Hari Pertama Teknokrasi
Riani terbangun di tengah pekatnya pagi, saat embun masih enggan menguap dan kegelapan malam menyisakan sisa-sisa bayangan. Ada kegelisahan yang merayap di benaknya, seolah waktu bersekongkol melawan ketenangannya, pukul 4 pagi tepat. Waktu seolah merambat pelan, namun ketegangan sudah lebih dulu menghampirinya. Hari ini bukanlah hari biasa Teknokrasi, hari yang ditakuti dan dinanti sekaligus, telah tiba.
Dengan mata masih berat, ia mengecek barang-barang yang harus dibawa, satu per satu dimasukkan ke dalam tas dengan cermat. Setiap detail diperhatikan, tidak ada yang boleh tertinggal.
"Kayaknya udah aman deh," bisiknya pada diri sendiri, mengulang kembali daftar di kepalanya untuk memastikan.
Mata yang semula mengantuk, mendadak segar seiring guyuran air dingin yang membangunkan tiap helai saraf di wajahnya. Usai mandi, Riani mengenakan pakaian yang telah ia siapkan dengan rapi semalam. Seragam hitam putih yang kontras, dihiasi pita merah putih yang terselip di jilbabnya.
Setelah merasa semua siap, Riani melirik ponselnya, pukul 4:40. Saatnya menunaikan sholat Subuh. Meski telah beribadah, kecemasan yang bersemayam di hatinya tak kunjung pudar. Rasa takut masih bergelayut di benaknya.
Usai sholat, Riani dengan tergesa-gesa mengenakan sepatu dan melangkah keluar dari kosnya, menuju gerbang utama. Di perjalanan, udara pagi yang seharusnya menenangkan malah menambah kecemasan yang menyelimuti pikirannya.
"Ini senior sebenarnya mau ngapain sih, pagi bener datangnya," gumamnya, mencoba menekan rasa takut yang terus menghantui.
Sementara itu, di depan gerbang, para panitia sudah bersiap, wajah mereka kaku dan penuh ketegasan. Satu persatu peserta mulai berdatangan, dan seketika suara lantang panitia menggema. "Cepat!" seru mereka, suaranya tajam menembus keheningan pagi.
"Permisi, Kak," ucap beberapa peserta dengan suara bergetar, tunduk penuh ketakutan.
"Semuanya berbaris memanjang!" teriak salah satu panitia, sementara yang lain sibuk memastikan semua peserta menunduk dengan paksa. "Tunduk!" suaranya tegas, tak memberikan ruang untuk membantah.
Tak lama lagi, Riani tiba di gerbang utama, dan teriakan-teriakan dari senior sudah mulai terdengar dari kejauhan, menambah berat langkahnya. Dengan buru-buru, ia melangkah lebih cepat.
"Itu yang cewek, cepetan! Lari!" suara keras itu menargetkan Riani, membuatnya semakin panik. "Ini udah buru-buru kali, buta apa yah," batinnya, meski ia tetap mengikuti perintah.
Sesampainya di gerbang, Riani segera bergabung dengan teman-teman peserta lain, membentuk barisan panjang yang rapi. Suasana tegang terus membayangi, beriringan dengan langit yang perlahan berubah, memperlihatkan semburat jingga yang mulai menggantikan kegelapan.
Momen ini seolah menggambarkan perasaan Riani. gelisah, takut, namun harus terus melangkah maju.
Bugh
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Hope
RomanceUpdate Senin dan Kamis. Sinopsis: Aku jatuh cinta dengannya, di saat aku tidak ingin jatuh cinta dengan siapa-siapa. Riani tak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan seorang senior yang penuh perhatian akan mengubah hidupnya. Di kota yang jauh d...