Pagi ini, Hima siap dengan pakaian kerjanya yang rapi dan penuh semangat. Hari ini adalah hari istimewa baginya—ia resmi diangkat sebagai koordinator liputan. Perasaan bahagia memenuhi dadanya, dan senyum di wajahnya seolah tak kunjung menipis. Sejak bangun pagi tadi, Hima merasa segalanya berjalan lancar.
Setelah memastikan semuanya siap, Hima menuruni tangga dan menghampiri Miko yang sedang sibuk mengenakan sepatu di dekat pintu. Saat melewati Miko, ia dengan riang berkata, "Aku tunggu di mobil, ya."
Miko tertegun, matanya melebar sedikit. "Tunggu sebentar, Hima," serunya. Namun, Hima sudah berlalu begitu saja, terlalu bersemangat untuk menunggu. Ia membuka pintu mobil dan duduk manis di dalam, masih dengan senyuman yang tak hilang dari wajahnya.
Namun, tak lama setelah duduk, Hima merasakan sesuatu yang aneh. Aroma yang sangat wangi tercium di dalam mobil, aroma bunga yang lembut. Ia mengerutkan dahi dan memutar kepalanya, mencari sumber aroma itu. Pandangannya tertuju ke bagian belakang mobil, di mana ada seikat bucket bunga mawar putih yang sangat cantik.
Hima bertanya-tanya dalam hati. Untuk siapa bunga ini?pikirnya. Bunga itu begitu indah, dan Hima tak bisa menghilangkan rasa penasarannya. Namun sebelum ia bisa merenungkan lebih jauh, pintu mobil terbuka dan Miko masuk.
"Aku pulang telat hari ini," kata Miko sambil memasang sabuk pengaman, matanya lurus menatap ke depan.
Hima yang tadinya sedang menatap bunga itu, cepat-cepat berbalik dan mengangguk. "Oh, baiklah," jawabnya, berusaha menutupi rasa penasarannya yang terus berkecamuk.
Selama perjalanan, keheningan terasa begitu menekan. Hima terus meremas bajunya dengan gelisah, pikirannya tak bisa lepas dari bunga mawar putih di belakang mobil. Ia merasa ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, tapi takut menyentuh topik yang mungkin sensitif.
Akhirnya, Hima memberanikan diri. Ia memanggil Miko pelan, "Mas..."
Miko meliriknya cepat sambil mengangkat alis, "Ya?"
Dengan gugup, Hima bertanya, "Aku boleh tau nanti kamu mau kemana sepulang kerja?"
Miko membuang pandangan ke jalanan, lalu menjawab dengan nada datar, "Nggak."
Jawaban Miko singkat, namun itu cukup bagi Hima untuk mengerti. Dalam hatinya, Hima menduga bahwa Miko mungkin akan mengunjungi makam Agisya, mendiang istrinya. Bunga mawar putih itu, pakaian rapi Miko, semuanya seakan mengarah pada dugaan itu.
Merasa bersalah karena sudah menanyakan sesuatu yang mungkin menyentuh kenangan lama, Hima mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ia menggigit bibir, menyesali pertanyaan yang ia ajukan. Meski ia tahu Miko masih terikat dengan masa lalunya, Hima tak bisa menahan perasaan canggung yang tiba-tiba menyeruak di antara mereka.
•••
Hima berjalan menuju kantornya dengan langkah lesu. Pikirannya masih tertinggal di perjalanan dengan Miko tadi pagi. Tidak ada ucapan selamat, tidak ada kata-kata manis, hanya hening yang menyisakan kesan dingin di antara mereka.
Begitu ia membuka pintu kantornya, suasana langsung berubah drastis. Tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh suara sorakan riuh dari para anggota tim, terutama dari junior-juniornya yang baru saja diangkat menjadi reporter. Mereka semua berdiri menyambutnya dengan senyuman lebar, memberikan tepuk tangan meriah.
"Selamat, Kak Hima!" terdengar seruan dari berbagai arah.
Hima tertegun, matanya membulat, dan kata-kata seakan terhenti di tenggorokannya. Ia sama sekali tidak menduga akan disambut seperti ini. Para junior yang selama ini ia bimbing dengan penuh dedikasi kini mengelilinginya, memberikan ucapan selamat dengan semangat.
Mata Hima berkaca-kaca, perasaan haru menggantikan kesedihan yang sebelumnya membebani pikirannya. Semua dukungan ini membuatnya merasa dihargai, dan dalam sekejap, rasa berat yang ia rasakan tentang Miko menghilang sejenak.
Di tengah kerumunan itu, tiba-tiba Morgan muncul dengan senyuman hangat di wajahnya. Di tangannya, ia membawa buket bunga yang cantik. "Selamat, Kak Hima," ucapnya sambil memberikan bunga itu pada Hima.
Hima terdiam sejenak, terkejut oleh isyarat itu. Ia memandang bunga yang diberikan Morgan, sedikit teringat dengan mawar putih yang tadi ia lihat di mobil Miko. Namun, suasana di kantor membuatnya cepat kembali sadar. Dengan senyum tipis, Hima menerima bunga itu sambil menundukkan badan sebagai tanda terima kasih.
"Ini hanya sebagian kecil hadiah dari kami semua, Kak," kata Morgan dengan nada riang.
Perasaan Hima semakin terenyuh. Ia menerima bunga itu dengan perasaan haru. "Terima kasih banyak, semuanya," katanya, suaranya bergetar sedikit karena menahan air mata.
Setelah itu, para anggota tim mulai kembali ke meja masing-masing, meninggalkan Hima yang masih berdiri dengan buket bunga di tangan. Namun, Morgan masih di tempatnya, tetap berdiri di samping Hima. Ia terlihat gugup, menggaruk tengkuknya sebelum akhirnya memberanikan diri berkata, "Kak Hima, malam ini... mau makan malam bareng? Sebagai ucapan terima kasih dari aku buat semua bantuan Kakak selama ini."
Mata Hima membelalak terkejut. Ajakan makan malam dari Morgan adalah sesuatu yang tidak ia duga sama sekali. Perasaan campur aduk mulai menyelimuti dirinya. Ia merasa tidak enak menerima ajakan itu, terutama mengingat posisinya sebagai senior. Namun, Morgan terlihat begitu tulus, dan ia hanya ingin menunjukkan rasa terima kasihnya.
"Morgan... aku..." Hima menggigit bibir bawahnya, bingung harus menjawab apa. Tapi kemudian, ia ingat Miko akan pulang telat malam ini. Mungkin, tidak ada salahnya menerima ajakan Morgan, mengingat tidak ada rencana lain.
Morgan yang masih menunggu dengan wajah penuh harap, akhirnya mendengar jawaban Hima. Setelah berpikir panjang, Hima mengangguk pelan. "Oke, baiklah," jawabnya sambil tersenyum kecil.
Morgan tampak riang, wajahnya cerah seketika. "Terima kasih banyak, Kak! Aku nggak nyangka Kak Hima mau terima ajakan aku," ucapnya dengan penuh semangat.
Hima hanya tersenyum tipis, masih merasa sedikit canggung, tapi dalam hati ia tahu bahwa Morgan hanya bermaksud baik. Ia pun mulai bersiap untuk menjalani sisa hari dengan perasaan yang sedikit lebih ringan, meskipun pikirannya masih melayang pada Miko dan jarak yang tak terlihat di antara mereka.
Sepulang kerja, Hima menepati janjinya untuk makan malam bersama Morgan. Setelah hari yang panjang dan melelahkan, suasana di luar kantor terasa seperti pelarian yang menenangkan. Morgan, dengan gayanya yang santai, segera menyalakan motor Vespa matic merah kesayangannya, dan dengan senyum lebar, ia memberikan helm cadangannya kepada Hima.
Hima menerima helm itu dengan senyuman, merasa sedikit canggung namun juga senang. Tak lama kemudian, ia menaiki motor itu, memegang erat helm di kepalanya sebelum mereka melaju menyusuri jalan-jalan Semarang yang mulai dipenuhi lampu-lampu jalanan.
Hima tertegun, perasaan saat naik bersama Morgan terasa berbeda dibandingkan saat ia naik Gojek setiap hari. Morgan, dengan caranya yang riang dan obrolan kecilnya, membuat Hima merasa nyaman. Udara malam Semarang yang sejuk menambah kehangatan suasana di antara mereka. Mereka sesekali bercakap-cakap tentang pekerjaan, tentang suasana kantor, dan cerita-cerita ringan lainnya.
Dalam perjalanan, Morgan tiba-tiba berkata, "Kak Hima, aku nggak bakal bawa Kakak ke tempat makan yang mahal-mahal. Gimana, Kak, keberatan nggak?"
Hima menggeleng pelan, tersenyum mendengar kekhawatiran Morgan. "Nggak kok, aku senang dibawa ke mana aja. Dibawa keliling Semarang sama kamu aja, aku sudah senang, kok."
Morgan melirik ke spion, melihat Hima tersenyum senang dari balik helmnya. Hatinya sedikit tenang mendengar jawaban Hima. Ia tidak ingin membuat Hima merasa tidak nyaman, tetapi tampaknya Hima justru menikmati momen ini.
"Kita makan di tempat yang biasa aku kunjungi, ya, Kak," kata Morgan dengan nada ceria, sambil memacu motornya pelan melewati jalanan yang dipenuhi cahaya lampu kota.
Di balik helm, Hima tersenyum lembut, merasa bahwa momen ini adalah sesuatu yang langka—kesederhanaan yang ia butuhkan setelah segala kerumitan yang ia hadapi. Di belakang Morgan, Hima bisa merasakan kehangatan obrolan yang mengalir, membuat segala kekhawatirannya memudar perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy
General FictionHima adalah seorang reporter yang berdedikasi tinggi dalam pekerjaannya hingga sering kali dijuluki "perawan tua" oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, julukan itu tidak pernah mengganggunya; Hima merasa bahwa pekerjaannya adalah hasil kerja keras...