Nisa terdiam sejenak setelah mendengar cerita Hima. Matanya tampak syok. "Aku nggak tahu kalau kamu dijodohkan sama Miko," ucap Nisa perlahan. "Aku pikir kalian menikah karena cinta. Muka Miko keliatan bahagia banget waktu itu. Sumpah, aku nggak nyangka loh, Him."
Hima tersenyum tipis, tapi ada kepedihan yang tersirat. "Aku juga berharap begitu, Kak," jawabnya dengan suara yang hampir berbisik. "Tapi kenyataannya jauh dari itu."
Hari ini, Hima sengaja menemui Nisa di Jakarta. Kunjungannya ke kantor pusat hanyalah alasan untuk bertemu satu-satunya orang yang selalu bisa ia andalkan. Hima tahu, Nisa, sebagai seniornya, akan mendengar dan mungkin memberikan nasihat yang bisa menenangkan hatinya.
Nisa menghela napas panjang, terlihat jelas bahwa ia turut merasakan beban yang Hima pikul. "Aku bisa membayangkan betapa sulitnya ini buat kamu, Hima. Terjebak dalam situasi seperti ini, apalagi Miko masih terperangkap di masa lalunya." Nisa berhenti sejenak, menatap Hima dengan penuh perhatian. "Tapi gimana perasaan kamu sama dia?"
Hima menunduk, rasa sakit dan kecewa bergelora di dalam dirinya. "Aku berusaha keras untuk tidak menyukai Miko pada awalnya," suaranya nyaris pecah. "Tapi setelah dia datang ke rumah, berbicara dengan segala kata-kata manisnya... aku jadi terlalu naif untuk tidak menyukainya."
Nisa menatap Hima dengan lembut, memberikan dukungan melalui tatapannya. "Kata-kata manis bisa menjadi perangkap yang kuat, Hima. Tapi ingat, kamu layak mendapatkan cinta yang tulus, bukan hanya hubungan yang dibangun di atas dasar kewajiban."
Hima menatap kosong ke arah cangkir kopinya, seakan mencari jawaban di dalamnya. "Awalnya, aku ingin teguh pada pendirianku, Kak," katanya dengan suara pelan namun penuh beban. "Aku ingin menjadi wanita mandiri, dan pernikahan ini hanya alat untuk menutup mulut orang-orang yang selalu menghina statusku sebagai wanita lajang. Tapi semakin lama, aku merasa diriku bertindak di luar kehendakku. Aku mulai ingin lebih perhatian pada Miko, ingin memasak untuknya, atau kadang tanpa sadar, aku malah menyiapkan baju kerjanya. Sebenarnya, aku tidak ingin melakukan semua itu. Tapi entah kenapa, naluri ini berjalan begitu saja."
Nisa mengangguk perlahan, mengerti sepenuhnya apa yang dirasakan oleh juniornya. "Itu terjadi karena, tanpa kamu sadari, kamu memang mulai menyukai Miko," jawabnya dengan lembut.
Hima mengangkat wajahnya, menatap Nisa dengan tatapan bingung dan ragu. "Apakah perasaan itu wajar, Kak? Apakah salah kalau aku merasakan cinta setelah sekian lama menutup hati untuk siapapun? Aku merasa tidak enak pada Agisya... wanita yang pernah mengisi hati Mas Miko sebelum aku. Itu yang membuatku banyak menahan diri selama tinggal bersama Mas Miko selama sebulan ini."
Nisa tersenyum lembut dan mengelus bahu Hima dengan penuh pengertian. "Hima, jatuh cinta itu wajar, terutama setelah hatimu terbuka kembali. Kamu sudah terlalu lama menahan diri, menutup hati karena takut terluka. Tapi sekarang, kamu merasakan sesuatu yang indah lagi. Itu bukan kesalahan, dan kamu tidak seharusnya merasa bersalah pada Agisya yang sudah tiada.
Kamu bukan mengambil tempatnya, Hima. Kehadiranmu bukan untuk menggantikannya, melainkan untuk mengisi ruang yang berbeda di hati Miko. Jika perasaan itu datang, izinkan dirimu untuk merasakannya, untuk membiarkan cinta itu tumbuh. Agisya adalah bagian dari masa lalu Miko, dan kamu adalah bagian dari masa depannya. Tidak ada yang salah dengan mencintai, dan tidak ada yang salah dengan berharap pada kebahagiaanmu sendiri."
Nisa menatap Hima dengan tatapan penuh empati. "Hima, bukankah selama ini kamu selalu bercerita bahwa peranmu sebagai anak perempuan pertama hampir merenggut sebagian besar mimpimu? Mimpi untuk bebas, untuk bermain layaknya remaja seusiamu? Bukankah itu juga yang membuatmu sulit membuka hati? Kamu selalu merasa bertanggung jawab, terperangkap dalam kewajiban dan harapan yang dibebankan padamu."
Hima terdiam, memikirkan kata-kata Nisa yang begitu tepat menggambarkan perasaannya selama ini.
Nisa melanjutkan, "Ketika kamu menikah dengan Miko, dunia Miko seakan menarikmu keluar dari belenggu yang selama ini mengikatmu. Sangat wajar jika kamu akhirnya merasakan cinta lagi, Hima. Kamu tidak lagi terkurung oleh beban-beban masa lalumu. Sebaliknya, kamu mulai menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang membuatmu merasa hidup."
Hima mengangguk perlahan, tetapi keraguan masih membayang di matanya.
"Memang," lanjut Nisa, "kehidupan setelah menikah karena dijodohkan bisa saja berjalan kaku dan monoton, terutama karena kalian tidak saling mengenal dengan baik. Tapi itu bukan berarti kamu harus terus menyalahkan dirimu sendiri karena keadaan yang rumit ini. Justru, ini adalah kesempatanmu untuk membantu Miko menemukan dirinya kembali. Aku yakin, di dalam hati Miko masih ada sedikit ruang dan keinginan untuk keluar dari keterpurukannya."
Nisa meremas tangan Hima dengan penuh keyakinan. "Jika kamu menyerah sekarang, Hima, mungkin keadaan bisa semakin parah. Tapi jika kamu mau bertahan, berusaha membuka hatimu lebih lebar lagi, siapa tahu kamu bisa membantunya, dan bersama-sama, kalian bisa menemukan kebahagiaan yang baru. Jangan takut untuk mencintai, dan jangan takut untuk memberi kesempatan pada dirimu sendiri dan Miko."
•••
Miko mengelap keringat di dahinya setelah seharian mengontrol beberapa proyek garapannya. Siang itu, bersama dengan timnya, mereka berkumpul di sudut ruangan untuk makan siang sebelum melanjutkan proyek berikutnya. Miko membuka tasnya dan sedikit tertegun saat melihat kotak bekal berwarna abu yang diberikan Hima pagi tadi.
Egi, salah satu rekan kerja Miko, langsung membuka matanya lebar-lebar saat melihat Miko membawa bekal ke tempat kerja untuk pertama kalinya. "Tumben sekali, Pak Miko bawa bekal," celetuk Egi dengan nada penasaran. "Siapa yang menyiapkannya?"
Miko melirik pelan ke arah Egi, lalu tersenyum simpul sebelum menjawab, "Istri saya."
Egi mengangguk paham, meskipun rasa ingin tahunya makin memuncak. Dia ingin menanyakan lebih banyak hal kepada Miko, tapi senyuman tipis pria itu membuatnya ragu untuk melanjutkan. Setidaknya, Egi merasa lega mengetahui bahwa Miko tidak lagi terlalu mengurung diri.
Dengan nada sedikit bercanda, Egi berkata, "Enak sekali ya, kalau ada yang menyiapkan bekal. Beda dengan saya yang harus selalu cari makan di luar. Hidup sendiri memang berat."
Miko sambil membuka bekal, mengangkat bahu sedikit dan berkata, "Hidup sendiri tidak selalu buruk, kok."
Egi menimpali dengan senyum kecil, "Mungkin, Pak. Tapi hidup akan lebih berwarna kalau dijalani berdua. Beban yang kita tanggung bisa lebih ringan kalau ada yang membantu. Ada dua kepala yang menyumbangkan pikiran, dan bisa saja beban itu hilang lebih cepat."
Miko terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Egi.
Egi menambahkan, dengan nada yang lebih lembut, "Semoga Pak Miko selalu bahagia dan punya tempat untuk berbagi beban, ya."
Miko hanya mengangguk pelan, lalu mulai melahap makanannya dengan tenang. Di setiap suapan, ada perasaan aneh yang menyusup ke dalam dirinya—perasaan yang dulu mungkin tak pernah ia bayangkan akan kembali. Mungkin, seperti kata Egi, ada ruang di hatinya yang siap untuk membuka diri lagi, meski hanya sedikit.
Dengan cepat, Miko menghapus semua perasaan yang aneh itu. Bagaimanapun, ia harus tetap teguh pada pendiriannya untuk menjaga jarak dengan Hima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy
General FictionHima adalah seorang reporter yang berdedikasi tinggi dalam pekerjaannya hingga sering kali dijuluki "perawan tua" oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, julukan itu tidak pernah mengganggunya; Hima merasa bahwa pekerjaannya adalah hasil kerja keras...