Bab 20

49 11 0
                                    

Miko memiringkan kepalanya, menatap Hima dengan tatapan bingung, seakan mencoba mencerna kembali apa yang baru saja ia dengar. "Memangnya kamu ingin tahu apa tentang Agisya?"

Hima merasakan jantungnya berdetak kencang. Sorot mata Miko yang menatapnya dengan penuh kebingungan, jarak wajah mereka yang terlalu dekat, semuanya membuat semua pertanyaan yang sebelumnya ingin ia lontarkan tiba-tiba tersekat di tenggorokannya.

"Aku cuma ingin tahu di mana makam Mbak Agisya," ucap Hima akhirnya, suaranya lebih lembut dari yang ia harapkan.

Kepala Miko semakin miring, tanda bahwa dia tidak sepenuhnya memahami alur pertanyaan Hima. "Kenapa kamu mau tahu?"

Hima menunduk, menghindari tatapan Miko. Ia merasa perasaannya bercampur aduk. "Aku cuma... Aku ingin sekali mengunjungi makam Mbak Agisya. Aku ingat sekali ketika Mas bilang aku nggak akan pernah bisa menggantikannya. Dan aku sadar, aku memang nggak bisa. Aku nggak pernah punya niat untuk menggantikannya."

Miko terdiam, tidak memotong kata-kata Hima, hanya mendengarkan dengan seksama.

Hima melanjutkan, meskipun kata-katanya keluar dengan lebih berat, "Tapi aku ingin jadi orang yang ikut mendoakannya. Aku ingin... bicara langsung sama dia, bilang kalau aku nggak pernah punya niat untuk mengambil tempatnya. Aku ingin dia tahu kalau aku nggak akan pernah jadi penggantinya."

Keheningan menyelimuti mereka. Miko terdiam, menatap Hima yang masih menunduk, seakan sedang menimbang-nimbang perasaan yang selama ini tak pernah benar-benar mereka bicarakan.

Miko mengangguk pelan, mulai memahami maksud dari pertanyaan Hima. Ia menghela napas panjang, tatapannya perlahan beralih ke arah lain, seolah mencari kekuatan untuk menjawab pertanyaan yang selama ini tak pernah disinggung.

Hima ikut menghela napas, merasa pertanyaannya mungkin salah total. Ia siap menerima teguran atau mungkin amarah dari Miko.

Namun, ketika Miko akhirnya berbicara, kata-katanya justru di luar dugaan Hima. "Besok ulang tahun Agisya," kata Miko pelan. "Aku akan bawa kamu ke makamnya besok."

Mata Hima langsung terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tangannya refleks menutup mulutnya, menahan rasa terkejut yang begitu besar. Ia tidak pernah menyangka Miko akan menjawabnya seperti itu, apalagi menawarkan untuk mengunjunginya bersama.

Hima memastikan sekali lagi, suaranya penuh keterkejutan, "Besok, Mas?"

Miko mengangguk mantap, sambil menampilkan senyum tipis yang jarang terlihat di wajahnya. "Iya, besok. Kamu ikut."

Hima terdiam beberapa saat, berusaha mencerna sepenuhnya perkataan Miko. Hatinya berdesir dengan perasaan campur aduk—antara terharu, terkejut, dan lega. Mungkin ini adalah langkah pertama mereka untuk lebih memahami satu sama lain.

Tanpa banyak bicara lagi, Miko mulai membereskan meja makan. Ia meraih piring-piring yang telah kosong dan beranjak ke arah wastafel untuk mencucinya.

Hima bangkit dari duduknya, merasa ia harus melakukan sesuatu. "Mas, biar aku aja yang cuci piring," katanya sambil melangkah mendekat.

Miko menggeleng tanpa menoleh, "Nggak usah, biar aku aja."

Hima tersenyum manis, meski sedikit bingung dengan sikap Miko yang kini lebih terbuka dan lembut. Ia pun memutuskan untuk mengelap beberapa noda bekas memasak di dapur. Sambil membersihkan, ia terus merenungkan pernyataan Miko tadi. Perasaan hangat menyelinap di hatinya—ini mungkin awal dari hubungan mereka yang lebih baik.

•••

Jam menunjukkan pukul 23.45 WIB. Hima terbangun dari tidurnya, merasa ada sesuatu yang membuatnya terjaga. Dengan perlahan, ia membuka laci kamarnya dan mengambil sebuah lilin kecil serta korek api yang sudah ia simpan di sana sejak lama. Tanpa banyak suara, ia duduk kembali di atas ranjang, menyalakan lilin yang lebih mirip dengan lilin terapi, lalu meletakkannya di atas nakas.

Cahaya lilin yang lembut menerangi wajah Hima. Ia tersenyum kecil, seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Mungkin hanya sedikit hal yang Mas Miko tahu tentang aku," gumamnya pelan, suara hampir tenggelam dalam keheningan malam. "Termasuk fakta kalau aku juga berulang tahun malam ini, sama seperti Agisya."

