Hima duduk tegang di kursi, matanya terpaku pada layar ponsel yang menampilkan thread Twitter yang menyeret namanya. Tuduhan tentang media yang menutup mata terhadap keluarga korban pembunuhan itu membuat dadanya berdebar.
[Thread]: "Menguak Kebusukan Media yang Diam Terhadap Keluarga Korban Pembunuhan!"
1/ Banyak dari kalian mungkin tidak tahu, tapi ada hal yang sangat salah di balik berita pembunuhan yang baru-baru ini muncul. Keluarga korban TIDAK PERNAH diberi kesempatan bicara, dan mereka dipaksa untuk DIAM oleh media besar! Aku tidak akan diam soal ini.
2/ Kenapa media seperti News TV tutup mata terhadap penderitaan keluarga korban? Siapa yang mereka lindungi? Apa yang mereka sembunyikan? Aku melihat jelas bagaimana media ini menutup akses dan membungkam keluarga korban.
3/ Salah satu orang yang paling terlibat adalah Hima, jurnalis di News TV. Dia punya kekuasaan untuk mengangkat suara keluarga korban, tapi apa yang dia lakukan? Dia malah membantu menjaga berita ini tetap bias. Bukti akan segera keluar.
4/ Keluarga korban, terutama saudara laki-laki korban, sudah berulang kali mencoba menghubungi media, tapi selalu DIABAIKAN! Bukankah media seharusnya jadi tempat mereka mencari keadilan? Kenapa sekarang mereka malah melindungi pelaku dengan diam mereka?
5/ Aku sudah berjanji, jika News TV dan Hima terus berdiam diri, aku akan mengungkapkan semua bukti bagaimana mereka membungkam kebenaran. Media yang seharusnya memihak rakyat malah memihak kejahatan!
6/ Hima, kau mungkin merasa aman sekarang. Tapi jangan pikir orang tidak tahu apa yang terjadi di balik layar. Aku punya cukup bukti untuk menyeret namamu dan media besar ini ke publik. Jika kau tidak bertindak untuk keluarga korban, aku akan pastikan kebenaran ini terungkap!
7/ Aku tidak akan berhenti sampai keluarga korban mendapat keadilan. Jika media tetap diam, AKU YANG AKAN BICARA.
#ExposeNewsTV #JusticeForTheVictim #BukaSuaraMedia
Sebelum ia sempat mencerna semuanya, tiba-tiba beberapa lembaran kertas melayang ke atas meja di depannya.
Surya, dengan tatapan tajam, menatap Hima dari balik meja. Suaranya menggema keras di dalam ruangan. "Posisi itu baru saja saya berikan, tapi kamu sudah tidak profesional seperti ini. Waktu itu kamu ambil cuti tiga hari untuk urusan keluarga. Sekarang, giliran diberi tanggung jawab, hasilnya seperti ini!" sentaknya, hampir meledak.
Hima mematung. Semua laporan yang ia kerjakan dengan penuh kehati-hatian kini terasa sia-sia. Ia hanya ingin bertindak sesuai kode etik, menjaga integritasnya sebagai jurnalis. Namun, situasi ini seperti berbalik menghukum niat baiknya.
"Saya hanya berusaha menaati kode etik, Pak," ucap Hima, suaranya rendah dan penuh ketegangan, tak berani menatap langsung atasannya.
Surya mendengus. "Jadi, kamu pikir saya tidak beretika, begitu? Saya yang lebih paham situasinya. Jangan sok tahu hanya karena kamu kiriman dari pusat. Kalau bukan rekomendasi, posisi itu tidak akan saya kasih. Jangan merasa aman karena belas kasihan!" Suara Surya meledak lagi, disertai dengan tangannya yang menoyor kepala Hima.
Hima menunduk, merasakan ketidakadilan itu menyesak di dadanya.
Lagi-lagi karena kasihan. Kata-kata Surya terus berputar di kepala Hima, membuatnya merasa semakin terpuruk. Kapan ya, ia bisa dihargai karena kemampuannya? Bukan karena belas kasihan, bukan karena latar belakangnya. Sejak dulu, ia selalu dianggap sebagai sosok yang perlu dikasihani—sesuatu yang membuatnya merasa seperti orang yang rapuh, tak berdaya.
Padahal, Hima telah berjuang keras. Ia mencoba sekuat tenaga agar orang melihat hasil kerjanya, bukan kelemahannya. Tapi kenyataannya selalu sama—dari rekan kerja, atasan, bahkan keluarga—mereka selalu memandangnya dengan tatapan yang sama: "kasihan." Apakah wajahnya memang begitu mendukung untuk itu? Wajah yang memancarkan kepasrahan, wajah yang mengundang simpati tanpa diminta?
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy
General FictionHima adalah seorang reporter yang berdedikasi tinggi dalam pekerjaannya hingga sering kali dijuluki "perawan tua" oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, julukan itu tidak pernah mengganggunya; Hima merasa bahwa pekerjaannya adalah hasil kerja keras...