Pagi itu, udara di taman istana terasa sejuk, ditemani embun yang masih menempel di dedaunan. Bunga-bunga mekar dengan keanggunan yang membangkitkan keindahan alami sekelilingnya. Elara duduk di bangku taman, menikmati ketenangan yang jarang ia dapatkan dalam hiruk-pikuk kehidupan istana. Di tangannya, sebuah buku tipis yang ia baca dengan khidmat.
Namun, keheningan pagi itu segera terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Elara menoleh dan mendapati Julian Ashford berjalan pelan ke arahnya, wajahnya tampak serius namun penuh keraguan. Elara menyambutnya dengan senyuman hangat.
“Julian, ada yang bisa kubantu?” tanya Elara dengan nada ramah, meskipun dalam hatinya dia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dari tatapan Julian hari itu.
Julian duduk di samping Elara, mengambil napas dalam sebelum akhirnya berbicara. “Elara, ada sesuatu yang sudah lama ingin kukatakan padamu. Sesuatu yang selama ini kusembunyikan karena... aku tahu itu salah.”
Elara menatap Julian dengan penuh perhatian, mencoba memahami apa yang sedang dia rasakan. Julian, yang biasanya tenang dan penuh percaya diri, tampak sangat gelisah.
“Aku...,” Julian terhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Aku jatuh cinta padamu, Elara. Sejak pertama kali kita bertemu, aku tahu ada sesuatu yang berbeda darimu. Kau cerdas, kuat, dan—meskipun ini sulit kuakui—kau membuatku merasa hidup dengan cara yang tak pernah kurasakan sebelumnya.”
Elara terdiam, terkejut oleh pengakuan ini. Ia tahu bahwa Julian selalu memperlakukannya dengan baik, namun ia tak pernah menyangka perasaannya begitu dalam. Dalam keheningan itu, Elara merasa berbagai perasaan bercampur di dalam hatinya—kekaguman, rasa bersalah, dan... kesadaran akan perasaannya sendiri.
“Aku tak mengharapkan apa pun darimu,” lanjut Julian, suaranya melembut. “Aku hanya ingin kau tahu perasaanku, meskipun aku tahu kau mungkin tidak bisa membalasnya.”
***
Elara menarik napas dalam-dalam, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. Dia tidak ingin melukai perasaan Julian, tapi dia tahu bahwa dia harus jujur—terutama pada dirinya sendiri.
“Julian...,” Elara memulai dengan lembut, menatap mata sahabatnya yang kini dipenuhi dengan harapan sekaligus ketakutan. “Kau adalah seseorang yang sangat berharga bagiku. Kau selalu ada untukku, memberikan dukungan dan kekuatan ketika aku merasa rapuh. Tapi... aku tidak bisa membalas perasaanmu dengan cara yang sama.”
Julian menundukkan kepala sejenak, kemudian mengangkatnya kembali dengan senyum yang dipaksakan. “Aku mengerti, Elara. Kau tidak perlu merasa bersalah. Perasaan tidak bisa dipaksakan, dan aku tahu kau sudah mulai memiliki perasaan untuk Sebastian.”
Elara tersentak mendengar kata-kata Julian. Betapa tajamnya pengamatan Julian terhadap dirinya, hingga mampu membaca apa yang bahkan belum sepenuhnya ia sadari sendiri. Memang benar, meskipun pernikahannya dengan Sebastian dimulai dari ketidaksepakatan dan keraguan, semakin hari ia mulai melihat sisi lain dari suaminya yang membuatnya merasa terikat.
“Julian...,” suara Elara gemetar, namun matanya tetap menatap Julian dengan kejujuran yang tulus. “Sebastian dan aku masih jauh dari kata sempurna, tapi... ya, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda untuknya. Aku tahu ini mungkin tidak adil untukmu, tapi itulah kebenarannya.”
Julian mengangguk pelan, senyum yang lebih tulus akhirnya muncul di wajahnya. “Aku senang mendengarnya, Elara. Jika ada orang yang bisa membuatmu bahagia, aku harap itu adalah Sebastian. Kau layak mendapatkan kebahagiaan itu.”
***
Setelah percakapan itu, Julian memutuskan untuk tetap berada di sisi Elara, namun kali ini sebagai teman sejati yang mendukungnya dengan sepenuh hati. Mereka menghabiskan beberapa saat lagi di taman, berbicara tentang hal-hal yang lebih ringan, seolah-olah tidak ada yang berubah. Namun, di dalam hatinya, Elara tahu bahwa sesuatu telah berubah—dalam dirinya dan dalam pandangannya terhadap Sebastian.
Saat Julian akhirnya pamit untuk kembali ke urusannya, Elara tetap duduk di bangku taman, merenungi segala yang baru saja terjadi. Dia merasa lega karena Julian menerima keputusannya dengan baik, tetapi lebih dari itu, dia merasa keyakinan baru tumbuh di dalam dirinya.
“Sebastian...,” gumam Elara pelan, memikirkan suaminya yang dingin namun penuh teka-teki. Dia menyadari bahwa perasaannya terhadap Sebastian telah berkembang lebih dari sekadar kewajiban. Dia tidak lagi hanya berusaha untuk menyelamatkan pernikahan mereka; dia ingin memperjuangkannya.
Dengan tekad yang baru, Elara berdiri dan mulai berjalan kembali ke istana. Langkahnya lebih ringan, hatinya lebih mantap. Dia tahu bahwa jalan ke depan mungkin tidak akan mudah, tetapi dia siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Sebagai Duchess, sebagai istri, dan sebagai seorang wanita yang kini mulai memahami hatinya sendiri.
“Elara,” suara Sebastian tiba-tiba terdengar dari pintu masuk taman, menghentikan langkahnya. “Kau di sini.”
Elara menoleh, menatap Sebastian yang berdiri dengan sikap anggun namun penuh kebingungan. “Ya, aku di sini. Dan aku punya sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”
Tatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap itu, Elara merasakan keteguhan baru dalam dirinya. Ini adalah awal dari babak baru dalam hidup mereka, dan dia siap untuk menulisnya bersama Sebastian—apapun yang akan terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Villainess Bride
RomanceSeorang perempuan terbangun dalam tubuh istri seorang penjahat yang terkenal dengan sifat dingin dan kejamnya. Dalam cerita asli, sang istri selalu menginginkan cinta suaminya, tetapi dia akhirnya mati karena pengkhianatan. Kini, dengan jiwa modern...