Malam itu, suasana di kamar rumah sakit terasa hangat meski penuh keheningan. Hima baru saja kembali dari rumah setelah mengambil beberapa barang penting, termasuk pakaian bersih untuk Miko. Meski Miko bersikeras bahwa ia tidak perlu menginap, tubuhnya yang masih terlalu lemas membuatnya terpaksa setuju dengan keputusan Hima.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Hima duduk di kursi samping ranjang, sibuk mengupas buah. "Mas harus banyak makan buah biar cepat sehat," ujarnya lembut sambil menyodorkan beberapa potong ke arah Miko.
Miko hanya mengangguk, menyandarkan badannya ke bantal dengan wajah yang masih pucat. Ia menatap Hima yang kini tampak begitu tenang dan terfokus pada tugasnya. Di tengah-tengah keheningan itu, Miko akhirnya membuka suara, "Kamu besok bisa kerja lagi, Him. Gak usah khawatirin aku terus."
Hima menggeleng pelan, senyum simpul terukir di wajahnya. "Aku akan merawat Mas sampai benar-benar sehat, gak usah khawatir soal pekerjaan. Mereka bisa mengerti kok."
Miko tersenyum tipis, meski wajahnya masih menunjukkan sedikit ketidaknyamanan. "Aku baik-baik saja kok. Beneran, gak apa-apa kalau kamu harus kerja."
Namun, Hima menimpali dengan nada bercanda, "Setelah aku jadi koordinator liputan, aku mungkin harus keluar kota sering-sering, loh. Apa Mas gak keberatan nanti kalau aku gak ada di rumah?"
Miko terdiam sejenak, ekspresinya berubah saat dahinya mengerut. Jelas bahwa ia tidak menyukai ide Hima harus sering meninggalkannya. Pikirannya berkelana ke bayangan keseharian tanpa Hima. Sebuah bayangan yang terasa lebih sulit baginya daripada yang ia akui.
Dengan nada yang terdengar lebih malu dari biasanya, Miko akhirnya berkata, "Ya... lebih baik kamu mulai kerja lusa aja, Him. Jangan buru-buru."
Hima tertawa kecil mendengar jawaban itu, mengusap punggung Miko dengan lembut. "Tenang aja, Mas. Aku gak akan pergi sebelum kamu benar-benar sembuh total." Senyumnya penuh kehangatan, dan seketika, Miko merasa lebih tenang dengan keberadaan Hima di sisinya.
Hima masuk ke dalam ruangan rawat Miko dengan langkah hati-hati setelah mengambil makanannya di luar. Baru kali ini ia punya waktu untuk makan setelah seharian sibuk melayani Miko dan menyelesaikan beberapa pekerjaannya yang tertunda. Ia menutup pintu dengan pelan, takut mengganggu Miko yang tampaknya sudah tertidur lelap.
Hima berjalan ke arah tempat tidur, lalu berhenti sejenak di samping Miko. Cahaya lampu yang temaram memantulkan bayangan lembut di wajah pucat Miko, membuatnya terlihat lebih tenang daripada beberapa jam yang lalu. Dengan lembut, Hima menutup gorden, memastikan sinar dari luar tidak mengganggu tidurnya.
Ia menatap Miko lekat, perasaan bersalah mulai menjalari hatinya. Sebuah helaan napas pelan keluar dari bibirnya. "Maaf ya, Mas," bisiknya, meski ia tahu Miko tak bisa mendengarnya.
Hima menggigit bibirnya, mengingat bagaimana ia meminta Miko untuk meluangkan waktu beberapa hari yang lalu. Jika saja ia tidak membuat permintaan itu, mungkin Miko tidak akan kelelahan dan jatuh sakit seperti ini. Di benaknya, terlintas bagaimana Miko selalu giat bekerja, tak pernah berhenti walau lelah. Dan sekarang, gara-gara permintaannya, pekerjaan Miko terpaksa tertunda.
Hima tahu Miko jarang menunjukkan kemarahannya, tapi malam ini ia tak bisa menyingkirkan rasa bersalah yang terus menghantui pikirannya. Mungkin Miko kesal. Mungkin, jauh di dalam hatinya, Miko marah pada Hima meskipun ia tidak mengatakannya.
Dengan lembut, Hima mengelus tangan Miko yang terkulai lemah di sisi tempat tidur. "Aku benar-benar minta maaf, Mas. Semoga cepat sembuh, ya," bisiknya pelan, suara yang hampir tak terdengar di tengah keheningan malam.
Ia membenarkan selimut Miko, memastikan tubuhnya tetap hangat dan nyaman sebelum beranjak ke sofa kecil di sudut ruangan. Di sana, ia membuka kotak makanannya, berusaha untuk makan sesuatu sebelum beristirahat. Namun, rasa bersalah itu tetap menempel, seperti bayangan yang sulit dilepaskan.
Keesokan harinya, setelah dokter memastikan kondisi Miko sudah membaik, mereka pun diizinkan pulang. Setibanya di rumah, Miko langsung mengambil beberapa barang yang dibawanya dari rumah sakit. Namun, sebelum ia sempat melakukan lebih jauh, Hima menyela.
"Aku yang akan bawa barang-barang itu, Mas," katanya sambil mendekat, mencoba mengambil alih.
Miko menggeleng. "Nggak perlu, tanganku sudah nggak pegal hari ini," jawabnya sambil tetap memegang tas di tangannya.
"Kamu masih harus istirahat, Mas. Biar aku yang bawa," Hima bersikeras.