Hima menghela napas, merasakan ketenangan di tengah kesedihan yang melanda. "Aku tidak merasa sakit hati karena Mas Miko tidak mengetahui banyak tentangku. Bagiku, yang paling penting adalah kamu mulai membuka diri sedikit demi sedikit, menunjukkan sisi lain dari diri kamu yang selama ini tersembunyi. Meski masih ada dinding dingin yang membatasi, aku merasa semuanya jauh lebih baik dari yang aku bayangkan. Sekarang, aku bisa memahami lebih banyak tentang Mbak Agisya, wanita yang tetap ada di hati Mas Miko meskipun ia telah tiada. Hal ini membuatku merasa lebih dekat, dan aku tidak bisa meminta lebih dari itu."

Mata Hima mulai berkaca-kaca saat pikirannya mengalir tanpa henti. "Bunga itu... baju itu...," gumamnya pelan, mengingat semua hal yang terjadi hari ini. "Pasti semua itu dipersembahkan untuk Mbak Agisya."

Hima merasakan sesuatu yang asing menyelusup di dadanya, rasa kagum bercampur pilu. "Mbak Agisya, kamu adalah salah satu wanita paling beruntung di dunia," ucapnya dengan suara bergetar. "Bahkan setelah kamu sudah tidak ada, doa-doa dari orang yang mencintaimu masih terus mengalir."

Air mata Hima mulai menetes perlahan, seiring dengan tatapannya yang tidak pernah lepas dari lilin kecil yang menyala di depannya. Ada sesuatu yang begitu indah sekaligus menyakitkan dari kesetiaan dan cinta Miko kepada Agisya. Tapi, Hima tidak ingin memendam perasaan iri atau cemburu lagi.

Dengan tangannya yang bergetar, Hima mengatupkan kedua tangannya, memanjatkan doa dalam hatinya. "Di ulang tahunku kali ini," bisiknya pelan, "aku berharap diberi hati yang luas... jauh lebih luas daripada rasa sakit yang aku rasakan. Semoga aku dihindarkan dari perasaan iri atau dengki, terutama soal cinta."

Hima menarik napas dalam, menahan isak yang mulai memenuhi dadanya. "Aku ingin mencintai Mas Miko dengan tulus... sebagai obat, bukan sebagai pengganti Mbak Agisya. Aku ingin bisa mencintainya tanpa harus berharap untuk menjadi yang pertama di hatinya."

Air mata Hima terus mengalir, tapi senyumnya tetap tergurat di wajahnya. "Semoga Mas Miko selalu bahagia, meskipun aku tahu... mungkin aku bukan alasan dari kebahagiaan itu."

Malam ini terasa begitu panjang bagi Hima. Setelah meniup lilin dan memanjatkan harapannya, ia pikir akan segera tenggelam dalam tidur yang lelap. Namun, waktu terus bergulir dan matanya masih terbuka lebar. Jam sudah menunjukkan pukul dua malam, dan rasa kantuk masih belum juga datang.

Hima akhirnya memutuskan untuk turun dari ranjang, berniat mengambil minum karena tenggorokannya mulai terasa kering. Ia membuka pintu kamarnya dengan pelan, tidak ingin membuat suara yang bisa mengganggu keheningan malam. Namun, saat ia melangkah keluar, matanya tertuju pada sebuah ruangan kecil di lantai dua, tempat ibadah yang sering digunakan mereka bergantian.

Dari pintu yang sedikit terbuka, Hima melihat Miko sedang duduk di sana, menengadahkan tangan, seakan memanjatkan doa dalam keheningan malam. Lantai dua begitu gelap, hanya diterangi oleh sorotan samar lampu jalan yang menembus celah jendela. Siluet tubuh Miko tampak kokoh, namun di balik kekokohan itu, Hima bisa merasakan kesedihan yang mendalam.

Hima berdiri di ambang pintu, menyaksikan Miko yang membelakanginya. Perlahan, sayup-sayup, Hima mendengar suara isakan. Isakan kecil, tetapi cukup untuk membuat hatinya ikut terenyuh. Miko menangis—dan tangisan itu membuat Hima paham, betapa besar kerinduan Miko pada Agisya malam ini, di ulang tahun wanita yang sudah tiada itu.

Air mata mulai menggenang di mata Hima. Di balik punggung Miko, ia bisa merasakan perasaan yang meluap-luap dari pria itu, meski tak ada satu pun kata yang terdengar. Hima berharap bisa mendengar satu atau dua kalimat dari bibir Miko, sesuatu yang menunjukkan seberapa besar cinta dan rindu yang ia rasakan untuk Agisya. Namun, Hima memilih untuk tetap di tempatnya, tidak ingin mengganggu momen itu.

Dengan berat hati, ia memutar tubuhnya perlahan dan kembali ke kamarnya, mengurungkan niatnya untuk mengambil minum. Ketika pintu kamar tertutup, Hima menyandarkan tubuhnya ke tembok, membiarkan air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan lagi.

Sekuat apa pun Hima mencoba untuk tidak merasa cemburu atau iri, kenyataannya ia hanya manusia biasa. Ia tahu, cinta Miko kepada Agisya begitu dalam, dan meski Hima mencoba memahami, malam ini ia merasa begitu kecil di hadapan bayangan cinta masa lalu yang begitu besar.

RemedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang