Bab 28

28 2 0
                                    

Hima menghembuskan napas panjang saat duduk di kursi kerjanya, pandangannya tertuju pada layar komputer yang penuh dengan jadwal liputan investigasi yang harus segera diselesaikan. Salah satu kasus yang paling menyita perhatian adalah laporan kriminal yang sedang mencuat di Semarang—kasus korupsi besar yang melibatkan sejumlah pejabat daerah. Liputan ini tidak bisa dilakukan dengan setengah hati, dan Hima tahu, keberhasilan liputan ini akan menentukan kredibilitasnya sebagai koordinator liputan.

Sore itu, setelah menyusun strategi bersama timnya, Hima mengarahkan mereka untuk turun langsung ke lapangan. Mereka harus mencari informasi dari berbagai sumber, termasuk saksi yang terlibat dalam kasus tersebut. Matahari mulai tenggelam ketika timnya tiba di lokasi pertama, sebuah gedung pemerintahan yang tampak suram di bawah cahaya temaram lampu jalan.

"Ini tempat yang harus kita mulai," ujar Hima sambil melihat sekeliling. Beberapa anggota timnya terlihat lelah, tetapi semangat kerja mereka tetap tinggi.

Mereka memasuki gedung dan mulai bertanya kepada beberapa narasumber yang bisa dihubungi malam itu. Hima bekerja tanpa lelah, memastikan setiap informasi yang didapat valid dan bisa menjadi bahan laporan investigasi yang kuat. Pekerjaan ini membutuhkan ketelitian dan fokus, dua hal yang Hima pegang teguh meskipun rasa lelah mulai menggerogoti tubuhnya.

Jam terus bergerak, dan sebelum Hima menyadari, sudah hampir tengah malam. Ia dan timnya masih berada di lapangan, mengejar sumber informasi yang sulit dijangkau. Hima menatap jam tangannya, menyadari betapa larutnya malam ini. Ia menghela napas panjang, tetapi tidak menunjukkan kelelahannya pada timnya. "Kita hampir selesai di sini, tapi kita harus tetap fokus. Ini tugas besar," ujarnya dengan nada tegas.

Salah satu anggota timnya, Aryo, melirik ke arah Hima dengan cemas. "Mbak, nggak apa-apa kita begadang?"

Hima tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Aryo. Kita sudah sejauh ini, sayang kalau berhenti sekarang."

Mereka melanjutkan pekerjaan, menyisir informasi dari berbagai narasumber sampai akhirnya mereka menemukan sebuah petunjuk penting yang bisa membuka celah besar dalam kasus ini. Pukul satu dini hari, mereka akhirnya selesai dengan sesi wawancara terakhir. Hima merasa lega, meski tahu bahwa ini baru permulaan dari pekerjaan yang lebih besar ke depannya.

Saat perjalanan pulang, Hima melihat jalanan Semarang yang lengang dari balik jendela mobil. Matanya terasa berat, tapi pikirannya masih terus memikirkan langkah-langkah selanjutnya. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Miko.

"Hima, ini sudah tengah malam. Aku jemput, ya?"

Hima menghela napas panjang, "Boleh, aku tunggu di depan kantor." Ia mengirim pesan singkat pada Miko untuk menjemputnya. Sebenarnya, ia tidak ingin merepotkan Miko, tetapi melihat jam yang hampir menunjukkan pukul satu pagi, Hima tahu ia tidak punya banyak pilihan. Selain itu, ia harus siap menghadapi kemarahan ibunya yang masih menginap malam ini.

Setibanya di kantor, Hima turun dari mobil kerja lalu berdiri di depan kantor, melirik kesana kemari. Ia sesekali memeriksa arloji di pergelangan tangannya, berharap Miko segera datang. Rasanya malam ini lebih panjang dari biasanya, dan ketegangan liputan membuatnya sedikit cemas.

Tak lama kemudian, Hima melihat mobil Miko melaju dari kejauhan. Ia merasa lega melihatnya, seolah beban yang dipikulnya semalaman mulai menghilang. Begitu Miko berhenti di depan kantor, Hima membuka pintu mobil dan masuk dengan cepat.

Di dalam mobil, suasana terasa lebih tenang. Hima memandang Miko dengan rasa syukur. "Makasih udah jemput aku, Mas. Oh iya, Ibu ngomel nggak?"

Miko tersenyum kecil sambil memutar kunci kontak. "Iya, ibu sempat mengomel, tapi aku berhasil menenangkannya. Keren nggak?"

RemedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang