Elara mengatur napasnya saat pelayan mengumumkan kedatangan Duke Sebastian Blackwood. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, dan entah mengapa, tangannya terasa dingin.
Sebagai seorang wanita modern yang terbiasa dengan berbagai situasi sosial, dia merasa aneh sekali harus merasakan ketakutan seperti ini.
Namun, aura yang dibawa oleh Sebastian saat memasuki ruangan benar-benar membuat suasana berubah.
Dia melangkah masuk dengan langkah pasti, posturnya tegak dan wajahnya tanpa ekspresi. Mata birunya yang tajam seakan-akan bisa menembus apapun, membuat siapapun yang ditatapnya merasa kecil.
Ketika pandangan mereka bertemu, Elara merasa seperti tersedot ke dalam lautan es yang dalam dan dingin.
"Selamat pagi, Duchess," ucapnya, suaranya rendah dan dingin, mengiris udara seperti belati.
"Selamat pagi, Yang Mulia," jawab Elara dengan suara yang lebih lembut dari yang ia maksudkan. Dia mencoba menahan diri dari menciut di bawah tatapannya yang intens.
Sebastian menatapnya tanpa kata, seakan sedang menilai, menimbang sesuatu. Elara merasa bahwa dia sedang diuji, tetapi dia tidak yakin dalam hal apa. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia akhirnya berbicara lagi.
"Kau tampak... berbeda," katanya singkat, nada suaranya seolah mengisyaratkan bahwa dia menyadari sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Elara menahan napas. Apakah dia sudah menyadari bahwa jiwa dalam tubuh ini bukanlah istri aslinya? "Mungkin aku hanya sedikit lelah," katanya sambil memaksakan senyum, berusaha untuk tidak terlihat terlalu defensif.
Sebastian hanya mengangguk pelan, tampaknya tidak tertarik untuk menggali lebih dalam. "Pastikan kau beristirahat. Aku tidak ingin mendengar keluhan dari pihak keluarga lain," ujarnya dengan dingin sebelum berbalik, berniat untuk pergi.
Elara merasa hatinya mencelos. Itu saja? Begitu cepat dan tanpa basa-basi? Tapi sebelum dia bisa berpikir lebih lanjut, Sebastian sudah berada di ambang pintu.
Di detik-detik terakhir, Elara berusaha untuk menghentikannya. "Sebastian!" serunya tiba-tiba, membuat sang Duke berhenti dan menolehkan kepalanya.
Elara menggigit bibirnya, merasakan semua mata pelayan tertuju padanya. Dia tidak bisa membiarkan pertemuan ini berakhir dengan dingin seperti ini.
Mengingat semua novel dan film yang pernah dia tonton, dia memutuskan untuk mencoba humor sebagai pendekatan. Setidaknya, itu bisa mencairkan suasana yang kaku.
"Aku... Aku tidak tahu apakah kau tahu ini, tapi, sebenarnya aku adalah juara dalam kompetisi membuat lelucon buruk," kata Elara sambil tersenyum canggung, berharap setidaknya dia bisa membuat Sebastian tertawa atau setidaknya tersenyum.
Sebastian mengerutkan kening, jelas tidak mengerti arah pembicaraan ini. "Kompetisi membuat lelucon buruk?"
Elara mengangguk cepat, merasa bahwa dia sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang. "Ya, kau tahu... seperti ini. Mengapa pelayan membawa nampan? Karena dia tidak bisa membawa sofa!"
Keheningan menyelimuti ruangan, dipecahkan hanya oleh suara napas Elara yang mulai tak beraturan.
Di dalam hatinya, dia menunggu reaksi Sebastian—tertawa, tersenyum, atau bahkan marah—tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Sebastian menatapnya tanpa ekspresi selama beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Aku tidak mengerti leluconmu."
Elara merasa seluruh wajahnya memerah. "Oh, ya... Itu mungkin lelucon yang terlalu modern," jawabnya, mencoba menertawakan dirinya sendiri. Tetapi di dalam hatinya, dia merasa seperti ingin menghilang di tempat.
Sebastian hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya berkata, "Kita akan bicara lagi nanti." Dengan itu, dia meninggalkan ruangan tanpa mengucapkan kata-kata lain, meninggalkan Elara dengan rasa malu yang tak terukur.
Pelayan-pelayan di sekitarnya tampak bingung dan terkejut dengan apa yang baru saja terjadi, tetapi tidak ada yang berani mengatakan apapun.
Elara menghela napas panjang, merasa bahwa upayanya untuk mencairkan suasana telah gagal total.
Setelah kepergian Sebastian, Elara segera memanggil pelayan setianya, Lydia. Lydia adalah salah satu dari sedikit orang yang menyadari perubahan mendadak dalam sikap dan perilaku Elara sejak dia "bangun" di dunia ini.
Namun, bukannya ketakutan atau curiga, Lydia justru menjadi pendukung setia, melihat perubahan ini sebagai tanda keajaiban atau takdir.
"Milady, apakah Anda baik-baik saja?" Lydia bertanya lembut, memasuki ruangan dengan segelas teh hangat di tangannya.
Elara mengangguk, meskipun rasa malu masih menyelimutinya. "Aku pikir humor akan bekerja, tetapi ternyata tidak," katanya dengan getir.
Lydia menahan senyum, meskipun matanya memancarkan simpati. "Yang Mulia tidak terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Mungkin... pendekatan lain lebih baik untuknya."
Elara mengangguk pelan, menyadari bahwa Lydia benar. "Sebastian terlalu serius. Dia tipe yang lebih suka ketulusan daripada candaan ringan," pikirnya.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang, Milady?" tanya Lydia, siap membantu dengan rencana berikutnya.
Elara berpikir sejenak sebelum akhirnya tersenyum. "Aku akan mencoba mendekatinya dengan cara yang lebih langsung dan jujur. Mungkin aku perlu menunjukkan bahwa aku bukan hanya seseorang yang ingin mendapatkan perhatiannya, tetapi seseorang yang ingin mengenalnya dan berbagi beban yang dia pikul."
Lydia mengangguk setuju. "Itu adalah pendekatan yang bijak, Milady. Yang Mulia mungkin tidak menunjukkan banyak emosi, tetapi dia pasti bisa merasakan ketulusan."
Elara merasa lega mendengar dukungan dari Lydia. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi setidaknya dia tidak sendirian. "Terima kasih, Lydia. Aku akan membutuhkan bantuanmu dalam hal ini."
Lydia tersenyum hangat. "Saya selalu di sini untuk Anda, Milady."
Dengan semangat yang diperbarui, Elara mulai menyusun rencana langkah berikutnya. Kali ini, dia tidak akan membuang-buang waktu dengan lelucon yang tidak sesuai, tetapi akan menghadapi Sebastian dengan keberanian dan ketulusan yang tulus.
Ini adalah dunia yang asing baginya, tetapi dia bertekad untuk bertahan hidup dan, mungkin, memenangkan hati sang Duke yang dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Villainess Bride
RomanceSeorang perempuan terbangun dalam tubuh istri seorang penjahat yang terkenal dengan sifat dingin dan kejamnya. Dalam cerita asli, sang istri selalu menginginkan cinta suaminya, tetapi dia akhirnya mati karena pengkhianatan. Kini, dengan jiwa modern...