Makan malam keluarga kim sedang berlangsung sekarang, dan sang kepala keluarga yang duduk diujung meja terlihat sesekali memperhatikan jennie yang diam menikmati makanannya.
Hingga akhirnya secara tak sengaja tatapan keduanya bertemu, cukup lama hingga woobin lebih dulu mengalihkan perhatiannya membuat jennie mengerutkan alisnya keheranan. Apalagi woobin terlihat menghela nafasnya beberapa kali setelah itu.
Tapi jennie tak memikirkan nya dan lanjut dalam rutinitas malamnya."Appa selesai, appa keatas duluan ne."
Pria itu kemudian berlalu setelah mengecup satu persatu kening putrinya, tidak termasuk jennie tentu saja."Jangan tidur terlalu larut."
"Nde appa."
Woobin dalam perjalanan kembali ke kamarnya terus saja bergelut dengan sesuatu yang ada dikepalanya. Sejak ia pulang dari pemakaman tadi siang ia terus saja memikirkan hal hal yang memusingkan menurutnya.
Woobin tidak ingin memikirkannya tapi hal itu terus memenuhi pikirannya juga perasaanya yang terasa gundah entah karena apa.
Dan hal itu juga tidak luput dari perhatian sang istri, hyojo sadar betul dengan tingkah suaminya sejak siang tadi, woobin terlihat lebih banyak diam dan sesekali hyojo melihatnya melamun.
"Ada apa woobin-ah."
"Mwo?."
Hyojo tahu dengan tingkah woobin ini pasti berhubungan dengan apa yang ia lakukan saat kunjungannya ke makam mendiang shin min ah. Tapi ia tetap bertanya. Hyojo hanya ingin tahu apa yang sebenarnya pria itu rasakan sekarang.
"Ada apa dengan tingkahmu hari ini? Kau terlihat lebih pendiam sejak kita pulang dari pemakaman."
Woobin menampilkan senyum yang sangat ia paksakan "tidak ada, aku hanya sedang merasa tidak enak badan."
"Benarkah?." Hyojo mendekat ia menempelkan telapak tangannya pada kening sang suami. Hangat.
"Yasudah, kalau begitu istirahatlah." Hyojo kemudian meminta woobin untuk berbaring dan ia memijat pangkal kepala pria itu lembut.
"Apa kau juga sakit kepala? Biar aku ambilkan kalau begitu."
"Tidak tidak, ini saja sudah cukup,.. gomawo."
Setelah dirasa woobin sudah terlelap, hyojo kemudian beranjak berdiri dan memandang wajah pria yang ia cintai itu.
"Entah sampai kapan kau akan menutup nya dariku, aku akan menunggu... tapi tidak untuk waktu yang lama."
Hyojo kemudian pergi dari sana, ia berniat menghampiri kamar putri putrinya untuk memastikan keadaan mereka. Terutama jisoo dan jennie.
Hyojo bukan nya diam selama ini, ia selalu mencari tahu bahkan ke seluruh pekerja di mension. Tetapi mereka selalu bungkam dan terlihat enggan untuk mengungkapkannya, dan hyojo tidak mungkin memaksa mereka.
.
.
.
."Kalian sungguh akan sekolah hari ini?."
"Ne eomma, sudah hampir 2 pekan kami tidak sekolah bagaimana jika kami tertinggal pelajaran, sebentar lagi kan ujian sekolah."
"Tapi kalian belum terlalu sehat, bagaimana jika besok saja."
Hyojo masih khawatir dengan kondisi jisoo dan jennie yang menurutnya belum sembuh sepenuhnya.
"Aku sudah baikan eomma, lihat aku sehat... Ya walaupun agak sedikit pusing kadang kadang. Jennie juga sudah baik baik saja. Iya kan?."
Jennie mengangguk menyetujui ucapan jisoo.
"Yasudah... Tapi kalian diantar sopir eoh? Eomma tidak ingin terjadi sesuatu pada kalian, jennie juga tangan kirinya jangan terlalu banyak digerakkan ingat!."
"Nde." Jawab keduanya.
Kemudian keduanya pergi setelah berpamitan pada hyojo, irene yang hanya bisa menghela nafasnya saja karena jisoo masih saja mengacuhkannya, begitu pula pada woobin.
.
.
.
."Sedang apa sayang?." Hyojo menghampiri irene yang berdiri di dapur bersandar pada lemari pendingin dibelakangnya.
"Jangan terlalu banyak melamun... Naik gih ke kamar, istirahat."
"Istirahat terus eomma, aku bosan." Hari ini tak ada kegiatan apapun jadi sejak pagi irene tak pergi kemana mana selain berdiam diri di kamarnya.
"Eomma sedang apa?."
Dia menghampiri hyojo yang terlihat berkutat dengan bahan masakan."Ingin membuat makan malam untuk kalian." Hyojo berbalik bersandar pada meja pantry. "Menu hari ini spesial, semuanya makanan kesukaan kalian."
"Wah.. kalua begitu biarkan aku membantu eomma."
"Tentu."
Irene melihat ibunya yang terlihat akan membuat sup mandu, ia pun mengerutkan keningnya. "Jisoo suka sup mandu eomma?."
"Eoh tidak sayang, ini favorit jennie."
Irene terdiam, mendengar itu seakan akan sesuatu menusuk hatinya. Diam diam sembari mengaduk adonan ditangannya hyojo tersenyum kecut. Tak heran jika memang putri sulungnya itu tah tahu tentang apapun yang adiknya sukai.
Makanan itu memang selalu terhidang di meja makan tapi irene tak tahu jika jennie sangat menyukainya.
Makan malam telah tiba dan seluruh keluarga kim telah duduk di kursinya masing masing.
Jisoo terlihat gembira melihat semua menu yang ada.
"Wahh.. ini semua makanan kesukaan kami eomma.""Nde sayang, habiskan eoh."
"Pastinya."
Hyojo baru saja akan mengambilkan sup untuk jennie tetapi di dahului jisoo yang dengan semangat menyinduk sup itu pada mangkuk jennie.
"Cah makan yang banyak." Ucapnya.
"Ekh.. terlalu banyak.."
"Ah nanti juga akan tetap habis. Makan saja."
Irene tak pernah memperhatikan jika memang saat jennie tengah melahap sup itu wajahnya terlihat berseri seri meski masih menunjukkan kesan datarnya. Gadis itu begitu lahap memakan satu persatu mandu di mangkuknya.
itu terlihat menggemaskan.
.
.
.
.Irene menoleh melihat jisoo yang sekarang ikut bersandar pada pagar pembatas balkon.
"Jisoo-ya."
Jisoo menghela nafasnya.
"Eonni, kau masih tidak ingin meminta maaf pada jennie?."Lagi lagi jisoo memintanya untuk meminta maaf pada jennie, irene tidak mau, ia tidak sudi karena ia kekeuh dengan pendiriannya jika memang jennie lah yang bersalah.
"Kali ini saja, kau sudah menyakitinya bukan hanya karena kata katamu tapi juga tanganmu itu."
"Tidak akan, dan dia pantas mendapatkannya."
"Astaga.." jisoo mengusap wajahnya kasar.
"Kau sangat kekanakan eonni."
"Apa kau bilang." Irene tak suka dengan apa yang jisoo katakan padanya.
"Maaf mengatakannya, tapi memang itulah faktanya. Kau lebih tua seharusnya kau bisa berpikir lebih dewasa."
Irene pikir jisoo terlalu berani mengatainya seperti itu.
"Ya sudahlah jika kau tidak mau."
"Aku... Aku akan meminta maaf."
"Jika kau terpaksa lebih baik tidak usah."
Irene menatap punggung jisoo yang semakin menjauh. Ia kemudian berbalik dan kembali menatap langit malam diatasnya.
'aku tidak mungkin melakukannya'
.
.
.
.TBC