Namun, sebelum perdebatan kecil mereka berlanjut, tiba-tiba sebuah suara memecah suasana. "Kalian abis dari dokter?"
Hima dan Miko tersentak, segera melirik ke belakang. Di sana, berdiri Ibu Hima dengan wajah penuh kecemasan, dan di belakangnya, mobil keluarga Hima yang sepertinya baru saja tiba. Tanpa disadari, Ibunya sudah datang entah darimana.
"Ibu?" Hima menatap ibunya dengan mata membelalak. Ia tidak menyangka kedatangan Ibunya hari itu.
Ibu Hima berjalan cepat menghampiri mereka. Ia langsung mengelus tangan Miko dengan lembut, seraya bertanya, "Kamu nggak apa-apa, Miko? Sakit apa? Sudah baikan?"
Miko, yang masih terkejut dengan kedatangan Ibu Hima, hanya bisa mengangguk pelan. "Sudah baik, Bu," jawabnya, meski nada suaranya masih diliputi rasa kaget.
Namun, perhatian Ibu Hima segera beralih ke Hima. Matanya menyipit, lalu dengan nada yang sedikit menegur, ia berkata, "Kenapa Miko yang bawa barang-barang? Dia kan baru sembuh, Hima! Masa nggak ada yang bantu?"
Hima baru hendak menjawab, tapi sebelum satu kata pun keluar dari bibirnya, Miko buru-buru menyela. "Saya sudah sembuh, Bu. Nggak apa-apa, kok," katanya sambil tersenyum tipis. "Ayo, kita masuk ke dalam, biar lebih nyaman."
Miko dengan sopan menuntun Ibu Hima masuk ke rumah, sambil terus berbicara dengan nada hangat, mencoba meyakinkan bahwa kondisinya sudah benar-benar membaik. Ibu Hima masih terlihat cemas, namun ia akhirnya mengikuti Miko, terus menanyakan kondisinya dengan nada khas seorang ibu yang sudah lama tak bertemu dengan anak sematawayangnya.
Hima, yang tertinggal di belakang, hanya bisa menghela napas pelan. Tatapan matanya tertuju pada pintu gerbang yang baru saja mereka lewati. Ia tahu, kehadiran Ibunya di rumah ini akan membawa perubahan besar dalam rutinitasnya dan Miko. Hari-harinya pasti akan berbeda, terlebih dengan Ibunya yang tak pernah berhenti mencemaskan segalanya.
Hima menutup pintu pelan, berusaha tak membuat suara yang bisa mengganggu percakapan di ruang tamu. Dari kejauhan, ia melihat ibunya yang tengah sibuk berbicara dengan Miko, menanyakan berbagai hal dengan nada yang terdengar seperti campuran cemas dan perhatian. Hima hanya berdiri di sana, memandang mereka sejenak. Miko memang sakit, tapi apakah ibunya tak sedikit pun tertarik untuk bertanya bagaimana keadaannya juga?
Larut dalam pikirannya, Hima tiba-tiba dikejutkan oleh suara pintu lain yang terbuka. Ayahnya baru saja masuk ke rumah, membawa serta hawa dingin dari luar. Hima segera menyunggingkan senyum dan menghampiri sang ayah, lalu menunduk untuk mencium tangannya dengan penuh hormat.
Ayahnya balas tersenyum sambil mengelus bahu putri sulungnya. "Bagaimana kabar kamu, Nak? Pekerjaanmu sekarang bagaimana?" tanyanya dengan suara lembut.
Hima mengangguk pelan, memberikan jawaban singkat, "Semuanya baik-baik saja, Yah."
Ayahnya mengangguk mengerti. Untuk beberapa saat, mereka berdua terdiam, hanya ada keheningan yang menyejukkan. Namun, tiba-tiba ayahnya berbicara lagi, kali ini suaranya terdengar lebih serius.
"Maafkan Ayah atas apa yang pernah Ayah katakan tentang pekerjaanmu dulu," ucapnya sambil menatap Hima dengan penuh penyesalan. "Ayah senang melihat kamu tumbuh menjadi wanita yang baik dan mandiri. Kamu juga pasti membuat Miko bangga, Hima."
Hima tertegun mendengar ucapan itu. Untuk beberapa detik, ia hanya bisa berdiri diam, meresapi kata-kata ayahnya. Perlahan, senyum tipis menghiasi wajahnya, meski hatinya terasa hangat dan bergetar. "Aku nggak pernah mengambil hati ucapan Ayah saat itu," katanya pelan.
Ayahnya mengangguk kecil, lalu mengelus rambut Hima seperti yang sering ia lakukan saat Hima masih kecil. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia beranjak untuk bergabung dengan istrinya di ruang tamu, menghampiri Ibu Hima yang masih berbicara dengan Miko.
Hima hanya berdiri di tempatnya, menatap punggung ayahnya yang semakin menjauh. Ia menggigit bibir bawah, merasa ada sesuatu yang berubah. Ayahnya sudah tidak lagi keras kepala seperti dulu, mungkin ada pengaruh dari Ibu. Tapi bagaimanapun, di dalam hatinya, ia sedikit merasa senang. Ada pengakuan dan penghargaan, meskipun terlambat, tetapi itu sudah cukup membuatnya merasa dihargai sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy
General FictionHima adalah seorang reporter yang berdedikasi tinggi dalam pekerjaannya hingga sering kali dijuluki "perawan tua" oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, julukan itu tidak pernah mengganggunya; Hima merasa bahwa pekerjaannya adalah hasil kerja keras...