•°ep. 19: touch°•

858 69 4
                                    

Ady mendongak, senyuman lebar langsung tercipta di bibirnya. Wajah Ady sekita berseri-seri dengan kepala yang semangat mengangguk.

"Dilebihin boleh? Dua puluh menit!"

Ernest mendengus. Ia melipat kedua tangan di depan dada seraya memandang kesal pada Ady. Anak edan ini mulai melonjak.

Ady cengengesan. Tabiat biadabnya telah kembali. "Lima belas menit?"

Tidak ada jawaban dari Ernest. Alisnya terangkat, ekspresinya seakan sarkas menghakimi Ady.

"Dua belas? please..?" Ady menawar sambil merengek tidak tahu malu.

"Oke! Sepuluh menit deh! Gimana?"

Ernest menghela napas. Ia yakin ini penawaran terakhir Ady. Dan jika tawaran ini tidak diterima, maka Ady tidak akan pernah berhenti merengek, bisa tahan sampai pagi menjelang.

Kepala Ernest bergerak naik turun, mengangguk. Menyetujui penawaran Ady sebelum telinganya kesakitan dan tuli karena akan mendengar ocehan non stop jika ia menolak.

Sementara Ady semakin senang bukan kepalang. Senyumnya seterang matahari, membuat Ernest jadi merasa silau sendiri.

"J-jadi.. boleh kan ini?"

Ernest mengangguk sekali lagi, lupa kalau Ady adalah manusia kurang validasi yang selalu perlu penegasan berulang kali.

"Gue nggak bakal ditampar lagi kan?"

"Sekarang atau enggak sa—"

"EH! IYA! IYA! IYA!" Ady menjawab gelagapan, ia dengan panik merentangkan kedua tangan. Bersiap-siap memeluk Ernest sebelum permintaannya tidak akan pernah di acc seumur hidup.

Ady mendekat dengan gerakan yang sangat pelan. Bahkan mungkin durasinya untuk bergerak menyentuh Ernest jauh lebih lama daripada ketentuan durasi pelukan mereka nanti.

Ernest berdecak tidak sabaran. Ia berinisiatif menggeser tubuhnya mendekat terlebih dahulu sebelum mengalungkan kedua tangannya di leher Ady.

"Kelaman," ucap Ernest pelan di dekat leher Ady.

Dan apa yang si kulkas Antartika lakukan membuat hati milik Ady langsung goyang daboy. Siapa yang tidak salah tingkah jika 'calon' gebetan bertindak demikian kepada kita?

Ady memberanikan diri untuk melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Ernest. Ia membenamkan wajahnya pada bahu si kakak kelas.

Radar indra penciuman Ady langsung menangkap aroma wangi yang membuai kenyamanan.

Dua menit berlalu, tidak ada pergerakan selain dada yang samar-samar bergerak naik turun karena mereka harus bernapas.

Ady nekat menempelkan hidungnya pada perpotongan leher Ernest. Aroma wangi yang diciumnya semakin semerbak pada area leher milik Ernest. Membuat Ady berkeinginan mengendusnya lebih dalam untuk menikmati aroma itu.

"Lo pake parfum apa?" tanya Ady dengan wajah tetap menempel pada leher Ernest. Gerakan bibirnya yang mengeluarkan pertanyaan menghantarkan sensasi geli pada kulit yang lebih tua.

"Parfum laundry."

Jawaban singkat Ernest mempercepat kerja nalar Ady selama beberapa detik sebelum anak bongsor itu kembali mengendus bau harum dari kakak kelasnya.

Benar saja, Ady samar-samar bisa mencium bau parfum laundry murahan yang juga sering dipakai ibunya di rumah untuk menyetrika.

Namun bau parfumnya sangat sedikit, dia lebih banyak mencium bau harum yang lain. Mungkin itu bau alami tubuh Ernest? Atau bau sabun mandi? Tapi Ernest belum mandi kan?

Ady terus menerus mengendus leher Ernest. Tanpa sadar wajahnya terus bergerak naik sampai di area telinga. Napas Ady yang berhembus kemudian menyentuh kulit semakin bisa dirasakan Ernest.

"Ady.."

Pelukan mereka mengendur, salah satu tangan Ernest mendorong pelan dada Ady untuk menahannya mendekat. Sementara yang lain menutup telinganya.

Ekspresi Ernest terlihat frustasi. Rona merah menghiasi pipinya. Ernest melirik Ady malu-malu seraya menyuarakan protes singkat.

"Jangan di telinga.."

Napas Ady tertahan, ada gejolak rasa yang tiba-tiba menyerang relung hatinya.

Ady mendadak sange.

Ia perlahan kembali mendekat. Mengikis jarak antara dirinya dan si kulkas Antartika. Hidung mereka bertemu, pandangan beradu dalam jarak hitungan sentimeter.

"Can we... Kiss?" 

__•°•__

Pertanyaan Ady mengundang keheningan. Ernest masih memproses apa yang baru saja ia dengar, pertanyaan macam apa yang baru saja di keluarkan lawan bicaranya?!

Ady itu memang resek. Sangat malah! Apa anak ini tidak kapok dimarahi Ernest setelah menciumnya sembarangan di club, atau menguntitnya ke mana-mana, atau membuatnya kesal setengah mati?!

Sepertinya Ady punya rencana gila untuk menyerahkan nyawanya pada yang maha kuasa dengan cara dibunuh Ernest.

"Ka-kalo lo nggak mau juga nggak apa-apa sih.. Heheh.. Lupain aja apa yang gue bil—" 

Kalimat garing Ady terhenti karena jari telunjuk Ernest yang tanpa bisa terprediksi sudah menempel pada belahan bibirnya.

"Gue benci disentuh," ucap Ernest setelah diam yang terasa sangat canggung. Sorot matanya memandang ke arah telunjuk yang masih bersentuhan dengan bibir  milik Ady.

Jari telunjuk Ernest mulai bergerak, mengusap apa yang disentuhnya dengan pelan. Merasakan rasa kenyal dari bibir si adik kelas.

"Inget kejadian di kantin waktu itu?" tanya Ernest kemudian, nadanya rendah. Ia kembali merapatkan dadanya pada tubuh Ady yang masih merangkul pinggangnya. 

"I-iya.." Ady menjawab gelagapan. Napasnya sekali lagi tertahan karena gerakan kecil dari Ernest yang dirasa terlalu intens.

Waduh, makin sange nih anak.

Dasar kelebihan hormon!

"Gue terkejut waktu itu karena sentuhan lo nggak kerasa menjijikan sama sekali."

Kini Ady yang dihampiri perasaan bingung. Menjijikan? Kenapa Ernest menganggap sentuhan sebagai sesuatu yang menjijikan?

"Tapi reaksi gue justru kebalik, maaf gue udah nampar lo," lanjut Ernest mengucap permintaan maaf  yang membuat Ady bergeming karena tertegun dengan apa yang si kulkas Antartika katakan padanya.

"Asal lo tau, Maria juga hampir nggak pernah nyentuh gue. Lo orang ke dua yang bisa gue terima sentuhannya."

__•°•__

To be continued...

Secret side: Ernest | BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang