Hima keluar dari kamarnya dengan rambutnya digerai cantik, sedikit bergelombang, seperti yang selalu ia sukai. Ia mengenakan dress putih dengan motif bunga-bunga kecil yang membuatnya terlihat anggun dan segar. Ketika ia melangkah keluar, kebetulan sekali, Miko juga keluar dari kamarnya. Namun, Miko justru mengenakan baju serba hitam.
Miko menghentikan langkahnya sejenak, mengerutkan dahi. "Kenapa kamu pakai baju secerah itu?" tanyanya, dengan nada heran.
Hima tersenyum tipis dan bertanya balik, "Kenapa Mas pakai baju serba hitam?"
Miko terdiam, mencoba mencerna pertanyaan Hima. Bukankah wajar jika ia memakai baju hitam? Lagipula, mereka akan pergi ke makam. Pikirannya terbiasa dengan pakaian berkabung saat mengunjungi makam Agisya.
Melihat ekspresi Miko, Hima melangkah mendekat, berbicara dengan lembut, "Kita ke sana bukan untuk berbelasungkawa, Mas. Ini hari spesialnya. Ulang tahunnya. Jadi, bukankah lebih baik jika kita merayakannya dengan penuh kebahagiaan?"
Miko menatap Hima, bingung. Hima melanjutkan, "Kalau Mas pakai baju hitam seperti ini, pasti bawaannya sedih terus. Mungkin lebih baik pakai baju yang lebih cerah, ya? Biar perasaannya juga ikut cerah."
Miko memandangnya sejenak, lalu mengangguk paham. "Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu."
Setelah beberapa menit, Miko kembali dengan baju berwarna netral, krem, meskipun tidak secerah Hima, tapi setidaknya lebih ringan dari sebelumnya. Mereka berdua pun berangkat, melewati jalanan kota yang mulai lengang di pagi itu. Suasana di mobil seperti biasa, penuh keheningan. Hima menatap keluar jendela, mencoba mencari waktu yang tepat untuk memulai percakapan.
Setelah beberapa lama, Hima membuka suara, "Mas, kita nggak beli bunga dulu untuk Agisya?"
Miko meliriknya pelan, lalu kembali fokus pada jalan. "Tergantung kamu," jawabnya singkat.
Hima mengernyitkan dahi, bingung dengan jawaban itu. "Memangnya Mas tidak menyiapkan bunga atau hadiah untuk Mbak Agisya?"
Miko menggeleng pelan, "Aku sudah memberikan hadiahnya."
Hima ber-oh pelan, pikirannya langsung tertuju pada bunga mawar putih yang ia lihat kemarin di mobil. Jadi, itu hadiah Miko untuk Agisya.
Namun, Hima tak bertanya lebih jauh. Ia hanya menatap jalanan di depannya, berusaha memahami bahwa ini adalah bentuk cinta Miko yang akan selalu ada, meskipun Agisya sudah tiada. Dan di hatinya, Hima mencoba menerima, walau sedikit getir.
Miko menepi ke sebuah toko bunga atas permintaan Hima. Ia memarkir mobilnya di tepi jalan, membiarkan Hima turun untuk memilih bunga. Dari dalam mobil, Miko memperhatikan Hima yang berjalan dengan raut wajah penuh kebahagiaan, memilih bunga satu per satu dengan teliti. Tatapan Miko mengikuti setiap gerakan Hima, namun hanya sejenak. Seolah ada sesuatu yang menghalanginya untuk menatap lebih lama, Miko pun mengalihkan pandangannya, membiarkan pikirannya melayang entah ke mana.
Setelah membeli bunga, mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju makam Agisya. Sesampainya di sana, Hima menoleh ke arah Miko, menunggu pria itu turun dari mobil. Diam-diam, Hima memperhatikan setiap detail dari Miko—raut wajahnya yang tetap tenang, langkah kakinya yang stabil, bahkan hembusan nafasnya yang teratur. Namun, di balik semua ketenangan itu, Hima merasa ada sesuatu yang bergejolak dalam diri Miko. Ia takut jika Miko terlalu sedih atau merasa berat melangkah ke sana. Namun, seperti biasanya, Miko tetap berjalan di samping Hima dengan wajah datar dan kedua tangannya masuk ke dalam saku celana.
Hima menelan saliva, merasa sedikit takut dengan Miko yang seolah tidak menunjukkan reaksi apapun. Seolah hari ini hanyalah hari biasa. Tapi ketika mereka sampai di makam Agisya, sesuatu yang berbeda muncul di hati Hima. Sebuah kesedihan yang mendalam menyelimutinya, bahkan jauh lebih sedih dari segala hal yang pernah membuatnya sedih sebelumnya.
Sesekali, Hima melirik Miko. Tanpa bicara, Miko langsung membersihkan makam Agisya dengan hati-hati, membersihkan debu-debu yang menempel. Dapat terlihat dari matanya bahwa Miko merindukan cinta sejatinya. Cinta yang telah pergi, namun kenangannya masih hidup di dalam dirinya. Hima merasa semakin kecil, seperti bayangan yang tak mampu mendekati rasa cinta besar yang pernah dimiliki Miko untuk Agisya.
Daripada berdiam diri, Hima beranjak dan ikut membantu membersihkan makam itu. Dengan penuh kehati-hatian, ia menaburkan bunga-bunga yang tadi ia beli, menyebarkannya di atas tanah makam yang tenang. Setelah selesai, Hima perlahan berlutut di depan nisan Agisya. Matanya tertuju pada nama yang terukir di batu itu. Hatinya bergetar saat tangannya menyentuh nisan dingin tersebut.
Dengan suara yang lirih, Hima berkata, "Agisya, aku tahu aku tidak akan pernah menggantikanmu. Dan aku tidak akan mencoba melakukannya. Kamu akan selalu ada di hati Miko, dan aku bisa melihat betapa ia merindukanmu setiap hari."
Hima menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku berjanji, aku akan menjaga Mas Miko sebaik mungkin. Aku akan selalu ada di sampingnya, mendukungnya dengan caraku, tanpa mencoba mengambil tempatmu. Kamu adalah bagian penting dari hidup Mas Miko, dan aku hanya berharap bisa menjadi seseorang yang membuatnya merasa nyaman... di antara kenanganmu."
Tetes air mata mengalir di pipinya, tapi Hima tersenyum kecil. "Semoga kamu tenang di sana, Agisya. Doaku selalu menyertaimu. Dan aku berjanji, aku akan terus ada di sampingnya, tanpa mengusik tempat yang kamu miliki di hatinya."
Dengan lembut, Hima mengusap nisan itu, memberikan kehangatan terakhir sebelum bangkit.
Hima mengusap air matanya dengan cepat ketika Miko datang sambil menepuk kedua tangannya, menandakan bahwa ia baru saja selesai membuang beberapa rumput liar yang tumbuh di sekitar makam Agisya. Hima melirik Miko dengan senyum kecil, meski hatinya masih dipenuhi dengan berbagai perasaan yang sulit diungkapkan.
"Mas Miko, ada yang ingin disampaikan untuk Agisya?" tanya Hima pelan, mencoba menutupi getar di suaranya.
Miko berjongkok di samping Hima, memandangi nisan Agisya sejenak sebelum menarik napas dalam. "Sebenarnya, semalam aku sudah memanjatkan doa untuk Agisya. Aku sudah berbicara dengannya saat aku berada di ruang ibadah. Tapi, karena kita ada di sini sekarang... mungkin aku akan memanjatkan doaku lagi." Miko menoleh ke arah Hima dengan tatapan yang lebih lembut dari biasanya. "Kamu mau ikut berdoa?"
Hima mengangguk mantap. Bersama-sama, mereka menengadahkan tangan di depan nisan Agisya. Di bawah sinar matahari yang mulai meredup, keduanya berdoa dalam keheningan, masing-masing dengan harapan dan perasaan yang tersimpan dalam hati.
Bagi Hima, ini bukan sekadar doa untuk Agisya, tetapi juga doa untuk dirinya sendiri. Ia berdoa agar bisa menerima takdir ini dengan lapang dada, dan berharap agar cintanya pada Miko, meski terhalang oleh bayangan Agisya, tetap menjadi kekuatan yang menyatukan mereka. Sementara itu, Miko terlihat tenang, meski Hima tahu di balik ketenangannya ada rasa kehilangan yang tak pernah benar-benar hilang.
Setelah beberapa saat, Miko menyelesaikan doanya, dan Hima perlahan menurunkan tangannya. Mereka berdua terdiam, namun ada kedamaian yang aneh di antara mereka. Hima menoleh ke arah Miko, yang masih menatap nisan dengan tatapan yang sulit ditebak.
"Aku berharap... dia tenang di sana," gumam Miko pelan, tanpa menoleh.
Hima tersenyum kecil, meski air matanya hampir kembali jatuh. "Aku yakin, Agisya tahu kalau Mas Miko selalu mendoakannya."
Miko akhirnya menatap Hima, untuk pertama kalinya terlihat ada sesuatu yang tulus di matanya. "Terima kasih, Hima... karena mau ada di sini."
Hima hanya tersenyum lebih lebar, merasa bahwa meski sedikit demi sedikit, Miko mulai terbuka dan menyadari kehadirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy
General FictionHima adalah seorang reporter yang berdedikasi tinggi dalam pekerjaannya hingga sering kali dijuluki "perawan tua" oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, julukan itu tidak pernah mengganggunya; Hima merasa bahwa pekerjaannya adalah hasil kerja keras...