Prolog

132 17 2
                                    

Tiap kali sebutan "Perawan Tua" terlontar, perasaan tak nyaman yang sudah lama aku simpan kian meresap. Julukan itu pertama kali keluar dari mulut ibuku sendiri dua tahun lalu, dan sejak saat itu, bayangannya tak pernah benar-benar pergi. Pekerjaan sebagai reporter yang menguras tenaga dan waktu, seakan tak berarti di mata mereka. Tak ada yang peduli pada dedikasi atau pencapaian yang kuperoleh; semua hanya sibuk menanti kabar kapan aku akan menjalin hubungan dengan seorang pria. Ironis, begitu menyedihkan.

"Hima, kamu mau nggak dijodohkan sama anak temannya tante?" tawaran itu meluncur dari bibir Tante Lya yang baru pulang dari Jawa Tengah, membuatku hampir tersedak.

"Kerjanya apa, Ya?" Ibu menimpali cepat, sebelum aku sempat menolak dengan tegas.

"Dia arsitek, Bu. Pokoknya, tipe Hima banget," Tante Lya berseloroh, dan spontan bulu kudukku meremang mendengar keseriusannya.

"Gimana, Ma?" Ibu memandangku sambil menaik-turunkan alis, mirip remaja yang tengah menggoda teman sekelasnya.

"Aku belum kepikiran, Bu. Lagi pula, aku sering dinas luar kota akhir-akhir ini. Nggak ada waktu untuk kenalan," jawabku ketus, berusaha mengalihkan perhatian pada bakpia yang dibawa Tante Lya. Meskipun kadang menjengkelkan, dia memang selalu ingat pada keponakan kesayangannya.

"Ya ampun, Ma. Sekarang zaman sudah canggih, kenalan nggak harus tatap muka. Bisa lewat zum," Ibu bersikukuh, sukses membuatku dan Tante Lya terkekeh.

"Zoom, Bu," koreksiku lembut.

"Ya, itulah namanya."

Aku hanya bisa menggeleng pelan, berusaha memutuskan percakapan agar tak berkembang ke arah yang lebih mengganggu. Sementara aku fokus menikmati bakpia kacang hijau, Ibu dan Tante Lya masih sibuk membahas pria itu. Aku tak ingin mendengarkan, namun tak ada tempat bersembunyi yang cukup jauh di rumah ini untuk menghindari suara mereka.

"Namanya siapa, Ya?" tanya Ibu, rasa ingin tahunya memuncak.

"Miko," jawab Tante Lya, membuatku tergelitik. Nama itu terasa asing, namun kini menghantui keseharianku.

Setelah hari itu, nama Miko terus bergema di rumah. Bahkan saat Ayah pulang dari tugas, hal pertama yang dibahas Ibu adalah pria itu. Aku tidak tahu bagaimana rupa Miko hingga membuat Ibu begitu terobsesi. Ironisnya, aku–yang konon akan dijodohkan dengannya–malah ingin segera meninggalkan rumah demi menghindarinya.

Selama dinas ke luar kota, Ibu jadi lebih sering menanyakan kepulanganku, meski tanpa menyelipkan pertanyaan kapan aku akan dekat dengan pria dari kantorku. Di satu sisi, aku merasa lega, tapi di sisi lain, aku sadar bahwa Ibu hanya menunggu momen untuk mempertemukanku dengan Miko. Aku lebih memilih menunda kepulangan daripada harus menghadapi situasi yang meresahkan ini.

"Hima, kapan kamu pulang?" Suara Ibu terdengar di telepon, tepat saat aku terbangun di perjalanan kereta.

"Belum tahu, Bu. Ini aku masih dalam perjalanan keluar kota. Ada apa?" jawabku lesu, mengusap wajah yang masih tersisa kantuk.

"Ibu mau ajak Miko ke rumah buat kenalan sama kamu. Oh iya, emangnya kamu mau kemana sekarang?" tanya Ibu penuh rasa ingin tahu.

"Ke Semarang, Bu," jawabku singkat, menyingkap gorden jendela perlahan.

"Ya sudah. Kabari Ibu kalau sudah mau pulang. Semangat kerjanya, Nak."

"Iya, Bu. Terima kasih."

Telepon kututup, dan pandanganku teralih pada hamparan sawah di luar sana. Aku menopang dagu, merenungi keputusan untuk diam saat Ibu dan Tante Lya sibuk mengatur masa depanku yang tak kuminta.

•••

Aku baru saja tiba di Semarang, kota yang semarak dengan hiruk-pikuk kehidupan urban dan pesona budaya yang kental. Sebagai reporter lapangan, aku memiliki tugas penting untuk melaporkan mengenai perkembangan proyek infrastruktur besar yang sedang berjalan di kota itu—sebuah proyek ambisius yang berpotensi mengubah wajah Semarang.

RemedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang