Bab 10: Sebuah Perjalanan

317 17 0
                                    

“Sudah terlalu banyak yang terjadi di istana,” kata Sebastian, suaranya tegas namun menyiratkan kelelahan. Elara menatap suaminya dengan prihatin, menyadari bahwa semua intrik politik telah menguras energi pria yang sekarang berdiri di depannya.

“Aku setuju,” jawab Elara pelan, tatapannya mengunci pada wajah Sebastian yang tampak lebih tenang dari biasanya. “Kita butuh tempat untuk berpikir, untuk menjauh dari semua ini.”

Sebastian mengangguk, setuju dengan cepat. “Ada sebuah wilayah terpencil di sebelah utara, milik keluarga kami. Tempat itu jauh dari istana, dari segala kebisingan dan masalah. Kita bisa pergi ke sana.”

Elara merasakan detak jantungnya sedikit lebih cepat. Ini adalah kesempatan langka untuk mengenal Sebastian lebih jauh, di luar lingkungan istana yang penuh tekanan. “Kapan kita berangkat?”

“Segera,” jawab Sebastian, matanya bersinar dengan tekad. “Aku akan memberi perintah untuk menyiapkan segala sesuatu.”

Mereka berangkat keesokan harinya dengan kereta, perjalanan yang awalnya terasa canggung karena kesunyian yang melingkupi mereka. Sebastian, seperti biasa, tampak tenggelam dalam pikirannya, sementara Elara berusaha mencari cara untuk memulai percakapan.

“Sebastian,” Elara akhirnya memecah keheningan, “Apa yang biasanya kau lakukan saat berada di sana?”

Sebastian menoleh padanya, sedikit terkejut oleh pertanyaan sederhana itu. “Aku... biasanya berburu, membaca, atau hanya menikmati kesunyian. Tempat itu selalu menjadi pelarian bagi keluargaku.”

Elara tersenyum kecil, merasa sedikit lebih dekat dengannya. “Aku tidak pernah berburu sebelumnya. Mungkin kau bisa mengajariku?”

Sebuah senyum tipis terlukis di bibir Sebastian, seolah ada sesuatu yang lucu baginya. “Aku tidak yakin kau akan menikmatinya, tapi kita bisa mencobanya.”

Setelah beberapa hari perjalanan, mereka tiba di wilayah terpencil yang dimaksud. Tempat itu adalah sebuah kastil kecil di tengah hutan, dikelilingi oleh alam yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk istana.

Elara merasakan udara segar yang menyegarkan dan perasaan damai yang jarang dia rasakan sejak bereinkarnasi di dunia ini.

“Kastil ini... indah,” ujar Elara, menatap bangunan batu yang sederhana namun kokoh.

“Ini memang bukan seperti kastil utama kita, tapi tempat ini selalu punya daya tarik tersendiri,” kata Sebastian sambil membuka pintu utama, membiarkan Elara masuk terlebih dahulu.

Hari pertama mereka dihabiskan dengan menjelajahi kastil dan daerah sekitarnya. Elara mulai merasakan relaksasi yang luar biasa, sesuatu yang sangat berbeda dari kehidupannya sebagai Duchess.

Di malam harinya, mereka duduk di depan perapian, sebuah kebiasaan sederhana namun penuh kehangatan.

“Sebastian,” kata Elara perlahan, memecah keheningan malam, “Apakah kau sering datang ke sini sendirian?”

Sebastian menatap api yang berkobar, ekspresinya merenung. “Ya, biasanya aku datang ke sini sendirian. Tempat ini memberikan kedamaian yang sulit kudapatkan di tempat lain.”

Elara mengangguk, memahami. “Aku bisa merasakannya. Tempat ini... sepertinya punya jiwa tersendiri.”

Sebastian tersenyum kecil, sebuah pemandangan yang sangat jarang terlihat oleh Elara. “Tempat ini memang istimewa. Dan kali ini, aku senang kau ada di sini bersamaku.”

Elara merasakan pipinya memerah sedikit. Dia menyadari bahwa untuk pertama kalinya, Sebastian secara terbuka menyatakan rasa senangnya atas kehadirannya. Ini adalah langkah kecil, tetapi sangat berarti bagi mereka berdua.

Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan kegiatan sederhana. Mereka berjalan-jalan di hutan, menikmati keindahan alam yang tenang. Sebastian, yang biasanya dingin dan tidak terjangkau, perlahan mulai membuka diri.

Mereka tertawa bersama saat Elara mencoba berburu, meskipun hasilnya lebih banyak tertawa daripada mendapatkan hasil buruan yang memuaskan.

“Aku tidak pernah berpikir bahwa memburu akan serumit ini,” kata Elara sambil terkikik, sementara Sebastian menunjukkan padanya cara memegang busur dengan benar.

“Kau terlalu bersemangat, itu masalahnya,” jawab Sebastian, senyumnya tampak lebih tulus daripada sebelumnya. “Tapi aku senang melihatmu mencoba.”

Malamnya, setelah kembali dari hutan dengan tangan kosong, mereka duduk kembali di depan perapian. Kali ini, keheningan di antara mereka bukanlah sesuatu yang canggung, melainkan sebuah kenyamanan yang datang dari saling memahami.

“Elara,” Sebastian memanggil namanya dengan lembut, matanya terfokus pada api, “Aku merasa... lebih tenang di sini. Kau membuatku merasa berbeda dari biasanya.”

Elara menatapnya, merasakan sebuah ikatan yang semakin kuat antara mereka. “Aku juga merasa begitu, Sebastian. Mungkin kita hanya butuh waktu untuk mengenal satu sama lain, jauh dari segala intrik dan masalah.”

Sebastian mengangguk pelan, kemudian beralih menatap Elara dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Aku tidak pernah mengatakan ini sebelumnya, tapi... terima kasih telah bertahan denganku. Aku tahu aku tidak mudah untuk dihadapi.”

Elara tersenyum hangat, merasakan hatinya menghangat. “Kita punya banyak waktu, Sebastian. Aku akan tetap di sini, di sampingmu, apa pun yang terjadi.”

Sebastian tidak menjawab dengan kata-kata, tapi tatapan yang dia berikan pada Elara sudah lebih dari cukup. Untuk pertama kalinya, mereka merasa bahwa hubungan mereka tidak hanya didasarkan pada kewajiban, tetapi juga pada rasa saling menghargai dan pengertian yang mulai tumbuh.

Perjalanan itu mungkin dimulai dengan canggung, tetapi pada akhirnya, keheningan dan kedamaian yang mereka temukan telah membawa mereka lebih dekat daripada sebelumnya.

Di tengah alam yang tenang, tanpa gangguan dari dunia luar, mereka mulai menemukan sesuatu yang selama ini hilang—perasaan yang tulus satu sama lain.

The Villainess BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang