Bab 30

31 3 0
                                    

Disclaimer:
Cerita ini mengandung konten sensitif yang mungkin tidak sesuai untuk semua pembaca. Narasi mencakup topik seperti pembunuhan, pelecehan, trauma, dan kekerasan. Harap membaca dengan bijaksana dan berhenti jika merasa tidak nyaman.

•••

Tragedi di Desa Terpencil: Remaja 17 Tahun Jadi Korban Pembunuhan, Pelaku Masih Berkeliaran

Semarang, 14 September 2024 — Sebuah tragedi mengejutkan terjadi di salah satu desa terpencil di wilayah Semarang. Seorang remaja berusia 17 tahun ditemukan tewas mengenaskan di dekat kawasan sekolah pada Minggu malam. Hingga saat ini, pelaku pembunuhan belum berhasil diidentifikasi, dan keluarga korban masih menunggu perkembangan penyelidikan dari pihak kepolisian.

Berdasarkan informasi yang kami terima dari pihak berwenang, korban yang diketahui berinisial D adalah seorang siswa SMA yang dikenal aktif dalam kegiatan sekolah. Korban pertama kali ditemukan oleh warga desa sekitar pukul 10 malam di jalan setapak yang sering dilalui siswa menuju sekolah. Luka-luka di tubuh korban menunjukkan adanya tanda-tanda kekerasan fisik sebelum kematiannya.

Kapolsek setempat, AKP Rahmadin, menyatakan bahwa pihak kepolisian masih terus mengumpulkan bukti dan meminta keterangan dari saksi-saksi. "Saat ini, kami masih melakukan investigasi mendalam terkait kasus ini. Beberapa barang bukti sudah kami amankan, dan tim kami sedang melakukan penyisiran di sekitar lokasi kejadian. Namun, hingga saat ini, belum ada penetapan tersangka," ungkap AKP Rahmadin dalam konferensi pers.

Keluarga korban masih dalam kondisi terpukul dan enggan memberikan keterangan lebih lanjut. Masyarakat desa juga mengaku merasa takut dengan kejadian ini, mengingat pelaku masih belum tertangkap. Banyak warga berharap agar pihak kepolisian dapat segera mengungkap kasus ini dan menangkap pelaku secepatnya.

Sementara itu, pihak sekolah tempat korban bersekolah mengadakan doa bersama untuk mengenang kepergian sang remaja. Kepala sekolah menyampaikan rasa duka mendalam dan berharap keadilan segera ditegakkan bagi korban dan keluarganya.

Pihak kepolisian mengimbau masyarakat yang memiliki informasi terkait kejadian ini untuk segera melapor. Mereka juga meminta masyarakat tetap waspada dan menjaga keamanan lingkungan masing-masing, terutama di malam hari.

Kasus ini menambah daftar panjang kekerasan terhadap remaja di daerah pedesaan, yang seringkali luput dari perhatian publik. Kami akan terus memantau perkembangan investigasi dan memberikan laporan terbaru begitu informasi lebih lanjut tersedia.

•••

Miko menatap layar televisi dengan sorot mata berat. Berita pembunuhan yang ditayangkan terasa semakin nyata di pikirannya, menghadirkan rasa tidak nyaman yang sulit diabaikan. Ia menghela napas panjang, merenungi betapa mengerikannya hidup sekarang, di mana nyawa begitu mudah hilang dan keadilan seakan sulit diraih.

Di tempat lain, Hima masih terbenam dalam pekerjaannya. Di ruang redaksi, suasana ramai oleh diskusi tim yang tengah melakukan evaluasi liputan terakhir mereka. Rencananya, mereka akan kembali ke TKP setelah hasil forensik keluar. Semua berjalan dengan teratur, hingga ponsel Nesi tiba-tiba berdering.

Nesi tampak terkejut, dan buru-buru meminta izin untuk mengangkat telepon itu. Hima, yang sedang memimpin evaluasi, memberikannya izin, meski sedikit curiga ketika Nesi berbicara lama, hampir tiga puluh menit. Waktu yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan evaluasi kini terbuang, dan Hima mulai merasa terganggu.

Setelah semua barang dibereskan dan evaluasi hampir selesai, Nesi menghampiri Hima. Wajahnya gugup, seakan ada sesuatu yang berat yang ingin ia sampaikan.

"Ada apa, Nesi?" tanya Hima, langsung menangkap ketegangan di raut wajah Nesi.

Nesi menggigit bibir bawahnya, tampak ragu. "Tadi yang menelepon... dia teman jauhku yang bekerja di luar kota. Dia bilang adiknya adalah korban dari kasus pembunuhan itu." Suaranya melemah saat mengucapkan kata-kata terakhir, tampak ada luka mendalam di balik ucapannya.

Hima mengerutkan dahi, belum sepenuhnya paham. "Lalu?"

"Dia... dia ingin tahu apakah kita, media, bisa membantu menyebarkan ciri-ciri pelaku untuk mencari keadilan bagi adiknya," ucap Nesi dengan suara bergetar, seakan merangkum kesedihan dan ketidakberdayaan temannya.

Hima menghela napas dalam. "Aku turut berduka untuk temanmu, Nesi. Kehilangan anggota keluarga memang sangat berat," ucapnya dengan nada serius. "Tapi kita tidak bisa gegabah dalam hal ini. Menyebarkan informasi yang belum pasti itu bisa berbahaya, terutama jika ternyata tidak akurat. Itu akan membingungkan banyak orang, dan mungkin juga membahayakan penyelidikan."

Nesi tampak ingin membalas, terlihat dari raut wajahnya yang penuh harapan. Namun, setelah beberapa saat terdiam, ia hanya mengangguk dengan wajah kecewa. "Aku mengerti, Kak Hima. Mungkin aku harus bilang begitu pada temanku."

"Tepat," jawab Hima. "Sampaikan padanya bahwa media dan polisi sedang bekerja keras. Semua ini butuh proses. Yang penting, kita tidak mengambil langkah yang bisa berujung pada risiko lebih besar."

Nesi diam, tampak masih mencoba mencerna semuanya. Hima merasa iba, tapi juga harus tetap profesional dalam menjalankan tugasnya. Situasi ini penuh emosi dan ketidakpastian, dan Hima tahu, mereka harus berhati-hati agar tidak memperburuk keadaan.

Hima melangkah masuk ke rumah dengan lesu, lelah menyelubungi tubuhnya setelah seharian terlibat dalam liputan yang menegangkan. Miko, yang tengah duduk di ruang tamu sambil menonton televisi, tersentak kaget ketika melihatnya. Ia segera bangkit dan berjalan mendekat.

"Hima, kenapa nggak bilang kalau mau pulang? Aku bisa jemput," kata Miko dengan nada penuh perhatian.

Hima hanya tersenyum tipis, lelah tampak jelas di wajahnya. "Timku tadi nganterin. Liputan hari ini cukup menakutkan, jadi kami nggak ada yang berani pulang sendiri."

Miko mengerutkan kening, jelas penasaran. "Kamu yang meliput kasus pembunuhan itu ya? Yang beberapa jam lalu diberitakan?"

Hima terkejut mendengar pertanyaannya. "Kok kamu tahu?"

"Aku pulang cepat hari ini," jawab Miko. "Kebetulan lihat beritanya. Serem juga, pelakunya belum ketangkap, kan?"

"Oh," Hima mengangguk. "Iya, aku juga takut waktu di sana."

Miko mengangkat alis, rasa khawatir jelas tergambar di wajahnya. "Memangnya, kamu udah tahu apa motifnya?"

Sambil berjalan menuju wastafel, Hima menjawab, "Sejauh yang aku tahu, ini masalah internal. Tapi aku juga belum tahu jelasnya."

Miko mengangguk, tampak merenung sejenak. "Kamu harus hati-hati, Hima."

Hima keluar dari dapur dengan segelas air di tangannya. Ia mengangguk pelan, menghargai peringatan itu. "Aku akan hati-hati."

Keheningan sejenak melingkupi mereka, hanya suara televisi yang samar terdengar. Miko tampak ragu, namun akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya. "Hima, kamu ada waktu buat ngobrol malam ini?"

Hima, yang masih berdiri dengan gelas di tangannya, terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku ada hal penting yang harus aku selesaikan malam ini."

Miko menunduk, mengangguk dengan paham. Meski kecewa, ia tidak ingin memaksa. "Oh, oke. Ngerti."

Namun, sebelum Miko sempat menahan pertanyaannya, Hima sudah memotong. "Dan malam ini... aku akan tidur di kamar sendiri lagi."

Miko terkejut, seolah kata-kata Hima menyuarakan pikirannya yang belum sempat terucap. Ia terdiam, sedikit gugup, sebelum akhirnya menjawab pelan, "Iya, baik. Nggak apa-apa."

Hima tersenyum tipis, senyum yang hampir tidak terlihat, lalu berjalan menuju tangga menuju lantai dua. Meninggalkan Miko yang masih terdiam di ruang tamu, duduk kembali dengan tangan yang terkepal. Miko merasa kesal pada dirinya sendiri. Sekali lagi, ia tidak bisa membujuk Hima atau bahkan mengatakan hal-hal yang ingin ia sampaikan. Setiap kali kesempatan muncul, Miko hanya terdiam—terbungkam oleh rasa canggung dan kebingungan yang tak bisa ia jelaskan.

Dan kini, ia hanya bisa menatap ke arah punggung Hima yang menjauh, penuh perasaan campur aduk yang tidak ia pahami.

RemedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang