Bab 9

43 13 0
                                    

Miko membuka gerbang rumah dengan lesu, lelah setelah pulang larut malam karena pekerjaan yang menumpuk. Ketika hendak mengambil kunci, matanya tertuju pada sandal Hima yang tergeletak di depan pintu. Ditambah kunci cadangan yang tergantung di luar. Ia bingung, sejak kapan istrinya pulang? Bukankah Hima seharusnya kembali besok?

"Hima?" Miko memanggil Hima sambil menutup pintu pelan, namun tidak ada jawaban. Hanya ada koper dan barang-barang berserakan di atas meja ruang tamu. Miko melirik kesana kemari, merasa bingung, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk naik ke lantai dua menuju kamar Hima.

Pintu kamar tertutup rapat, dan Miko mengetuk sambil memanggil Hima beberapa kali. Masih tidak ada jawaban. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan melihat Hima yang tertidur pulas di ranjang. Hima tampak kelelahan, tertidur tanpa selimut, riasan wajahnya masih menempel, dan bajunya belum diganti. Miko berasumsi bahwa Hima langsung tidur setelah sampai di rumah.

Miko menggeleng pelan, merasa campur aduk antara rasa cemas dan rasa lelah. Ia berjalan menuju ranjang dan meraih selimut. Dengan lembut, ia menyelimutkan Hima, berusaha membuatnya merasa nyaman. Setelah memastikan Hima tertutup dengan baik, Miko mematikan lampu dan pergi menuju kamarnya sendiri, membiarkan Hima istirahat setelah hari yang panjang.

Pukul 06.30 WIB, Miko terbangun dari tidurnya, merasakan kantuk yang masih menggantung di kelopak matanya. Ia mendengar suara dentingan alat masak dari arah dapur, membuatnya segera bangkit dan melangkah menuju sumber suara.

Di dapur, Miko melihat Hima yang tengah sibuk membuat sarapan. Berbeda dengan biasanya, hari ini Hima mengikat rambutnya rapi ke belakang. Bajunya tampak sedikit basah oleh keringat, seolah baru saja melakukan pekerjaan berat. Miko tertegun sejenak, mengamati setiap gerakan Hima.

Tanpa menoleh, Hima tiba-tiba bertanya, "Baru bangun, Mas?"

Miko, masih dalam kebingungan, mengangguk pelan. Pandangannya beralih ke sekitar rumah yang terlihat jauh lebih rapi dari biasanya. Semua barang tampak berada di tempatnya, bahkan lebih rapi daripada yang biasanya dilakukan oleh Bi Ijah. Miko baru teringat bahwa Bi Ijah belum datang ke rumah pagi ini.

Miko bertanya, "Hima, kamu yang membersihkan semua ini?"

Hima melirik Miko sejenak lalu mengangguk, sambil tersenyum tipis. Wajahnya memang terlihat lelah, tapi ada kepuasan yang terpancar dari matanya.

Miko hanya mengangguk sebagai balasan, masih mencerna semua yang dilihatnya pagi itu. Tanpa berkata-kata lagi, ia berbalik dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia tahu, sarapan tidak akan terasa nikmat jika tidak dalam keadaan segar terlebih dahulu.

Kini, Miko sudah duduk rapi di meja makan, matanya sesekali melirik ke arah tangga ketika Hima turun dari lantai dua. Rambut Hima masih basah, menunjukkan bahwa ia baru saja selesai mandi. Kini, kedua pasangan itu sudah siap untuk berangkat kerja.

Ketika Hima duduk di meja makan, sibuk menuangkan makanan ke piring, Miko tiba-tiba berkata dengan nada tegas, "Jangan ceroboh, Hima."

Hima terhenti, mengangkat alisnya dan memandang Miko dengan bingung. "Ceroboh gimana, Mas?" tanyanya.

Miko menatap Hima, ekspresinya serius. "Semalam, waktu aku pulang, pintu rumah tidak terkunci dan kuncinya tergantung di luar. Untung saja aku pulang malam itu. Bayangkan kalau aku tidak pulang, dan pintu dibiarkan tidak terkunci seperti itu? Apa yang akan terjadi? Mungkin rumah ini bisa saja dirampok, tapi yang lebih aku khawatirkan, bagaimana kalau kamu terluka, Hima?"

Kata-kata Miko menembus pertahanan Hima. Ia menutup mulutnya dengan tangan, perasaan menyesal langsung menguasai hatinya. "Maaf, Mas... Aku benar-benar menyesal. Aku tidak bermaksud ceroboh. Aku kelelahan setelah perjalanan panjang, dan... aku lupa kasih tau kamu kalau aku pulang lebih cepat karena ada pekerjaan yang harus segera aku selesaikan di Semarang." Suaranya terdengar penuh penyesalan.

RemedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang