Bab 27

31 5 0
                                    

Keesokan harinya, Hima sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Ia berdiri di depan cermin, mengikat rambutnya dengan cepat. Matanya terlihat lebih tenang meski masih ada sisa-sisa kekhawatiran dari malam sebelumnya. Hari ini, Hima bertekad untuk melepaskan semua beban pikiran dengan bekerja. Baginya, tenggelam dalam kesibukan adalah cara terbaik untuk melupakan segala permasalahan.

Saat ia berjalan ke ruang makan, aroma sarapan menyeruak di udara. Ibunya sudah berada di sana, sibuk mengaduk sesuatu di wajan. Tanpa menoleh, ibunya mulai mengomel, seperti biasa. "Harusnya kamu di rumah, jaga Miko. Bukannya malah sibuk kerja terus. Suami baru sembuh, masa kamu tega ninggalin dia?"

Hima terdiam, menelan rasa kesal yang hampir meluap. Ingin rasanya membela diri, tapi sebelum ia sempat membuka suara, Miko tiba-tiba berkata dari arah pintu dapur, "Saya yang nyuruh Hima buat kerja hari ini, Bu."

Semua mata beralih ke Miko, yang kini berdiri di pintu dengan sikap tenang. "Hima sudah merawat saya dengan baik selama tiga hari ini. Saya lihat sendiri, dia nggak pernah ngeluh. Jadi saya nggak mau Hima suntuk karena harus diam di rumah terus," lanjutnya dengan suara tegas.

Hima tertegun. Ia menatap Miko dengan ekspresi terkejut, tak menyangka Miko akan berkata demikian. Kata-katanya menyentuh sesuatu dalam dirinya.

Ibunya, yang awalnya terlihat siap untuk membalas, terdiam sejenak sebelum bertanya, "Jadi, Miko juga kerja hari ini?"

Miko mengangguk. "Saya akan bekerja dari rumah, Bu. Tapi walaupun begitu, saya yang akan mengantar dan menjemput Hima ke kantor."

Ibunya terlihat ragu, kekhawatiran tampak jelas di wajahnya. "Tapi... kalau kamu masih sakit, kenapa mesti repot-repot nganter jemput Hima?"

Miko tersenyum tipis. "Saya lebih khawatir kalau Hima harus pulang-pergi sendirian, Bu. Lagipula, badan saya sudah cukup pulih dan harus mulai digerakkan lagi."

Tatapan Miko beralih ke Hima, penuh kelembutan yang selama ini jarang terlihat. "Dan satu lagi," ucapnya sambil melirik ke arah Hima, "selama saya sama Hima, saya nggak pernah merasa kelelahan. Karena Hima adalah satu-satunya tempat yang paling nyaman untuk saya."

Kalimat itu begitu sederhana, tapi menggema kuat di hati Hima. Seolah waktu berhenti sejenak, Hima hanya bisa memandang Miko, dadanya terasa hangat meski ada keraguan kecil. Apakah benar Miko merasakan itu? Dan jika iya, mengapa kata-kata itu baru terucap sekarang?

Ibu Hima tampak terkejut mendengar pernyataan Miko, tapi tak berkata apa-apa lagi. Sementara itu, Hima merasa hatinya perlahan-lahan mulai mencair, meskipun belum sepenuhnya yakin dengan perasaannya sendiri.

Di dalam mobil, Hima duduk diam, pandangannya terpaku pada jalanan yang membentang di hadapannya. Suara mesin mobil mengisi keheningan, tapi tak mampu menutupi suasana kaku yang melingkupi mereka berdua. Miko, seperti biasa, fokus menatap jalan tanpa sepatah kata pun. Hening. Tak ada obrolan ringan atau sapaan basa-basi.

Akhirnya, Hima menyeletuk dengan suara yang nyaris tak terdengar, "Kamu nggak perlu berakting kayak gitu di depan Ibu."

Miko melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali menatap jalan. Tapi senyum tipis muncul di sudut bibirnya. "Hima ini benar-benar perwujudan anak perempuan pertama, ya," ucapnya dengan nada menggoda.

Hima mengerutkan dahi, heran dengan komentar Miko. "Maksudnya apa? Emangnya ada apa dengan aku? Anak perempuan pertama di luar sana juga sama aja, kan?"

Miko tertawa kecil, lalu berkata, "Aku mulai takut sama sikap kamu yang kayak gini. Tapi jujur, aku juga lega. Setidaknya, sekarang aku tahu harus berbuat apa sekarang."

Hima hanya mendesah. "Kamu nggak perlu ngapa-ngapain, Mas."

Miko mengerucutkan bibirnya, pura-pura merajuk. "Seberapa nggak berhatinya aku di mata kamu sampai kamu bilang kayak gitu?"

RemedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang