Bab 2

49 17 0
                                    

Setelah perjalanan panjang yang memakan waktu sembilan jam, akhirnya Hima dan Miko tiba di rumah Miko di Semarang. Hima tertegun sejenak, memperhatikan rumah minimalis yang kini akan menjadi tempat tinggalnya. Rumah itu tampak begitu rapi dan bersih, dengan taman kecil di bagian depan dan kolam mungil di bagian belakang. Desain interiornya dihiasi dengan melamin bercorak, menambah kesan elegan dan menawan pada setiap sudut ruangan.

Sementara Miko sibuk membawa barang-barang ke dalam rumah, Hima malah tak bisa menahan diri untuk berkeliling. Dengan penuh antusias, ia mengecek setiap ruangan, mulai dari dapur hingga kamar-kamar di lantai atas. Miko, yang biasanya dingin, kali ini tidak mengeluh atau menyuruhnya berhenti. Ia hanya membiarkan Hima menikmati rumah baru itu dengan ekspresi senang.

Setelah puas menjelajahi rumah, Hima baru menyadari bahwa Miko telah memindahkan semua barang mereka sendirian. Merasa bersalah, ia segera turun dari lantai dua dan mendekati Miko yang sedang mengatur barang-barang.

"Mas, maaf ya. Aku malah sibuk keliling-keliling, nggak bantuin sama sekali," ucap Hima penuh penyesalan.

Miko hanya mengangguk pelan, dengan nada datar, "Nggak apa-apa."

Merasa tak enak hati, Hima mengambil dompetnya dan mengeluarkan sejumlah uang, lalu menyodorkannya pada Miko. "Ini buat ganti makan tadi, Mas."

Miko berhenti sejenak, lalu menatap Hima dengan sorot mata tajam. Seolah tak senang dengan tindakan itu, ia berkata dengan nada menyindir, "Untuk apa uang itu, Hima? Kita suami istri sekarang. Meski aku membatasi perasaanku, aku nggak pernah bilang kalau aku akan lepas tanggung jawab sebagai suami. Termasuk memberikan kamu nafkah."

Hima mengerti maksud Miko dan menarik kembali uangnya. "Baik, Mas. Kalau begitu, biar aku yang masak, ya? Mas pasti capek setelah nyetir jauh dan belum makan apa-apa selama perjalanan."

Miko menggeleng. "Nggak usah, aku mau istirahat. Nanti aku makan kalau sudah lapar."

Hima terdiam sejenak, lalu berkata dengan hati-hati, "Mas bilang tadi soal kewajiban sebagai suami. Aku juga ingin jadi istri yang baik, Mas. Salah satunya dengan memasak buat kamu."

Miko terdiam. Setelah hening beberapa saat, ia berkata, "Kamu bisa masak lain kali. Sekarang lebih baik kamu istirahat."

Miko kemudian berjalan ke arah tangga menuju lantai dua. Sebelum naik, ia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Hima. "Kamar kamu di ujung lantai dua."

Hima menghela napas pelan, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia tahu ini akan menjadi awal yang sulit, tapi dia bertekad untuk memahami Miko mulai sekarang. Tanpa berkata apa-apa lagi, Hima mulai bersiap-siap untuk menghabiskan malam pertamanya di rumah baru itu, mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya bersama Miko.

Malam itu, Hima sibuk di depan laptopnya, melakukan Zoom meeting dengan rekan-rekannya di Jakarta. Meski tubuhnya berada di Semarang, pikirannya masih tertambat pada hiruk-pikuk ibu kota. Ia menyampaikan kabar yang mungkin akan mengubah dinamika tim mereka—bahwa ia akan menetap di Semarang bersama suaminya. Kabar ini tentu mengecewakan bagi teman-teman kerjanya yang sudah terbiasa bekerja bersama Hima, terutama bagi Nisa, senior yang sudah menganggap Hima seperti adiknya sendiri.

"Serius, Him? Aku udah berharap kita bisa terus kerja bareng di Jakarta," Nisa berucap dengan nada kecewa. Wajahnya yang terpampang di layar laptop memperlihatkan senyuman pahit.

Hima tersenyum kecil, merasakan getir yang sama. "Iya, Kak. Kayaknya aku harus pindah ke biro NewsTV di Jawa Tengah. Tapi tenang aja, aku bakal sering-sering ke Jakarta. Kan sekarang perjalanan antar kota juga nggak terlalu sulit."

Nisa mengangguk, meski jelas terlihat bahwa ia masih merasa berat. "Aku tahu, Him. Kamu selalu bisa diandalkan. Semoga kamu betah di sana, ya."

Setelah beberapa saat berbincang dan mengobrol ringan, Hima meminta izin untuk mengangkat telepon dari ibunya. Meeting itu pun dihentikan sementara.

RemedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang