Hima membuka pintu rumah perlahan, lelah setelah seharian beraktivitas. Namun, matanya membelalak saat melihat Miko sudah duduk di ruang tamu, menatapnya dengan sorot tajam yang sulit diartikan. Di dalam benaknya, ia bertanya-tanya sudah berapa lama Miko menunggunya.
"Ikut telat juga ya," celetuk Miko, nada suaranya terdengar datar namun jelas menyiratkan sesuatu.
Hima menunduk sambil melepas pentofelnya dengan gerakan lambat. "Aku ada acara makan bersama junior, makanya telat," jawabnya dengan suara tenang, mencoba menghilangkan perasaan canggung yang tiba-tiba menyelimuti mereka.
Miko hanya mengangguk singkat, seolah memahami rutinitas Hima yang berubah sejak mendapatkan posisi barunya. "Oh, ya sudah," gumamnya, nada suaranya terdengar tanpa beban, namun sorot matanya masih menempel pada Hima.
Alih-alih duduk bersama Miko di ruang tamu seperti biasanya, Hima memilih untuk langsung berjalan menuju kamarnya. Ia terlalu lelah untuk terlibat dalam percakapan yang mungkin akan membuat suasana semakin kaku.
Langkah Hima terhenti sejenak saat mendengar suara Miko yang tiba-tiba memecah keheningan, "Aku nggak bisa makan malam sama kamu minggu ini. Ada urusan."
Hima menghela napas pelan, perasaan kecewa yang sudah lama mengendap di hatinya kini terasa semakin nyata. Ia perlahan berbalik, menatap Miko dengan tatapan yang penuh kelelahan. "Aku juga sudah nggak ada minat untuk makan malam bersama di luar, Mas," jawabnya, suaranya terdengar tenang namun menyiratkan kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan.
Setelah berkata begitu, Hima kembali melangkah menuju kamarnya, meninggalkan Miko yang kini mengerutkan dahi, bingung dengan pernyataan Hima yang seakan tak terduga.
Di dalam kamar mandi, Hima menatap wajahnya lekat-lekat di cermin. Perasaan bersalah menguasainya. "Kenapa aku bilang begitu tadi?" batinnya. Dia tahu, seharusnya tidak ada alasan baginya untuk merasa kesal atau cemburu jika Miko pergi menjenguk makam Agisya, mendiang istrinya.
"Bukankah aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak marah?" pikirnya lagi, mencoba memahami emosinya sendiri.
Hima menggerutu sambil mengusap wajahnya berkali-kali. Ia tahu, perasaan ini tidak baik. Namun, insiden bunga mawar putih itu, meskipun hanya asumsi, entah bagaimana tetap membuat hatinya gelisah. Setelah beberapa saat, ia menegaskan dalam hati untuk kembali bersikap seperti biasa dan tidak membiarkan rasa kesal mengendalikan dirinya lagi.
Setelah mandi, Hima keluar kamar untuk mengambil cemilan. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat Miko berdiri di depan pintu kamarnya, mengenakan piyama biru tua kesayangannya. Momen itu membuat Hima terkejut, jarang sekali melihat Miko menunggu di depan pintu seperti ini.
Hima berdeham pelan, mencoba menyembunyikan rasa kagetnya. "Ada apa, Mas?" tanyanya, suaranya terdengar datar meskipun di dalam hatinya ia merasa tidak siap untuk percakapan ini.
Dengan sedikit gugup, Miko menjawab, "Aku... mau nanya, kamu mau makan malam bareng nggak? Di rumah saja."
Hima menatap Miko sejenak, merasa ada yang berbeda dalam cara Miko berbicara kali ini. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain, berusaha terlihat jual mahal, meskipun sebenarnya hatinya sedikit luluh mendengar tawaran itu.
Melihat Hima yang masih diam, Miko melanjutkan dengan nada lebih pelan, "Kamu belum pernah ngerasain masakanku, kan? Makanya, aku pengen ajak makan malam bareng di rumah. Gantiin rencana makan malam yang batal."
Hima berpura-pura berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Oh... ya, boleh." Ia mengangguk mantap, berusaha menyembunyikan senyumnya.
Setelah itu, Hima berlalu, namun di dalam hatinya, ia merasa sedikit lega. Tawaran makan malam dari Miko adalah sebuah ajakan yang jarang, dan meskipun situasi mereka belum sepenuhnya berubah, setidaknya ada sedikit percikan harapan untuk kembali membuka ruang komunikasi di antara mereka.
•••
Miko sibuk mengaduk-aduk bumbu di panci, sementara Hima duduk manis di meja makan, mengawasi setiap gerakan Miko dengan rasa penasaran. Awalnya, ia berniat untuk hanya duduk dan menunggu, tetapi melihat Miko yang bekerja sendirian di dapur membuat hatinya terasa sedikit tidak nyaman.
Dengan perasaan yang campur aduk, Hima akhirnya bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat ke arah Miko. "Biar aku bantu motong bawangnya, ya," ujarnya pelan, tiba-tiba muncul di sebelah Miko yang sibuk di depan kompor.
Miko tersentak, tidak menyangka Hima akan bangkit dan menawarkan bantuan. "Kamu duduk aja, aku bisa kok," katanya sambil melirik Hima.
Namun, Hima menolak dengan lembut, "Nggak apa-apa, aku cuma motong-motong sayur sama bawangnya. Untuk bumbunya, tetap kamu yang masak." Ia tersenyum, mencoba menenangkan Miko agar tidak terlalu canggung.
Miko mengangguk setelah beberapa saat berpikir. "Oke, kalau cuma itu, boleh lah," jawabnya akhirnya, menyerahkan pisau dan bahan-bahan yang perlu dipotong kepada Hima.
Suasana di dapur pun mulai dipenuhi oleh suara dentingan alat masak, suara irisan pisau di talenan, dan keheningan yang sedikit canggung. Mereka tidak banyak bicara, hanya saling fokus pada tugas masing-masing hingga hidangan itu akhirnya siap.
Setelah beberapa saat, keduanya kini sudah duduk di meja makan. Namun, ada satu hal yang membuat suasana sedikit berbeda kali ini—Miko duduk di sebelah Hima, bukan di seberang seperti biasanya. Hima tersentak kaget, perasaan aneh menyeruak dalam dirinya. Ia menoleh pelan, menatap Miko dengan bingung.
"Kenapa duduk di sini?" tanyanya heran, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Miko menatapnya sekilas sebelum menjawab, "Aku pengen coba sesuatu yang beda." Jawabannya singkat dan sederhana, namun cukup membuat Hima merasa semakin aneh.
"Oh..." Hima hanya bisa ber-oh, merasa semakin canggung dengan perubahan sikap Miko yang tiba-tiba ini. Namun, ia tetap berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya.
Keduanya mulai makan dalam keheningan, namun posisi duduk yang begitu dekat membuat segalanya terasa semakin canggung. Tak jarang, tangan mereka bersentuhan secara tidak sengaja saat mengambil makanan atau menyesap minuman. Setiap kali itu terjadi, Hima mencoba menahan diri untuk tidak terlalu gugup.
Di tengah suasana makan malam yang hening itu, Miko tiba-tiba bertanya, "Masakanku enak nggak?"
Hima melirik cepat ke arah Miko, sedikit tersentak oleh pertanyaannya yang datang tanpa peringatan. "Enak, Mas," jawabnya sambil tersenyum manis, berusaha membuat suasana menjadi sedikit lebih santai. "Beneran, enak banget," tambahnya dengan tulus.
Miko tersenyum tipis mendengar pujian itu, merasa sedikit lega. "Syukurlah kalau enak," katanya dengan nada datar, namun ada kehangatan yang tersirat dalam suaranya. Ia tampak bersyukur bahwa masakannya bisa diterima oleh Hima.
Keduanya melanjutkan makan, meski suasana masih sedikit canggung. Namun, ada perasaan hangat yang mulai menyelinap di antara mereka, seakan ada sebuah langkah kecil menuju kedekatan yang mungkin mereka berdua butuhkan.
Saat suara dentingan alat makan masih beradu di tengah keheningan yang aneh, Miko tiba-tiba berbicara. "Karena hari ini hari yang spesial buat kamu, aku bakal jawab apapun yang kamu tanyakan malam ini," ucapnya dengan tenang, namun cukup untuk membuat Hima terkejut.
Hima tersentak, hampir tersedak saat mendengar ucapan itu. Ia cepat-cepat meminum air putih di depannya, berusaha menenangkan diri sebelum bertanya, "Maksudnya, Mas? Apapun?"
Miko mengangguk, menatap Hima tanpa ragu. "Iya, apapun yang kamu ingin tanya. Malam ini, aku akan jawab."
Hima menggigit bibir bawah, perasaan ragu tiba-tiba menyelimutinya. Di kepalanya, seketika muncul ratusan bahkan ribuan pertanyaan yang selama ini hanya terpendam dalam hati. Ada begitu banyak hal yang ingin ia tanyakan tentang kehidupan mereka, perasaan Miko, bahkan tentang Agisya. Namun, dari semua pertanyaan itu, yang keluar dari mulutnya hanyalah satu, "Bahkan tentang Agisya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy
General FictionHima adalah seorang reporter yang berdedikasi tinggi dalam pekerjaannya hingga sering kali dijuluki "perawan tua" oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, julukan itu tidak pernah mengganggunya; Hima merasa bahwa pekerjaannya adalah hasil kerja keras...