Hima keluar dari mobil, melirik sekilas ke arah Miko yang duduk di belakang kemudi. "Aku mungkin pulang terlambat malam ini," katanya singkat, "Ada investigasi lanjutan."
Miko mengangguk pelan, matanya tetap tenang seperti biasanya. "Semalam apapun kamu pulang, lebih baik kabari aku," ucapnya lembut, namun tegas.
Hima mengangguk tanpa berpikir panjang. "Aku akan kabari kalau sempat," jawabnya sambil tersenyum tipis, kemudian menutup pintu mobil.
Miko hanya bisa melihatnya pergi, lalu berkata sebelum Hima benar-benar hilang dari pandangannya, "Hati-hati."
Dengan langkah mantap, Hima bergegas menuju kantor. Pagi ini adalah hari penting dalam kelanjutan kasus pembunuhan yang sedang diinvestigasi. Ia dijadwalkan menemani polisi di lokasi kejadian untuk memastikan laporan yang komprehensif bagi jurnalis. Namun, begitu ia mendekati pintu masuk kantor, sebuah pemandangan yang tidak biasa membuat langkahnya terhenti.
Seorang lelaki berdiri dengan wajah gelisah, tampak tak tenang. Begitu melihat Hima, ia segera bergegas mendekatinya, memegang bahu Hima dengan kuat, hampir panik. "Tolong... tolong bantu saya!" serunya dengan suara serak, penuh kecemasan.
Mata Hima terbelalak, sejenak kebingungan dengan situasi ini. "Apa yang bisa saya bantu?" tanyanya lembut, meski hatinya mulai dipenuhi rasa waspada.
Lelaki itu, masih gemetar, menjelaskan bahwa adiknya telah menjadi korban dalam kasus pembunuhan yang sedang Hima liput. "Tolong bantu saya untuk tampil di TV... saya ingin mencari pelaku yang membunuh adik saya. Sudah berhari-hari saya tidak bisa tidur... saya tidak tahu harus bagaimana!" katanya, hampir menangis.
Hima menatap lelaki itu dengan penuh simpati, meski ia tahu prosedur dan keterbatasan yang harus ia patuhi. "Saya mengerti, tapi polisi sedang mengusut kasus ini. Kamu tidak perlu khawatir, kami akan membantu sebaik mungkin," jawabnya dengan tenang, mencoba meredakan kegelisahan yang terpancar dari wajah lelaki tersebut.
Namun, lelaki itu mulai menangis. "Polisi tidak melakukan apa-apa! Saya sudah menunggu, tapi tidak ada hasil! Saya tidak bisa terus begini!" keluhnya, kepedihan dan rasa frustasi bercampur menjadi satu.
Hima menarik napas dalam, mencoba tetap tenang dalam situasi yang semakin emosional. "Polisi sedang melakukan tugasnya. Saya janji, kami akan melakukan yang terbaik agar pelakunya tertangkap sesegera mungkin," tegasnya, berharap kata-katanya dapat memberi sedikit ketenangan.
Lelaki itu tiba-tiba bersimpuh di depan Hima, tangannya yang gemetar memohon dengan penuh rasa putus asa. "Tolong, saya butuh bantuan media! Saya tahu bagaimana kuatnya peran media dalam mencari pelaku. Saya tidak bisa terus hidup dengan rasa bersalah ini... adik saya baru saja kembali dari perantauan... dan sekarang dia sudah tidak ada!"
Hati Hima terasa berat melihat lelaki itu begitu terpukul. Ia kemudian meraih tangan lelaki itu, membantu berdiri. "Saya akan berusaha sebaik mungkin," katanya pelan, mencoba menenangkan. "Tapi untuk saat ini, pulanglah. Tim kami dan polisi akan segera menuju TKP. Saya janji, kami tidak akan tinggal diam."
Lelaki itu mengangguk pelan, meski kekecewaan masih terlihat jelas di wajahnya. Dengan langkah lemah, ia berbalik dan meninggalkan kantor, sementara Hima menghela napas panjang, menatap punggungnya yang semakin menjauh, merasa berat dengan tanggung jawab yang semakin menekan.
Setelah pertemuannya dengan pria yang penuh kecemasan itu, ponsel Hima tak pernah sepi. Deretan pesan dan panggilan dari nomor-nomor tak dikenal terus berdatangan, membuat pikirannya penuh. Bahkan saat ia tiba di TKP untuk menemani pihak berwenang, ponselnya terus berbunyi.
+62 856-xxx-xxx
MEDIA SAMPAH+62 856-xxx-xxx
MEDIA CLICKBAIT
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy
General FictionHima adalah seorang reporter yang berdedikasi tinggi dalam pekerjaannya hingga sering kali dijuluki "perawan tua" oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, julukan itu tidak pernah mengganggunya; Hima merasa bahwa pekerjaannya adalah hasil kerja keras...