Semua berubah.

73 8 1
                                    

Di sore hari yang sendu, Marvin dan Bastian sedang duduk di gazebo taman di belakang rumah. Sebenarnya, Bastian lagi menemani abangnya yang galau, karena katanya gebetannya sudah punya pacar.

"Abang sedih, Bas. Dari awal kuliah sudah suka sama Nagita. Pas abang ajak ke kafe untuk makan siang, dia malah curhat tentang pacarnya. Beh, hati abang langsung sakit," ucap Marvin sambil menatap langit dengan tatapan sendu yang bikin Bastian muak melihatnya.

"Bang, udahlah sedihnya. Kalau dia jodoh abang, pasti kalian bakalan bersatu. Tenang aja, jodoh udah diatur oleh Tuhan. Jangan galau lagi, lah, soalnya muka abang jelek kalau galau," ucap Bastian sambil lari masuk ke rumah, menghindari amukan abangnya, karena wajah abangnya sudah merah.

Makan malam seperti biasa, tapi perasaan Bastian begitu tidak enak. Entahlah kenapa dia memiliki perasaan begitu.

"Mami, Papi, besok pagi temanin aku beli nasi uduk, yuk. Mami, Papi, dan Abang pasti suka, soalnya dulu aku diajak makan nasi uduk itu sama temanku," ucap Bastian, padahal sebenarnya dia hanya ingin bersama ibu dan ayahnya, dan penasaran bagaimana kehidupan mereka setelah Budi meninggal.

"Boleh deh, sekali-sekali kita makan di luar. Udah lama juga Papi gak makan nasi uduk," ucap Papi, menyetujui permintaan anaknya itu. Lagian, sudah lama juga dia gak makan nasi uduk.

"Yes, akhirnya makan nasi uduk! Besok harus bangun pagi, soalnya nasi uduknya cepat habis," ucap Bastian sambil lari ke kamarnya. Dia gak sabar menyambut hari esok.

Mami, Papi, dan Abang Marvin melihat tingkah Bastian hanya bisa mengelus dada. Mereka heran dengan sifat absurd Bastian itu, dari mana datangnya.

Pagi yang sangat cerah, Bastian alias Budi sudah siap dengan kaos dan celana training-nya. Dia tidak sabar ketemu sama orang tua dan ingin melihat perkembangan adiknya.

"Mami, Papi, Abang, ayok siap-siap. Nanti keburu habis nasi uduknya," ucap Bastian sambil lari ke garasi mobil.

"Sabar atuh, Dek. Abang aja baru bangun ini. Buru-buru amat. Kamu lari begitu bikin kami semua panik. Tahu kalau kamu jatuh masuk rumah sakit lagi, emang kamu mau?" ucap Marvin dengan nada tidak sukanya melihat tingkah adiknya yang membuat emosinya naik.

"Dengar kata Abang sekali lagi. Kalau kamu bandel, kamu dapat hukuman dari Papi, paham?" ucap Papi, Arsen, dengan gaya humoris khas bapak-bapak.

"Sudah, sudah. Jangan pada ribut. Ayo pada masuk mobil, nanti kehabisan nasi uduknya," Mami Putri berucap, dan semua langsung melaksanakan perintahnya.

Sesampainya di alamat tujuan, sudah tak ada ibu penjual nasi uduk. Bastian alias Budi bertanya pada salah satu tetangga kemana pindahnya ibu penjual nasi uduk, dan jawabannya bikin Bastian alias Budi sakit hati dan rasanya ingin menangis saat itu juga.

"Pak, maaf, saya mau bertanya. Ibu penjual nasi uduk di pojok sana pindah kemana, ya?" tanya Bastian pada warga yang kebetulan lewat.

"Setahu Bapak, semenjak anak pertamanya meninggal, mereka pindah ke kampung. Katanya di sini banyak kenangan tentang anaknya," ucap bapak tersebut dengan wajah yang agak sedih, soalnya penjual nasi uduk terenak di sini.

"Oh, gitu, ya, Pak. Terima kasih, Pak, infonya," ucap Bastian dengan nada ramahnya.

"Sama-sama. Kalau begitu, saya duluan, ya," ucap warga tersebut berpamitan untuk pergi.

"Mami, Papi, dan Abang, maaf, ya. Nasi uduknya sudah tutup. Kita makan yang lain aja," Bastian alias Budi merasa tidak enak hati, karena sudah jauh-jauh malah kejadian seperti ini.

"Udah deh, jangan sedih. Abang punya langganan nasi kuning, gak jauh dari sini," ucap Marvin. Memang, daerah ini tidak jauh dari kampusnya, kebetulan dia punya langganan nasi kuning di dekat sini.

"Ya udah, Bang. Kita makan di sana aja. Bastian, jangan sedih, ya. Kita happy-happy hari ini," ucap Mami Putri sambil mencubit pipi anaknya.

Mereka akhirnya makan nasi kuning. Entah mengapa, Bastian alias Budi merasa sedih dengan penjelasan bapak tadi. Sebegitu terpukulnya kedua orang tuanya kehilangan dia, sampai di rumah pun dia masih murung.

"Sayang, kamu kenapa? Dari tadi Mami lihat kamu murung terus. Apa kamu sakit?" ucap Mami Putri dengan wajah khawatir. Abang dan Papi pun juga memasang wajah khawatirnya.

"Tenang saja, semuanya. Bastian baik-baik saja. Kalau begitu, Bastian pamit ke kamar dulu," ucap Bastian yang langsung menuju kamarnya.

Bastian langsung menangis. Padahal dia ingin melihat wajah ibunya, sayangnya mereka sudah pindah. Rasanya sakit banget orang tersayang kita sekarang sudah jauh. Bastian berakhir tidur dengan wajah habis menangis.

"Budi, kamu jangan bersedih. Ibu dan Ayah sekarang hidup makmur di kampung. Sebentar lagi ibu kamu juga melahirkan. Dan aku berterima kasih atas berhasilnya kamu membalaskan dendamku," ucap Bastian asli dengan senyum di wajahnya.

"Iya, sama-sama. Gue juga terima kasih atas info tentang ayah dan ibu yang sebentar lagi akan melahirkan," setelah Budi berucap seperti itu, dia terbangun dengan kompres dingin di kepalanya.

"Tadi kamu dibangunkan Mami untuk makan siang, gak bangun-bangun, dan badan kamu panas tadinya. Kalau kamu gak sadar, mau kami bawa dokter, tapi akhirnya kamu sadar, jadi gak jadi deh," ucap mereka kompak, dengan Papi yang membawa air kompres yang baru diganti.

"Terima kasih, ya. Bastian sayang banget sama kalian. Maaf kalau Bastian sudah merepotkan kalian," ucap Bastian sambil menangis.

"Omong apa kamu? Tidak merepotkan kami. Udah sini, kita pelukan aja. Buang pikiran kamu itu," dan mereka pun berpelukan seperti Teletubbies.


Vote dan komen ❤️‍🔥

GUE JADI KAYA ! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang