"Kenapa kamu disini?"
Raga masih berdiri dengan jarak tidak lebih dari satu kaki. Dia menelisik raut wajah Chika yang sedikit muram.
"Saya udah janji mau nemenin kamu meskipun secara nggak langsung," jawab Raga. "Maaf." Lanjutnya.
"Oh ya, saya punya ini, semoga ini bisa membantu." Raga memberikan sebuah map dengan tangan kanannya. Mereka duduk di sofa panjang di ruangan Chika.
Chika membaca setiap halaman dengan teliti.
"Ini," Chika mengangkat map yang isinya telah ia baca hingga selesai. "Beneran?"
"Tentu."
"Apa nggak terlalu beresiko?" Tanya Chika. "Maksudku, kalo ini juga gagal gimana nasib perusahaan?"
"Kamu cuma perlu jawab boleh atau iya boleh banget, sisanya kamu bisa percaya sama saya." Raga menarik map yang masih berada ditangan Chika, menyimpannya di atas meja dan kali ini ia menarik jemari tangan wanita itu untuk ditautkan dengan jari-jarinya. "Ya?"
Selain ragu, Chika merasa kali ini ia takut jika nantinya akan menambah kekacauan yang ada.
Tapi di lain sisi, ia merasa jika tidak mencobanya bagaimana ia bisa tahu bahwa solusi yang ditawarkan pria di hadapannya ini benar-benar bisa bekerja dengan baik.
"Saya udah konsultasi juga sama Pak Hermawan sebelum buat ini." Chika belum bereaksi apapun. "Kalo kamu masih ragu karena kedekatan kita sebelumnya kurang baik, gak apa-apa Chika."
Raga mengubah tautan jemari itu menjadi genggaman di atas tangan kirinya, sedang tangan kanannya bertugas untuk mengusap kepala gadis itu dengan lembut.
"Kamu tau, saya udah tertarik sama kamu sejak kita baru jadi temen main pas kecil dulu."
"Dulu saya suka setiap ngeliat kamu ketawa lepas, dan kesel kalo ada anak komplek yang lain ngerusuhin kamu."
Cerita nostalgia Raga membuat Chika ikut membayangkan ulang momen-momen saat mereka masih kecil. Chika tersenyum, larut dalam bayangannya.
"Kamu dulu cengeng, sekarang juga masih sih kayaknya. Tapi jadi rada galak aja." Raga terkekeh kala Chika melepas genggamannya dan memukul pria itu pelan.
"Aku nggak galak tau." Rengeknya.
"Haha iya iya nggak, cuma jutek aja dikit."
"Iiissshhh."/"Aawww." Chika menghadiahi cubitan kecil pada lengan gara. Cukup sakit sepertinya karena ada bekas kuku yang tertinggal.
"Iya nggak kok nggak. Kamu baik dan selalu berhasil nyita perhatian saya," Raga menatap Chika tersenyum. "...dari dulu." Lanjutnya sambil mengusap lengannya sendiri.
"Terus kenapa sekarang bisa jadi bahan gunjingan keluarga kalo kamu belok?"
"Dari kecil, Bunda sering banget bilang kalo aku cuma boleh jatuh cinta pas aku udah tau apa itu tanggung jawab." Raga kembali membawa tangan Chika dalam genggamannya.
"Saya gak berani ngecewain Bunda."
"Emang sampe sekarang kamu belum tau apa itu tanggung jawab?" Chika bertanya dengan hati-hati.
"Mungkin udah, tapi saya gak yakin sebelum dapet validasi yang akurat dari Bunda." Chika ingin bertanya lagi namun ia urungkan kala Raga kembali berkata "Soalnya terakhir saya nanya dengan penjelasan lebih dulu pun, kata Bunda saya belum mampu."
"Emang kapan terakhir kali kamu nanya?"
"Tiga tahun lalu."
"Itu udah lama abang. Kamu emang ngejelasinnya gimana?" Chika cukup dibuat gemas dengan jawaban Raga yang ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
SETARA
Chick-Lit⚠️ Adult ⚠️ "Sstttt..." Aya mencoba menenangkan Chika dengan mengusap-ngusap bahu dan punggungnya. "Insecure itu cuma berlaku untuk yang jadi selingkuhan. Kalo kamu yang diselingkuhinya, apapun itu kamu tetep pemenangnya Nay." SETARA, 2024