Bab 22

52 7 0
                                    

Di perjalanan pulang, Hima dan Miko tenggelam dalam keheningan. Seperti ada tembok tak kasat mata yang membatasi mereka, menghalangi obrolan apa pun yang biasanya menjadi pelengkap perjalanan bersama. Hima ingin bicara, tetapi suasana hati Miko yang masih datar membuatnya ragu. Hima semakin merasa canggung dengan ketidakberadaan reaksi dari Miko, membuat lidahnya kelu.

Namun, di tengah keheningan itu, Hima memutuskan untuk mencoba membuka diri. "Mas... nggak apa-apa kalau Mas sedih hari ini," ucap Hima pelan. "Aku nggak akan mencela atau mengolok Mas. Aku paham..."

Miko melirik Hima sebentar, lalu kembali fokus ke jalanan. "Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kita datang bukan untuk berbelasungkawa?" jawabnya datar. "Jadi, untuk apa aku sedih?"

Hima menghela napas. Ia memang merasa senang karena Miko mengikuti nasihatnya untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan. Tapi, di sisi lain, ia tidak menyangka Miko bisa seteguh ini, begitu dingin bahkan terhadap perasaannya sendiri.

Tiba-tiba, Miko berbicara lagi. "Aku sudah lama nggak mengunjungi makam Agisya," suaranya lebih tenang, seperti berbicara dengan dirinya sendiri. "Jadi, aku nggak tahu harus bereaksi seperti apa. Memang, hatiku merasa sedih, tapi... entah kenapa, aku nggak bisa mengekspresikannya."

Hima melirik cepat ke arah Miko, terkejut dengan pengakuan yang tidak terduga itu. Pikirannya kembali ke bunga mawar putih yang dilihatnya beberapa hari lalu. Jika bunga itu bukan untuk Agisya, lantas untuk siapa? Ia menelan saliva, mencoba memahami apa yang ada di balik kepala Miko yang tampak begitu rumit.

Miko melanjutkan, suaranya semakin rendah, seakan enggan mengakui sesuatu yang lebih dalam. "Aku juga nggak terbiasa menunjukkan kesedihan pada orang yang nggak terlalu dekat denganku."

Mendengar itu, senyum tipis muncul di wajah Hima, meski hatinya perih. Baiklah, sekarang ia tahu. Di mata Miko, ia masih menjadi sosok yang jauh. Mereka tinggal di rumah yang sama, tetapi jarak emosional di antara mereka masih begitu besar.

Keheningan kembali menyelimuti perjalanan mereka. Hima menatap keluar jendela, mencoba menahan air mata yang ingin jatuh. Mungkin inilah bagian tersulit dari mencintai seseorang yang masih terjebak di masa lalunya—ia harus belajar menerima jarak itu, tanpa memaksa Miko untuk melangkah lebih cepat dari yang dia mampu.

Sesampainya di rumah, keheningan kembali menyelimuti suasana di antara mereka. Miko, tanpa berkata apa-apa, segera melepas sepatunya dan masuk ke dalam rumah, langkahnya tenang, seolah-olah tak ada yang berubah setelah perjalanan emosional tadi. Hima mengikuti di belakang, langkahnya pelan dan ragu.

Ketika Hima akhirnya masuk, suara Miko yang tiba-tiba terdengar membuatnya tertegun. "Gimana perasaanmu setelah mengunjungi makam Agisya?" tanya Miko, suaranya sedikit lebih berat dari biasanya.

Hima bingung harus menjawab apa. Baginya, pertanyaan itu bukan sekadar permintaan jawaban, melainkan sebuah pengakuan kecil dari Miko bahwa perasaannya penting. Dengan lembut, Hima berkata, "Aku senang... bisa mengunjungi Agisya. Terima kasih sudah izinkan aku ke sana. Meskipun aku nggak pernah bertemu langsung dengannya, tapi rasanya aku bisa merasakan kehadirannya dan... aku merasa dekat dengannya."

Miko mengangguk pelan, tampaknya lega mendengar jawaban Hima. Raut wajahnya tetap tenang, tapi Hima tahu bahwa Miko pasti sedang memproses banyak hal di kepalanya.

Keheningan kembali menguasai ruangan, namun kali ini terasa lebih tenang. Hima mencoba mencairkan suasana dengan mengajak Miko untuk makan bersama. "Mas, gimana kalau kita makan dulu? Aku bisa siapkan sesuatu."

Miko, masih dalam pikirannya, hanya menggelengkan kepala. "Nggak usah. Aku mau ke ruang kerja dulu," jawabnya datar, tanpa menatap Hima.

Hima tersenyum simpul, berusaha untuk tidak terlalu memikirkan penolakan itu. Ia mengerti bahwa setelah hari yang berat ini, Miko mungkin butuh waktu sendiri untuk memproses perasaannya. "Baiklah, Mas. Kalau butuh apa-apa, aku ada di sini," ucapnya lembut, membiarkan Miko pergi ke ruang kerjanya.

RemedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang