Cahaya matahari pagi menyusup lembut ke dalam kamar, menghangatkan ruang yang sebelumnya dipenuhi dengan kekhawatiran dan ketakutan. Elara terbangun dengan perasaan ringan, meski tubuhnya masih terasa lemah akibat luka yang belum pulih sepenuhnya. Di sebelahnya, Sebastian duduk di kursi, membaca sebuah buku dengan tenang. Ketika menyadari Elara sudah terjaga, dia menutup bukunya dan tersenyum tipis, sebuah senyuman yang jarang terlihat di wajahnya.
“Kau sudah bangun,” katanya dengan suara lembut yang hanya dia simpan untuk Elara belakangan ini. “Bagaimana perasaanmu?”
Elara mengangguk pelan, berusaha bangun dari tempat tidurnya. “Lebih baik, meskipun masih agak lemas,” jawabnya sambil tertawa kecil, mencoba mengurangi kecemasan yang jelas tergambar di wajah Sebastian.
Sebastian menghela napas, lalu berdiri dan membantunya duduk dengan hati-hati. “Kau seharusnya tidak memaksakan diri, Elara. Istirahatlah lebih lama. Aku sudah mengatur agar semua urusan istana bisa diurus tanpa kita untuk sementara waktu.”
Mendengar perhatian Sebastian yang begitu tulus, hati Elara terasa hangat. Dia memegang tangan Sebastian yang masih menggenggam lengan bajunya, mencoba menenangkan kegelisahan yang masih tersisa di hati suaminya. “Terima kasih, Sebastian. Aku tahu kau mengkhawatirkanku, tapi aku lebih kuat dari yang kau kira.”
Sebastian menatapnya sejenak, matanya penuh dengan berbagai emosi yang sulit dijabarkan. Dia mengangguk, meskipun jelas masih ada dinding emosional yang dia bangun di dalam dirinya. “Aku tahu kau kuat, Elara. Tapi, aku tidak bisa kehilanganmu. Bukan setelah semua yang terjadi.”
Kata-kata itu, meski sederhana, membawa dampak besar bagi Elara. Untuk pertama kalinya, dia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Sebastian—sebuah langkah kecil menuju keterbukaan yang selama ini ia rindukan. “Aku tidak akan kemana-mana, Sebastian. Aku akan selalu di sini untukmu,” jawab Elara dengan kelembutan yang mendalam.
***
Hari-hari berikutnya berlalu dengan tenang di istana, jauh dari hiruk-pikuk intrik yang biasanya mengisi kehidupan mereka. Elara dan Sebastian menghabiskan waktu lebih banyak bersama, berbagi cerita dan pengalaman yang perlahan-lahan mempererat hubungan mereka.
Suatu sore, ketika hujan gerimis mulai turun di luar, mereka berdua duduk di ruang baca, menikmati kehangatan perapian. Elara, yang sudah lebih pulih, membuka percakapan tentang masa lalu Sebastian—sesuatu yang biasanya dia hindari.
“Sebastian,” panggilnya lembut, matanya menatap lurus ke arah suaminya yang sedang menyesap teh hangat. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang masa kecilmu. Tentang kenangan-kenangan yang membuatmu menjadi seperti sekarang.”
Sebastian terdiam sejenak, meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan. Dia menatap ke dalam api yang berkobar, seolah mencari kekuatan dari sana untuk berbicara. “Tidak banyak yang bisa diceritakan, Elara. Masa kecilku... bukanlah sesuatu yang ingin aku ingat.”
Elara mengangguk, memberikan waktu bagi Sebastian untuk menceritakan semuanya dengan caranya sendiri. “Aku mengerti. Tapi, aku di sini untuk mendengarkan, kapan pun kau siap.”
Suasana hening sejenak, hanya diisi dengan suara hujan yang turun di luar. Namun, kemudian Sebastian berbicara, suaranya pelan namun sarat dengan emosi. “Ayahku adalah pria yang keras. Dia selalu menginginkan aku menjadi sempurna—menjadi penerus yang kuat dan tidak bisa digoyahkan. Tapi, dalam prosesnya, aku kehilangan... diriku sendiri. Aku kehilangan kemampuan untuk percaya pada orang lain, bahkan pada diriku sendiri.”
Elara mendengarkan dengan penuh perhatian, hatinya tersayat mendengar cerita yang begitu penuh luka. “Kau tidak sendirian sekarang, Sebastian,” katanya lembut, meraih tangan suaminya dan menggenggamnya erat. “Aku di sini, dan aku ingin kau tahu bahwa kau bisa percaya padaku.”
Sebastian menatapnya, dan kali ini ada kilauan rasa syukur di matanya. “Aku tahu, Elara. Dan aku mencoba... untuk membuka diri. Tapi, itu tidak mudah.”
Elara tersenyum lembut, penuh pengertian. “Tidak perlu terburu-buru, Sebastian. Aku akan menunggumu, berapa lama pun itu.”
***
Malam itu, setelah pembicaraan mereka di ruang baca, Sebastian merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Dia merasakan kehangatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya—sebuah perasaan bahwa dia tidak lagi sendirian dalam menghadapi dunia ini.
Ketika mereka berdua bersiap untuk tidur, Sebastian, yang biasanya tidur dengan punggung menghadap Elara, kali ini berbalik dan menatapnya. Mata mereka bertemu, dan dalam keheningan malam itu, tidak ada yang perlu diucapkan. Mereka saling mengerti.
“Elara,” panggil Sebastian pelan, tangannya meraih tangan Elara yang tergeletak di antara mereka. “Aku tidak pernah mengatakan ini sebelumnya, tapi... aku sangat menghargai kehadiranmu. Kau membuatku merasa bahwa aku bisa menjadi seseorang yang lebih baik.”
Elara tersenyum hangat, merasakan detak jantungnya berpacu mendengar kata-kata tulus dari Sebastian. “Sebastian, kau sudah menjadi seseorang yang baik. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri seperti aku percaya padamu.”
Sebastian mendekat, menyentuh pipi Elara dengan lembut. “Aku akan berusaha. Demi kita.”
Malam itu, mereka tidur dalam pelukan satu sama lain, sebuah tanda bahwa dinding yang selama ini menghalangi mereka mulai runtuh, meskipun perlahan. Elara tahu bahwa ini adalah awal dari hubungan yang lebih mendalam dan penuh kepercayaan, meskipun Sebastian belum bisa mengungkapkan semua perasaannya secara langsung. Namun, dengan setiap langkah kecil yang mereka ambil, mereka semakin mendekat pada cinta yang sejati—cinta yang dibangun di atas kepercayaan dan pengorbanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Villainess Bride
RomanceSeorang perempuan terbangun dalam tubuh istri seorang penjahat yang terkenal dengan sifat dingin dan kejamnya. Dalam cerita asli, sang istri selalu menginginkan cinta suaminya, tetapi dia akhirnya mati karena pengkhianatan. Kini, dengan jiwa modern...