bab 19

52 2 0
                                    

Setelah kejadian di taman sekolah, perasaan Vonzy menjadi campur aduk. Di satu sisi, dia teringat akan misinya untuk membuat kehidupan Vonzy dan langit bahagia, namun di sisi lain, perasaan aneh mulai muncul dalam hatinya. Dia tidak pernah membayangkan bahwa akan ada pria yang dijuluki monster shcool SMA negeri antarestu iyalah Langit yang tulus menyatakan perasaan padanya, meskipun dia tahu bahwa dalam alur cerita aslinya, Langit akan jatuh cinta pada Clara tapi sekarang malah sebaliknya.

Setibanya di kelas, Vonzy duduk di bangkunya sambil merenung. Pikirannya melayang-layang, antara memikirkan ucapan Langit dan kejadian-kejadian aneh yang terus terjadi dalam alur cerita ini. Namun, lamunannya terhenti ketika suara widya terdengar memanggil namanya. "Vonzy, fokus, ya! Hari ini ada tes Matematika dari Pak Iqbal," ujarnya sambil melemparkan senyum tipis.

Vonzy terkejut, "Tes? Hari ini?" Dia sama sekali lupa bahwa ada tes Matematika. Secepat mungkin, dia membuka buku catatannya dan mencoba memahami materi yang akan diuji. Sementara itu, widya memperhatikannya dengan mata penuh kekhawatiran. Dia belum pernah melihat Vonzy sedemikian gugup saat menghadapi ujian, padahal biasanya dia cukup tenang.

Saat tes dimulai, Vonzy berusaha keras untuk fokus, tapi pikirannya masih saja dipenuhi dengan wajah Langit yang tersenyum lembut dan kata-katanya yang penuh ketulusan. Akibatnya, dia sedikit kesulitan menjawab beberapa soal, hingga akhirnya dia hanya bisa berharap bahwa jawabannya cukup benar untuk membuatnya lulus.

Selesai tes, William, datang dari luar dan mendekati Vonzy dengan tatapan serius. "Vonzy, kita perlu bicara," katanya datar.

Vonzy sedikit terkejut dengan sikap William yang tiba-tiba serius, "Tentang apa?" tanyanya.

William menatapnya dengan dalam, seolah-olah dia sedang menimbang kata-kata yang akan diucapkannya. "Gue nggak suka lo deket-deket sama Langit," katanya tegas.

Vonzy mengernyitkan dahi, "Lo ngomong apa sih? Terserah gue donk mau dekat sama siapa aja,lo siapa sapri?."

William menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya. "Gue nggak peduli siapa atau apa, tapi gue bilang, lo milik gue titik."

Vonzy merasa sedikit kesal mendengar klaim William yang posesif itu. "Gue udah bilang, gue bukan milik siapa-siapa, oke? Dan lo nggak bisa ngatur siapa yang harus gue deketin," jawabnya tegas, meskipun hatinya berdebar.

Sebelum William sempat membalas, Arsenal tiba-tiba muncul dan langsung menarik Vonzy ke samping. "Von, gue butuh ngomong sama lo," katanya, suaranya terdengar sangat serius.

Sebelum vonzy menjawab wiliam menarik lagi vonzy dan terjadi lah tarik-tarikan. "Nggak, boleh Vonzy sama gue" ucapnya melihat kearah arsenal datar.

"Atas dasar apa lo, ngelarang-larang dia hah?" arsenal maju melangkah mendekati wiliam.

"Dia milik gue" jawabnya singkat.

Vonzy pun melerai perdebatan itu "udah-udah malah pada ribut, dan lo wil, dia disini, gue ikut arse!"

Vonzy kebingungan dengan situasi yang tiba-tiba ini, namun ia mengikuti Arsenal yang membawanya keluar kelas. Di luar, Arsenal tampak resah, dia terus melihat ke arah Vonzy seakan ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting. "Von, gue bener-bener bingung sama perasaan gue," ucapnya dengan nada yang penuh kebingungan. "Gue nggak tahu kenapa, tapi setiap kali gue lihat lo sama Langit atau siapa itu, hati gue kayak mau meledak."

Vonzy terkejut dengan pengakuan Arsenal. Dia tahu Arsenal adalah orang yang selalu memaki dirinya bahkan dulu perasaannya, tapi dia tak pernah menyangka Arsenal akan mengatakan hal ini. "Arsenal...," katanya pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat.

Namun, sebelum dia sempat bicara lebih lanjut, William yang tampak tidak senang melihat Arsenal berbicara dengan Vonzy, datang dan menatap Arsenal dengan tatapan tajam. "Lo nggak punya hak buat ngerasa kayak gitu, Arsenal. Vonzy itu milik gue," katanya dengan nada dingin.

Suasana menjadi tegang di antara mereka bertiga, hingga Vonzy merasa terjepit di tengah-tengah. Namun, sebelum situasi semakin memanas, suara bel tanda akhir kelas berbunyi, membuat mereka semua tersadar kembali akan kenyataan bahwa mereka masih di sekolah.

"Von, nanti gue jemput lo pulang," ucap Arsenal dengan nada rendah.

"Nggak dia balik sama gue" timpanya tidak mau kalah.

"Dia balik sama gue wil" balasnya juga tidak mau kalah.

"Sama gue"

"Sama gue"

"Udah-udah berisik kuping gue mau meledak, gue pulang sendiri puas kalian" ucapnya meninggal kedua pria tantrum itu.

Vonzy hanya bisa menghela nafas panjang, dia bingung akan situasi ini, kalo bisa pulang kedunia aslinya, dia memilih pulang karna disini dia malah stres menghadapi manusia-manusia fiksi ini, tapi dia bingung bagaimana dia bisa pulang ke dunianya.

'Lo yah vonzy, nyusahin gue, gue mau pulang tau, nggak mau disini' teriaknya dalam hati.

Hari itu, Vonzy menyadari bahwa hidup di tubuh orang lain tidak semudah yang dia kira. Dia harus menghadapi banyak sekali emosi dan perasaan yang saling bertabrakan, baik dari dalam dirinya sendiri maupun dari orang-orang di sekitarnya. Dan meskipun dia tahu bahwa tujuan utamanya adalah membuat Vonzy dan Langit bahagia, tapi jalan menuju ke sana sepertinya akan penuh liku dan air mata.

Widya pun menghampiri Vonzy dengan membawa pensil ditangannya. "Von, lo kenapa mukanya kusut amat? Belum disetrika yah?" tanyanya.

Vonzy melihat widya dengan tatapan ingin memangsa. "Hhe maaf kan gue cuman nya von, lo kenapa dah.." ucap widya karna takut diterkam vonzy.

"Biasa" jawabnya singkat hanya satu kata.

Widya pun hanya mengangguk karena bertanya pun vonzy nya sedang sensi, jadi dia mengajak vonzy untuk menemani nya aja. "Von, lo free nggak hari ini?" tanyanya.

"Ada apa emang nya" jawab vonzy.

"Gue mau main sama lo, mau yah! Yah! Yah!" ucapnya.

"Boleh"

Widya pun bersorak riang dan memeluk sahabat nya ini dari sisi sambil berjalan, tak lama mereka berdua pun sampai diparkiran.

"Kita mau main kemana von?" tanya widya.

"Rumah gue" jawabnya.

"Ooh... Boleh deh. Tapi anterin dulu gue pulang yahh"

"Hm, ayo" jawabnya memberi helm kearah widya.

Sebelum mereka beranjak pergi dari sana mahluk-mahluk yang biasa mengganggu vonzy datang dan mendekati dirinya.

"Halo neng vonzy apa kabar?" sapa arka dengan tampang humar nya.

Vonzy tak menghiraukannya dia langsung menancap gas dan meninggal mereka yang sedang tertawa riang.

"Si kocak malah dikacangin" ucap arka cemberut.

"Rasain" ujar mondi.

Xaliza pun tidak mau ketinggalan. "Kadang-kadang" tangah menggoda arka yang dikacangin vonzy.

"Mangkanya lo udah tau vonzy tuh jutek malah maen gitu aja" ucap andre tertawa pelan.

Arka pun hanya bisa pasrah ditertawakan oleh Sahabat-sahabatnya.

"Nanti malam ngumpul nggak nih?" tanya andre kepada semua temannya.

"Ngumpul" jawab wiliam dingin.

"Ehh boss, nanti kan akan ada balapan, ikutan ga nih?" tanya xaliza.

"Ikut"

Mereka semua pun pergi meninggalkan parkiran tersebut.

Transmigrasi Radewi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang