Bab 4

43 15 0
                                    

Malam itu, suasana di luar semakin mencekam seiring dengan derasnya hujan yang mengguyur bumi. Hima duduk di depan laptopnya, mencoba menyelesaikan beberapa pekerjaan, tetapi pikirannya terusik oleh cuaca yang semakin memburuk. Sesekali, ia melirik ke arah jendela, mencari tanda-tanda kembalinya Miko. Meskipun hubungan mereka kaku dan dipenuhi keheningan, Hima tidak bisa mengabaikan rasa cemas yang menggelayut di dadanya setiap kali sambaran petir menerangi langit.

Dia bergumam pada dirinya sendiri, "Dimana Mas Miko? Kenapa dia belum pulang juga?"

Hati kecilnya dipenuhi kecemasan, bayangan Miko terjebak di tengah hujan lebat tanpa perlindungan membuatnya gelisah. Ia akhirnya memutuskan untuk bersiap-siap, mungkin Miko akan pulang dalam keadaan basah kuyup. Hima bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan laptop yang masih menyala, dan berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil handuk. Langkah-langkahnya cepat, seolah mencoba mengejar waktu agar bisa segera menyambut suaminya.

Ketika ia kembali ke ruang tamu dengan handuk di tangannya, hendak menuju pintu untuk memeriksa apakah Miko sudah sampai, tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sendirinya. Sosok Miko berdiri di sana, tubuhnya basah kuyup, rambutnya meneteskan air, dan kemejanya menempel erat di kulit karena hujan. Wajahnya tampak kusut, dan mata dinginnya langsung tertuju pada Hima.

"Ke mana saja kamu?" Miko bertanya dengan nada datar, tetapi kata-katanya terasa menusuk. "Sedari tadi aku nyalain klakson buat minta tolong bukain gerbang."

Hima menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang mendesak keluar. Setiap kali Miko berbicara dengan nada seperti itu, ada rasa sakit yang menghujam hatinya, meskipun dia tahu Miko tidak pernah berteriak atau menunjukkan kemarahan. Kata-kata Miko selalu disampaikan dengan tenang, namun justru itulah yang membuatnya lebih menyakitkan.

Dengan suara yang hampir bergetar, Hima menjelaskan, "Aku tadi lagi ngambil handuk, Mas. Makanya nggak dengar klakson... Maaf."

Miko hanya menatapnya sekilas, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia mengambil handuk dari tangan Hima dan mulai mengeringkan dirinya. Hima berdiri di tempatnya, perasaan bersalah merayapi hatinya. Padahal ia hanya ingin membantu, tetapi entah mengapa, setiap tindakan kecilnya selalu tampak salah di mata Miko.

Miko menyeka wajahnya dengan handuk, kemudian berjalan melewati Hima tanpa berkata apa-apa lagi. Hima merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi dia menahan diri untuk tidak menangis. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap kuat, apapun yang terjadi. Namun, malam ini, rasa dingin dari hujan di luar tampaknya meresap ke dalam hatinya, membuatnya merasa semakin kesepian.

Sambil menghela napas panjang, Hima mengumpulkan keberanian untuk bertanya, "Mas Miko... apa Mas sudah makan? Aku bisa buatkan sesuatu yang hangat."

Miko berhenti di tangga, lalu menoleh sedikit, tapi tidak sepenuhnya menghadap Hima. "Aku sudah makan di kantor."

Miko pun melangkah naik ke lantai dua, meninggalkan Hima di bawah. Suara langkah kakinya yang berat dan pelan mengiringi kesunyian yang kembali menyelimuti rumah.

Setelah berganti baju dengan piyama, Miko turun kembali ke lantai dua. Langkahnya tenang, namun terdengar jelas di rumah yang sepi. Ia tampaknya menuju dapur, ingin membuat teh manis untuk menghangatkan tubuhnya yang masih terasa dingin setelah terguyur hujan. Hima, yang duduk di ruang tamu, memperhatikan setiap gerak-gerik Miko dari kejauhan. Ia menghela napas pelan, merasa ada sesuatu yang perlu ia katakan.

Mengumpulkan keberanian, Hima bangkit dari duduknya dan menghampiri Miko yang sedang menyiapkan teko air. Tanpa menunggu lebih lama, ia berbicara, "Mas Miko, apa Mas punya waktu buat ngobrol sama aku malam ini?"

Miko menoleh sekilas, alisnya sedikit terangkat, "Kamu mau ngomongin apa?"

Hima menggigit bibir bawahnya, merasa sedikit gugup, tapi ia tahu ia harus mengatakan apa yang ia rasakan. "Aku merasa kurang nyaman, Mas, kalau Mas terus bersikap seperti ini. Aku tahu Mas terbiasa hidup sendiri, tapi bukan berarti Mas harus bersikap seolah-olah aku tidak ada di rumah ini."

Miko berhenti sejenak, tangan yang tadi sibuk mempersiapkan teh terhenti. Ia menatap Hima dengan tatapan datar, tapi ada sedikit kebingungan yang muncul di matanya. "Kalau aku nggak peduli sama keberadaan kamu, nggak mungkin aku ngambil handuk dari tangan kamu tadi," ujarnya dengan nada yang sama sekali tidak berubah.

Hima menggeleng pelan, mencoba menjelaskan maksudnya. "Bukan itu yang aku maksud, Mas. Aku ingin Mas mau meminta bantuanku setidaknya untuk hal-hal kecil, seperti menyeduh teh atau memasak makanan. Aku tidak mau hanya menumpang di rumah Mas tanpa melakukan apa-apa."

Miko memandangi Hima beberapa detik, sebelum akhirnya mengangkat bahu sedikit. "Aku tidak mencari pembantu untuk rumah ini, Hima. Jadi, aku tidak ingin merepotkanmu."

Kata-kata Miko itu membuat Hima terdiam sejenak. Ia tidak tahu harus merasa bagaimana—tersinggung atau sedih, tapi yang pasti, ada rasa kecewa yang tumbuh di dalam hatinya. Hima merasa bahwa Miko tidak memahami maksudnya, atau mungkin tidak mau memahaminya.

"Mas Miko," suara Hima terdengar lebih lembut, "Aku bukan pembantu, aku tahu itu. Tapi aku juga bukan tamu di rumah ini. Aku istri Mas, dan aku ingin merasakan menjadi bagian dari kehidupan Mas, meskipun hanya melalui hal-hal kecil seperti itu."

Miko kembali diam, kali ini lebih lama. Ia akhirnya mengalihkan pandangannya ke teh yang mulai mendidih, lalu perlahan menuangkan air panas ke dalam cangkir. "Aku mengerti," jawabnya pelan, tapi masih dengan nada yang sulit diartikan. "Kalau kamu ingin membantu, silakan. Tapi, aku tetap tidak akan memintanya."

Hima tersenyum tipis, meskipun ada rasa pahit di dalam hatinya. Setidaknya, Miko telah mendengar apa yang ia katakan, meskipun jawaban Miko belum sepenuhnya memuaskan hatinya.

"Terima kasih, Mas," kata Hima akhirnya, dengan suara yang hampir tidak terdengar. Ia melangkah mundur, memberikan ruang bagi Miko yang kembali sibuk dengan cangkir tehnya.

Miko mengangguk sedikit tanpa melihat ke arah Hima, seolah semua yang baru saja terjadi hanyalah percakapan biasa. Hima kembali ke ruang tamu, duduk di sofa dengan pikiran yang kacau. Malam ini mungkin tidak akan membawa perubahan besar dalam hubungan mereka, tapi setidaknya Hima telah mengungkapkan apa yang ia rasakan. Itu langkah pertama, dan Hima berharap suatu hari, Miko akan lebih terbuka untuk berbagi kehidupannya dengannya.

Malam semakin larut, dan kelelahan mulai menyusup ke dalam tubuh Hima. Ia menguap lebar, merasakan lehernya yang mulai pegal setelah seharian bekerja di depan laptop. Akhirnya, ia pun menutup laptopnya dan merapikan meja sebelum memutuskan untuk naik ke lantai dua. Saat kakinya menapaki anak tangga terakhir, pandangannya tertuju pada sebuah pintu yang terbuka di lorong—ruang kerja Miko.

Di balik pintu yang sedikit terbuka, Hima bisa melihat Miko yang tampak tenggelam dalam kesibukannya, menggambar sketsa di atas meja kerjanya. Ada sesuatu yang tenang dan fokus dalam cara Miko bekerja, meskipun raut wajahnya yang serius menambah kesan dingin yang selalu ia tunjukkan. Tanpa sadar, Hima terhenti di tempat, mengamati sosok suaminya itu.

Setelah beberapa saat, Hima mengetuk pintu dengan pelan, sekadar memberitahu bahwa ia ada di sana. Suara ketukan itu membuat Miko terkejut sedikit, ia menoleh cepat, menatap Hima yang berdiri di ambang pintu.

"Mas Miko," panggil Hima dengan lembut. "Besok aku mulai bekerja di Biro Semarang sebagai mentor. Jadi, pagi nanti, aku akan membuatkan sarapan untuk Mas."

Miko bangkit dari kursinya, berjalan mendekati pintu tempat Hima berdiri. Dengan nada datar, ia menjawab, "Besok aku tidak akan sarapan di rumah."

Ucapan itu sedikit membuat Hima terdiam, tapi ia tidak mau menyerah begitu saja. "Kalau begitu, aku bisa membuatkan bekal untuk Mas. Mungkin Mas butuh sesuatu untuk dimakan di kantor."

Miko menghela napas pelan, matanya sejenak mengunci dengan pandangan Hima yang penuh harap. Setelah hening yang terasa cukup lama, ia mengangguk pelan, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Dengan gerakan yang lembut namun tegas, Miko menutup pintu ruang kerjanya rapat-rapat, seolah menutup percakapan mereka juga.

Hima berdiri di depan pintu yang kini tertutup, perasaan campur aduk menggelayuti hatinya. "Jangan lupa istirahat, Mas Miko," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ia tahu Miko mungkin tidak mendengarnya, tapi kata-kata itu tetap ia ucapkan, sebagai bentuk perhatiannya.

Hima akhirnya melangkah menuju kamarnya sendiri. Meskipun percakapan singkat tadi tidak menghasilkan banyak hal, ia merasa ada sedikit kemajuan. Setidaknya, Miko tidak langsung menolak tawarannya, dan itu sudah cukup bagi Hima untuk malam ini. Ia berharap, seiring berjalannya waktu, akan ada lebih banyak momen seperti ini—momen di mana mereka bisa berbicara sedikit lebih terbuka, sedikit lebih dekat.

RemedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang