•°ep. 24: gift°•

434 68 6
                                    

> Hari ke-21 taruhan Ady

"Gimana sekolahnya Bang?" tanya Prabu—ayah Ady yang baru pulang dari pekerjaannya di luar negri beberapa hari lalu, setelah menyeruput tehnya.

"Baik Pa."

Prabu menaikan sebelah alis setelah Ady memberi respon. Tidak biasa sekali anak sulungnya yang petakilan ini memberi jawaban singkat—bahkan terlalu singkat.

Karena biasanya akan ada pementasan wayang dengan Ady sebagai dalang jika Prabu menanyakan sesuatu begitu pulang dari kerjanya di luar negri.

"Kakak bilang Abang punya gebetan, siapa?" tanya Prabu lagi, mencoba memancing Ady.

Dan benar saja, pancingan Prabu berhasil mengusik Ady. Anaknya seketika menjatuhkan kepala di atas meja makan, di sebelah piring berisi roti bakar yang menjadi sarapan keluarga mereka pagi ini. 

Helaan napas berat terdengar, seakan menegaskan kegundahan yang melanda si cina kw jelmaan syaiton.

Ady bahkan tidak menghiraukan teriakan sang ibu yang marah karena tindakannya di meja makan.

"Gebetannya nggak sekolah tiga hari Pa, makanya Abang jadi gini," sela Dyas menghentikan omelan Linda. 

Prabu tersenyum tipis, ia mencondongkan tubuh karena mulai tertarik dengan kondisi Ady.

Menyaksikan putra sulungnya galau karena sedang kasmaran begini membuat Prabu ingin menjahilinya.

"Ouhh... Abang bikin dia kesel kali, maknya sekarang dia marah sampe nggak masuk tiga hari."

Ady terperanjat, perkataan Prabu menohok hatinya. Ia jadi over thingking.

Spekulasi Ayahnya mungkin benar karena ketika merawat Ernest kemarin, Ady suka mencari-cari kesempatan untuk bisa mengrapa-grepe si kulkas Antartika.

Apa Ernest benar-benar marah padanya kali ini?! 

Linda menampar lengan Prabu yang duduk di sebelahnya. Membuat pria paruh baya itu mengaduh dan tertawa ketika berhasil membuat anak sulung mereka hampir menangis. 

"Kamu pulang-pulang malah nyari ribut!" marah Linda, dan prabu nyengir kuda tanpa rasa bersalah. 

Ternyata bapaknya sama aja...

__•°•__

Kegalauan dan over thinking Ady berlanjut sampai jam pelajaran pertama di sekolah. Ia uring-uringan selama pelajaran yang tadi berlangsung.

Bahkan hampir mencari masalah karena gerakan pemanasan yang ia lakukan sebagai pemimpin tidak sesuai kode etik 'pemanasan sebelum olahraga'.

Ady melakukan split, dan teman-temannya di belakang terpaksa mengikuti apa yang ia lakukan sebelum guru penjas kembali dari ngising.

Kini Ady selonjoran di pinggir lapangan indoor sekolahnya. Tidak berminat bermain basket bersama yang lain.

Helaan napas dikeluarkan Ady untuk kesekian kali. Tiga hari Ernest tidak masuk, dan di hari ketiga ini juga Ady menginjak kaki di lapangan indoor sekolah—kebetulan karena sedang jam olahraga.

Tapi di luar itu, kedatangan Ady yang sesunguhnya bertujuan untuk mencari si kulkas Antartika atau hanya sekedar ingin mencuri dengar informasi yang mungkin berguna.

"WOE!! AWAS DY!!" 

Teriakan Jonathan membuyarkan lamunan Ady. Sebelum sempat memproses apa yang sedang terjadi, sebuah bola basket telah terlempar dengan kecepatan tinggi dan tinggal beberapa meter menghantam Ady.

Beruntung kejadian selanjutnya tidak sesuai prediksi kita semua. Bola basket itu tidak mengenai Ady, ada sesuatu yang menahannya agar tidak mengenai wajah Ady sebagai sasaran awal bola.

Dengan kejadian yang begitu cepat, Ady teperangah melihat si pelindung berdiri gagah di hadapannya. Satu tangan menahan bolah basket, sedangkan yang lain menenteng sebuah paper bag. 

"Ernest?" panggil Ady, suaranya lirih bernada keheranan dan senang. 

Ia segera berdiri dari duduk, senyum tolol mengembang sempurna di bibir Ady karena rasa girang melihat orang yang tengah dicari-cari selama beberapa hari belakangan ini.

"Lo udah sembuh? Gimana keadaan lo? Kok nggak masuk tiga hari sih?"

Kali ini Ernest yang menghela napas,  baru juga ketemu, jejalan pertanyaan sudah ia dapatkan dari si adik kelas dajjal. Ernest membalik badan seraya membuang bola basket yang tadi ia tangkap ke sembarang arah.

Namun setelah Ernest sempurna menghadap Ady, senyum lebar Ady perlahan berganti dengan raut bingung, khawatir dan marah begitu melihat luka di wajah Ernest.

Apa yang terjadi? 

Kenapa Ernest bisa terluka?

Darimana ia mendapat luka itu?

"LO KENAPA?! Ini bibir, pelipis, sama pipi lo kok pada ketempelan plaster luka gini?!" pekik Ady ngeri, ia mengguncang bahu Ernest sambil melontarkan pertanyaan yang semakin banyak.

"Ady."

Sekali Ernest memanggil, seketika si pemilik nama menghentikan aksi hebohnya dan berdiri tegak seperti baru mendengar aba-aba 'siap gerak'. Ady baru menyadari jika teman-temannya yang masih ada di lapangan tengah menonton mereka sedari tadi.

Tapi dari sisi pandang Ady, si kulkas Antartika terlihat tenang, tidak terganggu sama sekali dengan berbagai macam tatapan yang diberikan  para adik kelasnya. 

Ernest menyodorkan paper bag bawaanya pada Ady, tanpa berkata pun yang lebih muda mengerti jika Ernest pasti memberikan ini padanya. Jadi Ady menerima uluran paper bag dari Ernest meski masih merasa khawatir dan bingung.

"Makasih." 

Satu kata, hanya satu kata yang keluar dari mulut Ernest sebelum ia mengambil langkah cepat keluar dari lapangan indoor sekolah. Meninggalkan misteri juga banyak pertanyaan baik untuk Ady maupun adik kelasnya yang lain. 

Setelah Ady tersadar dari serangkaian rasa shock yang ia alami karena Ernest, kakinya segera bergerak. Seakan mengambil keputusannya sendiri untuk mengejar si kulkas Antartika.

"Jojo! Izinin gue sama Pak PJOK!" teriak Ady pada Jonathan—meski ia lupa nama guru yang baru saja mengajar kelasnya sehingga mengganti namanya dengan nama mapel yang beliau ajarkan, sebelum benar-benar keluar dari lapangan indoor sekolah menyusul Ernest.

"NAMA GUE BUKAN JOJO!!"


__•°•__

To be continued...

Secret side: Ernest | BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang