Setelah merasa puas dengan hasil kerja kerasnya di dalam rumah, Hima memutuskan untuk beralih ke luar untuk menyiram tanaman. Ia merasakan angin pagi yang sejuk sambil menikmati suara burung-burung yang berkicau di sekitar. Namun, suasana tenang itu sedikit terusik ketika dari balik tembok rumahnya, Hima mendengar sayup-sayup suara ibu-ibu yang sedang membeli sayur di warung tetangga. Awalnya, Hima tak terlalu mempedulikan obrolan mereka, tapi perhatian Hima terusik saat mendengar pembicaraan mereka mulai menyebut namanya dan nama Miko.
Tembok yang mengelilingi rumah Miko memang tinggi, tetapi ada celah-celah kecil yang membuat suara dari luar bisa terdengar dengan cukup jelas. Tampaknya, para ibu-ibu itu tidak menyadari bahwa Hima ada di balik tembok dan sedang mendengarkan setiap kata yang mereka ucapkan.
"Apa Ibu dengar kabar terbaru? Si Miko ternyata sudah menikah lagi!" suara salah satu ibu terdengar jelas.
"Iya, saya juga dengar. Cepat sekali, ya? Baru lima tahun istrinya meninggal, langsung punya istri baru. Laki-laki memang gampang sekali pindah hati," sahut ibu yang lain dengan nada mengejek.
"Memang sih, Hima—istri barunya itu—cantik, tapi dia gila kerja. Nggak pernah lihat dia ngobrol sama tetangga. Kesannya, kayak nggak mau berbaur gitu," seorang ibu menambahkan, suaranya penuh penilaian.
"Betul. Saya dengar dia itu kerja sebagai reporter atau apa gitu, sampai-sampai nggak ada waktu untuk bersosialisasi. Mungkin makanya Miko nikah sama dia, biar ada yang urus rumahnya, meski dia sendiri sibuk terus," ujar ibu yang lain.
"Lagian, menurut saya dia itu bukan istri yang pas buat Miko. Wajahnya sih memang cantik, tapi rasanya dia itu simpanan Miko yang baru diakui sekarang. Kalau nggak, masa iya, langsung nikah begitu saja? Kasihan almarhumah Agisya, sudah meninggal lima tahun, tapi posisinya cepat sekali digantikan," sambung seorang ibu dengan nada mencemooh.
Hima terdiam di balik tembok, hatinya tertohok mendengar pembicaraan tersebut. Ia tahu bahwa hidup dalam lingkungan baru dengan status sebagai istri kedua bukanlah hal yang mudah, tapi ia tak menyangka akan menghadapi gosip seperti ini. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dengan mudahnya mereka menghakimi dan menilai. Rasanya, Hima ingin bersembunyi dari dunia luar untuk sejenak, menghindari bisik-bisik yang merendahkannya.
Hima dan Miko berpapasan di pintu, membuat keduanya tersentak kaget. Hima, yang baru saja hendak masuk ke rumah setelah mendengar gosip para ibu-ibu, berusaha menghindari tatapan Miko. Ia membuang pandangan ke arah lain, berusaha menyembunyikan raut wajah sedih yang masih melekat.
Miko menatapnya dengan dahi berkerut. "Kenapa kamu sudah masuk lagi? Padahal baru keluar beberapa menit lalu," tanyanya, nada suaranya lebih penasaran daripada khawatir.
Hima terdiam sejenak, mencoba mencari alasan yang masuk akal. "Di luar panas," jawabnya akhirnya, berusaha terdengar biasa saja. "Jadi, aku masuk sebentar. Kalau sudah sedikit redup, aku akan keluar lagi untuk menyiram tanaman."
Miko mengangguk paham, meskipun tatapannya tetap meneliti wajah Hima yang tampak berbeda dari biasanya. Namun, ia tidak mengajukan pertanyaan lebih lanjut.
Berusaha mengalihkan suasana, Hima berkata, "Aku akan memasak untuk makan siang. Kalau kamu mau, kita bisa makan bersama di meja makan. Tapi kalau kamu sibuk, aku bisa bawakan makanannya ke ruang kerja."
Miko menatap Hima sejenak, seperti mempertimbangkan tawarannya. Lalu, tanpa banyak bicara, ia mengangguk setuju. "Kita makan bersama saja."
Hima tersenyum tipis, merasa sedikit lega meskipun perasaannya masih kacau. "Baik, aku akan menyiapkannya," ujarnya sambil melangkah menuju dapur. Hatinya masih dipenuhi oleh percakapan yang ia dengar di luar tadi, tetapi setidaknya untuk saat ini, ia bisa mengalihkan pikirannya dengan kegiatan memasak. Meski hanya sementara, ia merasa perlu mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy
General FictionHima adalah seorang reporter yang berdedikasi tinggi dalam pekerjaannya hingga sering kali dijuluki "perawan tua" oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, julukan itu tidak pernah mengganggunya; Hima merasa bahwa pekerjaannya adalah hasil kerja keras...