Hima yang baru saja selesai mandi, membuka pintu kamar dengan perlahan, masih membenarkan handuk yang membungkus rambutnya. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Miko tiba-tiba berdiri di depan pintu, menatapnya dengan serius.
Terkejut, Hima langsung bertanya, "Ada apa, Mas?"
Tanpa menjawab, Miko dengan cepat menarik tangan Hima dan membawanya kembali masuk ke kamar. Pintu kamar segera tertutup, dan Hima berdiri terpaku, matanya membelalak tak percaya dengan aksi spontan Miko.
"Mas, ada apa ini?" tanyanya sekali lagi, suaranya kini lebih tegas.
Miko mendekatkan wajahnya ke arah Hima, berbicara dengan nada berbisik. "Kenapa kamu nggak kasih tahu aku kalau Ibu kamu mau datang?"
Hima mengerutkan dahi, bingung. "Aku juga nggak tahu kalau Ibu bakal datang, Mas. Aku cuma kasih tahu kalau kamu sakit. Sebelumnya, Ibu nggak pernah datang kalau aku yang sakit, jadi aku pikir, Ibu nggak akan datang meskipun tahu kamu sakit."
Miko mengangguk pelan, mencerna penjelasan Hima. Namun, tak lama kemudian, ia bertanya lagi, suaranya terdengar lebih lembut. "Terus gimana kita malam ini? Nggak mungkin kan tidur terpisah? Ibu kamu pasti nginep."
Hima menghela napas, berusaha menahan kekesalannya. "Kalau gitu, aku bisa usir aja Ibu kalau kamu mau," ucapnya sambil mendengus, seolah bercanda tapi ada nada kesal yang tersirat.
Miko mendadak menegang, tatapannya berubah dingin. "Kamu ini apa-apaan sih? Ibu kamu nggak masalah nginep di sini. Aku juga nggak keberatan."
Merasa bahwa ucapannya disalahpahami, Hima membalas dengan nada sedikit defensif. "Aku cuma nggak mau kamu jadi repot. Aku tahu kalau kamu nggak suka ribet ngatur-ngatur kamar."
Miko menghela napas panjang, suaranya terdengar lebih sabar, meskipun jelas ia sedikit kesal. "Aku nggak masalah, Hima. Jadi tolong, jangan bikin keadaan tambah rumit. Aku udah cukup baik-baik aja sama ini semua."
Merasa kalah dalam perdebatan ini, Hima menundukkan kepala sejenak, sebelum akhirnya ia berucap pelan, "Ya udah, terserah Mas aja."
Setelah itu, tanpa banyak bicara lagi, Hima berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Miko yang masih berdiri di tempatnya, kebingungan dengan tingkah Hima.
Miko menatap pintu yang baru saja tertutup, bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya terjadi antara mereka. Ada sesuatu yang terasa tak terucapkan, namun jelas mengganjal di antara keduanya.
Malam telah tiba, suasana rumah terasa lebih hangat meski ada percikan ketegangan yang tak kasatmata. Di meja makan, ayah Hima dan Miko sudah duduk, terlibat dalam percakapan ringan. Sementara itu, di dapur, Hima dan ibunya sibuk mempersiapkan makan malam.
Ayah Hima menghirup udara sejenak sebelum membuka pembicaraan. "Gimana pekerjaanmu akhir-akhir ini, Miko?" tanyanya dengan nada tenang, seolah ingin menjalin obrolan yang lebih santai.
Belum sempat Miko menjawab, Ibu Hima langsung menyolot dari dapur, suaranya terdengar tajam. "Seharusnya kamu tanya dulu bagaimana keadaan Miko sekarang, bukan cuma soal pekerjaan."
Miko tersenyum tipis, mencoba meredakan suasana yang terasa agak canggung. "Pekerjaan berjalan lancar, Pak. Kami sedang ada proyek tol yang baru masuk tahap desain final untuk lanskap dan estetika. Tantangannya lumayan besar, apalagi untuk menyeimbangkan antara fungsionalitas dan keindahan. Ada beberapa revisi dari pemerintah daerah terkait penghijauan di sekitar tol, tapi secara keseluruhan proyeknya masih on track."
Percakapan itu sejenak membuat suasana menjadi lebih cair. Namun, di tengah obrolan tersebut, Ibu Hima tiba-tiba memotong dengan nada menghakimi, "Hima, dengan pekerjaan Miko yang berat begitu, kamu melayaninya dengan baik atau tidak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy
General FictionHima adalah seorang reporter yang berdedikasi tinggi dalam pekerjaannya hingga sering kali dijuluki "perawan tua" oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, julukan itu tidak pernah mengganggunya; Hima merasa bahwa pekerjaannya adalah hasil kerja keras...