Setelah upacara pernikahan mereka di Jakarta selesai, Miko memandang Hima dengan tatapan serius.
"Hima, ada banyak hal yang perlu aku sampaikan. Pertama, aku sangat berterima kasih karena kamu mau menerima keadaan aku yang sudah pernah menikah. Kedua, mungkin kamu mengerti bagaimana rasanya ditinggal oleh orang tersayang. Aku masih belum bisa menerima kepergian Agisya sepenuhnya. Bahkan, salah satu alasan aku tetap tinggal di Semarang adalah agar aku bisa berkunjung ke makamnya. Maaf, aku belum bisa atau mungkin tidak akan bisa sepenuhnya menerima kamu."
Kata-kata itu meluncur tepat setelah mereka menyelesaikan acara pernikahan. Hima, dengan riasan yang masih melekat di wajahnya, hanya mengangguk pelan. Ia merasa bahwa perasaan Miko patut dihargai. Lagi pula, ia menikah sebagian besar untuk memenuhi harapan Ibunya, berharap julukan "Perawan Tua" itu akhirnya menghilang. Dan sekarang, harapan itu sudah terpenuhi.
"Kamu bebas untuk memilih apa pun. Hidupmu adalah pilihanmu, dan hidupku adalah pilihanku. Aku tidak akan meminta kamu berhenti bekerja atau melakukan hal lainnya," lanjut Miko.
Hima menatap Miko sejenak, ragu sebelum akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya. "Mas, apakah akan lebih baik jika kita membuat kontrak pernikahan? Supaya tidak ada yang merasa dirugikan di antara kita."
Miko mendadak berdecak, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan wajah penuh ketidakpercayaan. "Hima, kamu harusnya bersyukur aku bersedia menikahi kamu. Untuk apa kontrak pernikahan? Lagipula, siapa yang bilang pernikahan ini akan bertahan lama?"
Kata-kata Miko menusuk hati Hima, tetapi ia mencoba tetap tenang. "Aku mengerti bahwa Mas telah banyak membantuku, dan aku sangat menghargai itu. Tapi, kalau pernikahan ini tidak punya dasar yang kuat, aku nggak mau hanya aku yang mengerti keadaan Mas. Kita seharusnya sama-sama berkompromi, kan?"
Mata Miko menyipit, sedikit marah terlihat di wajahnya. "Hima, kamu nggak pernah mengalami kehilangan seperti yang aku alami. Jadi, kamu nggak pantas menghakimi atau mengatur-atur bagaimana aku harus menjalani hidupku sekarang."
Hima merasakan kepedihan dari setiap kata yang Miko ucapkan, tapi ia memilih untuk mengalah. Perlahan, ia bangkit dari tempat duduknya, mengambil handuk yang terlipat rapi di tepi ranjang. "Aku mau ke kamar mandi dulu," ucapnya pelan, seolah mengunci segala perasaan di dalam dirinya.
Tanpa menunggu jawaban, Hima melangkah menuju kamar mandi, membiarkan air yang mengalir nanti menjadi pelarian sementara dari kenyataan pahit yang baru saja mereka hadapi.
Setelah mandi dan berganti baju, Hima duduk di depan meja rias. Tatapannya terpaku pada bayangan dirinya sendiri, namun pikirannya melayang jauh. Dari lantai bawah, ia masih bisa mendengar suara tawa Miko, bersenda gurau dengan tamu-tamu yang datang. Hima merasa perih di hatinya. Betapa pandai Miko memasang topeng, seakan tidak ada apapun yang terjadi di antara mereka beberapa waktu lalu.
Di tengah kebisingan itu, suara Ibu Hima terdengar lebih jelas, penuh kebahagiaan. "Mas Miko, terima kasih ya, sudah bersedia menjadi pendamping hidup putri sulung saya. Hima beruntung sekali mendapatkan suami sebaik kamu."
Miko tersenyum tipis, senyum yang tampak sempurna di hadapan orang lain, namun terasa hampa di hati Hima. "Terima kasih, Bu. Saya juga berterima kasih karena keluarga sudah menerima saya dengan baik. Saya minta maaf kalau harus membawa Hima ke Semarang nanti, karena alasan pekerjaan."
Ibu Hima mengelus bahu Miko dengan lembut, seolah memberinya restu penuh. "Nggak apa-apa, Mas. Saya nggak khawatir selama Hima tinggal bersama kamu. Saya yakin, kamu pria yang baik dan bisa menjaga dia dengan baik."
Miko mengangguk sopan, sementara suara tawa dan obrolan di bawah masih berlanjut. Di kamar, Hima hanya bisa duduk diam, merasa terasing dalam kebahagiaan yang dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya. Satu bagian dari dirinya ingin percaya pada keyakinan yang dimiliki ibunya, tetapi kenyataan yang baru saja ia alami bersama Miko menekan hatinya, membuatnya ragu untuk berharap lebih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy
General FictionHima adalah seorang reporter yang berdedikasi tinggi dalam pekerjaannya hingga sering kali dijuluki "perawan tua" oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, julukan itu tidak pernah mengganggunya; Hima merasa bahwa pekerjaannya adalah hasil kerja keras...