Bab 15

48 11 0
                                    

Seperti biasa, Miko pulang dengan langkah malas. Ia menekan kunci mobil lalu berjalan pelan menuju pintu rumah. Pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai hal dari kantor, dan ia hanya ingin segera beristirahat. Namun, ketika pintu terbuka, suasana rumah yang biasanya tenang mendadak berubah.

"Mas Miko!" Suara teriakan itu membuatnya tersentak. Hima tiba-tiba bangkit dari duduknya dan menghampirinya dengan wajah sumringah. Mata Miko terbelalak, dan ia langsung mengelus dada, benar-benar terkejut oleh sambutan yang tidak biasa itu.

"Ada apa?" tanyanya dengan nada sedikit cemas, bertanya-tanya apa yang membuat Hima begitu antusias.

"Mas Miko bisa ajarin aku menyetir minggu ini, nggak?" Hima langsung meluncurkan pertanyaannya dengan penuh semangat. "Kalau motornya nggak ada, aku bisa kok pakai uang tabunganku buat kredit motor."

Miko masih berdiri di ambang pintu, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. "Kenapa tiba-tiba mau belajar nyetir?" tanyanya, bingung.

Hima tersenyum lebar dan mulai bercerita, "Aku baru saja ditawari posisi baru di kantor, dan satu minggu ini aku harus benar-benar fokus supaya bisa lolos. Masalahnya, aku sering telat kalau naik angkutan umum, dan aku nggak mau telat lagi! Kalau aku bisa nyetir, aku bisa berangkat lebih pagi dan nggak perlu khawatir ketinggalan waktu."

Sambil bercerita, Hima berjalan ke sana kemari di ruang tamu, gesturnya penuh semangat dan antusias. Ia sudah membayangkan betapa menyenangkannya bisa menyetir sendiri, mengatur waktu tanpa perlu bergantung pada angkutan umum.

Di sisi lain, Miko tetap berdiri di pintu, membeku. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing melihat Hima yang tak bisa diam, bersemangat sekali bercerita dan bergerak ke segala arah.

"Hima, tenang dulu," kata Miko dengan suara yang lebih lembut, berusaha menenangkan diri sekaligus Hima.

Hima terus berjalan kesana-kemari dengan semangat yang masih menyala-nyala, membuat Miko semakin pusing melihatnya. Akhirnya, ia tak tahan lagi dan segera menahan tangan Hima, menghentikan gerakan tidak teraturnya. Sentuhan tiba-tiba itu sukses membuat Hima tersentak kaget, matanya melebar saat ia mendadak terdiam.

Miko cepat-cepat melepaskan genggamannya, menyadari bahwa tindakannya mungkin sedikit terlalu spontan. Ia berdeham pelan sebelum menjelaskan, "Hima, belajar menyetir itu butuh waktu yang cukup lama. Dan masalahnya, aku cuma punya libur dua hari. Kalau kamu takut terlambat, aku bisa mengantarmu dulu untuk seminggu ini."

Hima mengernyitkan dahi, ragu. "Tapi, Mas... aku nggak enak kalau harus nyuruh Mas nganterin setiap pagi. Itu bakal merepotkan."

Miko menggeleng pelan. "Masalahnya, kamu butuh motor dulu sebelum bisa mulai belajar, dan waktu satu minggu nggak akan cukup. Kalau mobil, beda cerita. Mungkin kamu bisa belajar sekarang juga."

Mata Hima terbuka lebar, tak percaya dengan saran itu. Bayangan dirinya harus belajar menyetir menggunakan mobil Pajero Miko yang tinggi dan besar terasa sangat menakutkan. "Belajar mobil, Mas? Pakai Pajero? Kayaknya... nggak deh," jawabnya pelan, sambil memikirkan betapa menantangnya itu.

"Kalau begitu, aku naik angkutan umum saja," lanjut Hima dengan nada yang mulai meredup. "Aku bisa berangkat lebih pagi supaya nggak telat."

Miko memandang Hima sejenak, kemudian dengan nada yang lebih tegas berkata, "Aku akan mengantarmu untuk satu minggu ini. Nggak perlu merasa nggak enak."

Hima hendak menolak, "Tapi, Mas..."

Namun, Miko langsung memotong dan mengabaikan penolakannya. Ia berbalik tanpa berkata apa-apa lagi, lalu berjalan menuju kamarnya.

Hima melamun dihadapan tugas-tugasnya yang menumpuk, merasa bingung harus senang atau cemas dengan tawaran Miko yang bersedia mengantarnya ke kantor setiap pagi. Bagaimana tidak? Miko dikenal sebagai orang yang gampang mengeluh, dan di hari pertama mengantar Hima, ia sudah menunjukkan tanda-tanda kekesalan dengan jalanan yang padat. Miko selalu berdecak kesal setiap kali terjebak macet, membuat Hima merasa bersalah karena telah meminta bantuan.

Di tengah kebingungan itu, Hima dikejutkan oleh Miko yang tiba-tiba bertanya, "Kamu mau beli motor apa?"

Hima mengangkat alis, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang tak terduga itu. Setelah mencerna maksudnya, ia menjawab, "Apa saja, yang penting matic, Mas."

Miko mengangguk pelan, lalu kembali fokus pada ponselnya, membiarkan Hima dengan pikirannya sendiri. Hima meremas jari-jarinya, merasa pekerjaannya mendadak terbengkalai karena pikirannya teralihkan oleh keinginan untuk berbicara lebih lanjut dengan Miko. Miko duduk di sofa ruang tamu, sementara Hima duduk lesehan di karpet dengan laptop di meja. Jarak mereka begitu dekat, namun terasa ada sesuatu yang membuat Hima ragu.

Akhirnya, setelah mengumpulkan keberanian, Hima membuka suara, "Mas, beli motor yang murah saja, ya. Aku takut nggak bisa bayar cicilannya."

Miko mengerutkan dahi, bingung dengan sikap Hima yang tiba-tiba cemas tentang harga motor. "Hima," ucap Miko dengan nada serius, "aku yang akan beli motornya, dan kamu nggak perlu bayar apapun. Cukup belajar menyetir dan gunakan motor itu dengan baik. Yang penting kamu nyaman."

Hima menatap Miko, terkejut dengan tanggapan yang begitu lugas dan penuh perhatian. Sejujurnya, ia tak menyangka Miko akan berkata seperti itu. Perasaan campur aduk memenuhi hatinya—antara terharu dan masih sedikit tidak percaya. Ia hanya bisa mengangguk pelan, merasa lega namun juga terselip rasa tak enak hati karena harus menerima begitu banyak dari Miko.

Suasana ruangan itu kembali hening, hanya terdengar bunyi detak jam dinding yang perlahan mengisi keheningan di antara mereka. Miko kembali pada ponselnya, sementara Hima berusaha untuk fokus pada pekerjaannya yang sempat terbengkalai, namun kali ini dengan pikiran yang sedikit lebih tenang.

Hima menatap laptopnya, namun pikirannya terus melayang pada percakapan barusan. Ia menghela napas pelan, merasa berat untuk melanjutkan pembicaraan, tapi akhirnya ia memberanikan diri. "Mas, aku minta maaf ya, kalau udah merepotkan. Mungkin ini akan menguras waktu istirahat Mas juga."

Miko, yang masih fokus pada ponselnya, menoleh sejenak. "Nggak apa-apa, Hima," jawabnya dengan nada tenang, seolah meyakinkan bahwa hal ini bukan masalah besar baginya.

Namun, rasa tidak enak hati Hima belum sepenuhnya hilang. "Tapi Mas, aku bisa kok nyicil motor itu," katanya, masih ingin meringankan beban Miko.

Miko menaruh ponselnya di atas meja, kali ini menatap Hima dengan serius. "Di rumah ini nggak ada motor, jadi aku nggak keberatan untuk membelinya. Motor itu bisa kita gunakan berdua kalau perlu," jawab Miko sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.

Ia melanjutkan, suaranya lebih lembut namun tetap tegas, "Lagipula, bukankah kamu sendiri yang bilang kita harus membiasakan diri? Kenapa sekarang kamu yang selalu merasa nggak enak? Padahal aku udah berusaha agar kita bisa lebih dekat."

Hima terdiam, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Miko. Ada kebenaran dalam ucapan Miko—selama ini, ia memang sering merasa tidak enak hati, seolah setiap interaksi mereka adalah beban yang harus dipikul. Tapi kini, mendengar Miko berbicara dengan tulus, Hima mulai merasakan kelegaan yang jarang ia temui.

Ia mengangguk pelan, lalu tersenyum lega. "Terima kasih, Mas," ucapnya tulus, merasa sedikit lebih ringan setelah mendengar ucapan Miko.

Miko hanya mengangguk kembali sebelum mengambil ponselnya lagi, seolah-olah percakapan tadi hanyalah bagian dari rutinitas sehari-hari. Hima pun kembali fokus pada pekerjaannya, namun kali ini, ia merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. Mungkin, sedikit demi sedikit, ia dan Miko bisa membangun kebiasaan baru yang lebih baik bagi mereka berdua.

RemedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang