Bab 23

26 7 0
                                    

Hima sudah siap dengan kemejanya, rambutnya masih sedikit lembap setelah ia keramas pagi itu. Hari ini akan menjadi hari yang sibuk, jadi ia bangun lebih awal untuk menyiapkan segalanya, termasuk sarapan dan bekal untuk Miko. Sesekali, Hima melirik tangga, menunggu Miko turun, namun pria itu belum juga muncul.

Setelah beberapa menit berlalu, Hima mulai merasa khawatir. Mungkin Miko ketiduran dan akan terlambat berangkat kerja. Dengan ragu-ragu, Hima memutuskan untuk naik ke kamar Miko dan memastikan keadaannya.

Ia mengetuk pintu pelan sambil memanggil, "Mas Miko?" Namun, tak ada jawaban. Hima mengetuk lagi, kali ini lebih keras, berharap Miko mendengar, tapi tetap sunyi.

Rasa khawatirnya semakin meningkat. Hima, meskipun tahu bahwa ia mungkin melanggar privasi, akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu kamar pelan-pelan. Untungnya, pintu tidak terkunci.

Begitu pintu terbuka, Hima melihat Miko masih berbaring di tempat tidur, berselimut hingga ke dadanya. Ia mendekat dengan hati-hati, takut membangunkan Miko dengan kasar, namun langkahnya terhenti saat melihat keringat membasahi kening Miko. Wajahnya terlihat pucat, dan tubuhnya tampak gemetar meski terbaring diam.

Hima terkejut, lalu dengan cemas bertanya, "Mas ... kamu baik-baik saja?" suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.

Miko tidak menjawab, hanya mengerang pelan, menunjukkan bahwa ia tidak dalam kondisi baik. Hima segera menyentuh dahinya, dan seketika ia merasa suhu tubuh Miko jauh lebih panas dari biasanya. Panik mulai menyelimuti Hima, ia tahu bahwa Miko pasti sedang demam tinggi.

"Mas, kamu demam," gumam Hima pelan, berusaha menenangkan diri dan berpikir cepat. Ia harus segera melakukan sesuatu.

Hima bergegas menuju dapur, hatinya berdebar kencang memikirkan kondisi Miko yang demam tinggi. Ia mengambil air dingin dan kain bersih untuk dijadikan kompres, berlari kembali ke kamar Miko dengan napas sedikit tersengal.

Dengan cekatan, ia menaruh kain basah itu di dahi Miko, menyeka keringat yang mengalir di keningnya. Wajah Miko terlihat lebih pucat, napasnya berat, dan Hima semakin cemas. Sambil terus mengompres, Hima berkata lembut namun tegas, "Mas, kamu harus segera ke dokter. Aku akan panggil taksi, tapi kita tunggu dulu sampai panasnya sedikit turun."

Miko mengerang pelan, lalu membuka matanya setengah, berusaha keras untuk berbicara. "Hima, bukankah kamu harus bekerja hari ini? Aku baik-baik saja... kamu nggak perlu mengkhawatirkanku."

Hima menghentikan tangannya sejenak, lalu menatap Miko dengan tatapan penuh kekesalan. "Bagaimana bisa Mas bilang baik-baik saja? Wajah kamu pucat, dan keringatnya terus mengucur. Kamu nggak bisa seperti ini terus, Mas. Sebanyak apapun kamu menolak, aku tetap akan membawamu ke dokter. Titik."

Miko terdiam, menatap Hima yang sekarang terlihat lebih serius dari biasanya. Ia tahu Hima benar, tapi kebiasaan menolak bantuan membuatnya merasa sulit untuk menyerah. Namun, kali ini, ia tidak punya pilihan lain. Kondisinya sudah terlalu lemah untuk berdebat.

Ia menarik napas dalam-dalam, menatap langit-langit kamar sambil berkata pelan, "Baiklah... lakukan saja semaumu, Hima."

Hima mendesah lega mendengar Miko akhirnya menyerah. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya dan mulai memesan taksi.

Ketika taksi tiba, Hima bergegas membantu Miko masuk ke dalam taksi setelah memastikan Miko mengenakan jaketnya. Langkahnya perlahan namun mantap, memastikan Miko tetap dalam genggaman tangannya yang hangat. Sesekali Miko terhuyung, dan Hima dengan sigap menopang tubuhnya yang terasa berat.

Hima berkata pada sopir, "Pak, saya akan duduk di belakang ya, menemani suami saya." Sopir itu mengangguk paham, lalu mempersilahkan Hima untuk masuk. Selama perjalanan, Hima tak henti-hentinya mencemaskan Miko yang kini bersandar pada bahunya, terlihat lemah dan sesekali mengerang pelan.

RemedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang