geo merogoh tas Zeya untuk mencari hp Zeya untuk menelpon orang rumah.

"Biarkan saja dia mati, dia Cuma membawa ke kacauan di keluarga kita!!" Kata papa Geo terdengar jelas karena di loud speaker.

Zeya semakin terisak kemudian tak sadarkan diri.

Geo begitu panik, dia tidak tahu harus melakukan apa. Mencari pertolongan pun tidak mungkin, karena Zeya sekarang adalah prioritasnya.

Dia yakin kali ini musuh om Zafran menargetkan Zeya.

Hingga mobil Mercedes itu datang, itu adalah om Zafran.

Huh, akhirnya.

Geo cepat-cepat mengangkat zeya ke mobil om zafran.

"Om ini Zeya kena tembak!!" Kata Geo dengan kepanikannya.

Zafran menyetir seperti setan, terus memacu kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Cepat sekali.

"Panggil Fedric sekarang!!!" Kata om Zafran di pintu rumah, begitu tiba di sana.

"Ini tangannya kena kira harus memanggil tim medis untuk mengeluarkan peluru!!" Kata dokter Fedric.

"Minggur setan dia bisa mati kalau terus menunggu!!" Kata Mami Geo.

"Bawa aku alatnya sekarang juga!!!" Mukanya begitu serius. Mami Geo tiba-tiba muncul, dia marah sekali.

"Bodoh kau Zafran, kau mau dia jadi seperti Aleya lagi." Mami Geo sedari tadi tidak berhenti memarahi om Zafran.

"Sudah berapa kali ku bilang buat tinggalkan rumah ini, Zeya lebih aman di kota!!" Ternyata omelan itu masih terus berlanjut.

"Dia bisa gila di sini,  walau kamu mendatangkan psikolog dari luar negeri sekalipun." Karena Mami Geo tahu, makanya berani mengatakan apapun.

Tangan Zeya kini sudah di bebat perban, menutupi bekas tembakan itu.

"Aku mau pulang." Lirih Zeya, di sela-sela kesadarannya.

ZEYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang