Pagi masih enggan membuka kelopak, tetapi Hima sudah terjaga lebih awal dari biasanya. Kamarnya masih diselimuti kegelapan, namun Hima merasa tidak ada gunanya menunggu lebih lama. Ia menyibak selimut, melepaskan hangatnya, dan beranjak dari tempat tidur. Langkahnya ringan tapi tergesa, seolah ada sesuatu yang menunggu untuk segera diselesaikan.
Setelah membersihkan diri, Hima turun ke lantai bawah. Udara pagi yang dingin menyentuh kulitnya, tapi semangatnya cukup untuk menghangatkan tubuh. Hari ini, seperti yang ia janjikan pada Miko, ia akan membuatkan bekal untuk suaminya itu. Ia ingat Miko tidak suka makan nasi di pagi hari, jadi Hima memutuskan untuk membuat sandwich—pilihan sederhana yang seharusnya mudah diterima.
Dengan telaten, ia menyiapkan roti, mengoleskan mentega, menambahkan irisan daging, keju, dan sayuran segar. Hima bahkan membuat beberapa camilan kecil sebagai pelengkap. Semua dilakukannya dengan hati-hati, berharap Miko akan sedikit lebih ramah hari ini.
Setelah selesai, Hima membuka lemari dan laci untuk mencari kotak bekal. Matanya tertuju pada kotak bekal berwarna kuning di laci paling bawah. Warnanya cerah, terlihat cukup besar untuk menampung semua makanan yang ia siapkan. Tanpa pikir panjang, ia mengambilnya dan mulai mengemas sandwich serta camilan ke dalamnya.
Waktu berlalu, dan ketika sinar matahari mulai merayap masuk melalui jendela, Hima mendengar suara langkah kaki dari arah tangga. Miko muncul, sudah siap dengan pakaian kerjanya. Hima tersenyum lebar, mencoba menyapa dengan ceria.
"Selamat pagi, Mas. Sarapan dan bekalnya sudah siap," ucapnya, masih memegang kotak bekal itu.
Namun, senyum Hima perlahan menghilang saat melihat wajah Miko yang tampak mengeras. Matanya langsung tertuju pada kotak bekal kuning di tangan Hima, dan ia tak bisa menyembunyikan ketidaksenangannya.
"Kenapa kamu pake kotak bekal itu?" tanyanya dengan nada serius.
Hima, yang awalnya penuh semangat, kini merasakan kegugupan menyelinap. "Aku... hanya ada kotak bekal itu di laci, Mas," jawabnya, bingung dengan reaksi Miko.
Miko menghela napas, wajahnya semakin menunjukkan ketidaksukaan. "Kotak bekal itu kesayangan Agisya. Seharusnya kamu bertanya dulu sebelum menggunakannya."
Kata-kata Miko terasa seperti duri yang menusuk hati Hima. Ia benar-benar tidak tahu soal itu, dan kini ia merasa bodoh karena tidak berpikir lebih dulu. "Maafkan aku, Mas. Aku benar-benar tidak tahu," ujarnya dengan suara yang semakin kecil.
Miko menggeleng, seolah lelah menghadapi kesalahan ini. "Makanya tanya dulu, jangan bertindak seenaknya. Sekarang aku malah makin males buat bawa bekal itu. Aku mau makan di rumah saja."
Hima mencoba untuk tetap tenang, meski ada dorongan untuk menangis. "Lebih baik Mas Miko membawa kotak bekal itu dulu untuk hari ini. Kedepannya, aku akan membeli yang lain."
Tapi Miko hanya merespons dengan ketus, "Rasa makanan di kotak bekal itu akan hambar kalau bukan Agisya yang memasaknya."
Kata-kata itu menghantam Hima dengan keras. Ia hanya bisa terdiam, menatap suaminya yang berbalik dan meninggalkannya di dapur, tenggelam dalam rasa bersalah yang mendalam.
Hima terdiam di dapur, meresapi setiap kata yang baru saja keluar dari mulut Miko. Ada rasa perih yang menelusup, seolah luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh kini kembali menganga. Dalam hati, Hima bertanya-tanya, bagaimana bisa pria yang dulu membuatnya terpesona, kini berubah menjadi sosok yang begitu dingin dan jauh?
Di hari pertama mereka bertemu, Miko adalah sosok yang tak bisa dilupakan oleh Hima. Saat itu, Miko memiliki pesona yang sulit ditemukan pada pria lain. Senyum manisnya seperti matahari di hari yang dingin, menghangatkan hati Hima yang kala itu penuh harap. Perkataannya lembut, seolah setiap kata yang diucapkannya dirangkai dengan hati-hati, dan tatapannya memancarkan kehangatan yang menenangkan, membuat Hima merasa dihargai dan diperhatikan.
Hima ingat betapa ia terkesima pada pertemuan pertama itu. Saat itu, ia melihat Miko sebagai pria dengan nilai yang tak terkira, seseorang yang bisa diandalkan, tempat di mana ia bisa berbagi beban dan mendengarkan ceritanya tanpa merasa dihakimi. Dalam benaknya, Miko adalah pria ideal—seseorang yang penuh pengertian, perhatian, dan memiliki kemampuan untuk membuat orang lain merasa nyaman di dekatnya.
Namun, kenyataan sering kali tak seindah bayangan. Hima kini menyadari, ia telah membuat kesalahan besar dengan menyimpan ekspektasi yang terlalu tinggi. Ia terlalu terbuai oleh kesan pertama yang manis, terlalu cepat percaya pada sosok yang tampaknya sempurna di permukaan. Ia pikir, kekakuan Miko hanyalah karena mereka belum saling mengenal, belum terbiasa dengan satu sama lain. Tapi, kini Hima tahu bahwa apa yang ia lihat pada pertemuan pertama hanyalah sebuah topeng—topeng yang dipasang dengan begitu handal oleh Miko.
Pria yang kini berdiri di hadapannya, dingin dan tak acuh, adalah sosok yang sama sekali berbeda dari pria yang dulu ia kagumi. Miko tidak hanya kaku karena mereka masih asing satu sama lain, tapi juga karena ia memang memilih untuk menjaga jarak, membentengi dirinya dengan tembok yang tak mudah ditembus. Dan Hima, yang biasanya tak mudah tertipu oleh penampilan, kini terjerumus dalam jebakan harapannya sendiri, menyadari bahwa ia telah mengira topeng itu sebagai wajah asli.
Hima tersentak ketika tiba-tiba seseorang menabrak tubuhnya. Barang-barang yang ia pegang jatuh berserakan di trotoar, membuatnya tersadar dari lamunannya. Ia menggelengkan kepala pelan, merasa kesal pada dirinya sendiri karena tidak fokus saat berjalan. Seharusnya, ia lebih memperhatikan langkahnya daripada tenggelam dalam pikiran tentang Miko dan segala kekecewaan yang ia rasakan.
Sambil mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan, Hima merutuki dirinya sendiri. Namun, sebelum ia sempat meraih semuanya, seorang pria tiba-tiba berjongkok di sampingnya dan mulai membantunya memunguti barang-barang yang tercecer. Hima sempat terkejut, tapi dengan cepat ia menyadari niat baik pria itu.
"Terima kasih," ucap Hima setelah semua barangnya terkumpul kembali. Ia menundukkan badan sedikit sebagai tanda hormat.
Pria di depannya tersenyum ramah, senyum yang terlihat tulus dan hangat. "Sama-sama," jawabnya. Ia memandang Hima sejenak, lalu menanyakan sesuatu yang mengejutkan Hima.
"Apakah Anda akan pergi ke kantor NewsTV?" tanya pria itu, masih dengan senyum di wajahnya.
Hima mengangguk mantap, penasaran bagaimana pria ini tahu. "Iya, benar. Memangnya ada apa?" tanyanya sambil memperhatikan pria itu lebih seksama.
Pria itu menunjuk tag nama yang tersemat di baju Hima, yang menunjukkan identitasnya sebagai bagian dari tim NewsTV. "Saya melihat tag nama Anda. Kebetulan, saya juga akan ke kantor. Bagaimana kalau kita berjalan bersama? Biar kejadian tadi tidak terulang lagi," tawarnya dengan nada ringan.
Hima tersenyum, merasa sedikit tersentuh oleh perhatian pria itu, namun ia merasa tidak enak untuk merepotkan orang lain. "Terima kasih atas tawarannya, tapi saya akan baik-baik saja. Sebelumnya saya hanya kurang fokus saja, tapi sekarang saya akan lebih berkonsentrasi."
Pria itu mengangguk mantap, tampaknya mengerti keinginan Hima. "Baiklah, kalau begitu. Hati-hati di jalan, ya," katanya dengan senyum ramah, lalu ia melangkah pergi, meninggalkan Hima yang masih memegang barang-barangnya.
Hima melihat pria itu menjauh, lalu menghela napas panjang. Ada sedikit rasa hangat yang menjalar di hatinya, mengingat sikap baik pria itu. Tapi ia segera kembali fokus pada tujuannya—melangkah ke kantor NewsTV dan menjalani harinya, berusaha untuk melupakan sejenak semua kerumitan yang ada di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy
General FictionHima adalah seorang reporter yang berdedikasi tinggi dalam pekerjaannya hingga sering kali dijuluki "perawan tua" oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, julukan itu tidak pernah mengganggunya; Hima merasa bahwa pekerjaannya adalah hasil kerja keras...