Bab 17: Pengorbanan

225 9 0
                                    

Malam itu, hujan turun deras, menambah keheningan mencekam di sekitar istana. Elara berdiri di jendela kamarnya, menatap kelamnya malam dengan hati yang penuh kegelisahan. Dia baru saja mendengar dari Lydia bahwa para musuh Sebastian telah merancang rencana jahat untuk menyingkirkannya dari panggung politik. Rencana ini bukan hanya menyerang posisi Sebastian, tetapi juga mengancam nyawanya.

“Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi,” gumam Elara pada dirinya sendiri. Meski hatinya dipenuhi ketakutan, tekad kuat menguasai dirinya. Dia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk bertindak, untuk menunjukkan betapa berartinya Sebastian baginya, meskipun itu berarti harus mengambil risiko besar.

Elara bergegas keluar dari kamarnya, langkahnya cepat dan pasti. Di lorong, dia bertemu dengan Lydia yang menatapnya dengan penuh kecemasan. “Nyonya, apa yang akan Anda lakukan?”

“Aku harus menghentikan mereka, Lydia. Aku harus melindungi Sebastian,” jawab Elara tegas. “Ini satu-satunya cara.”

Lydia ingin memprotes, tapi dia tahu seberapa keras kepala Elara jika sudah memutuskan sesuatu. “Kalau begitu, biarkan aku ikut,” pintanya.

Elara menggeleng pelan. “Tidak, Lydia. Aku harus melakukannya sendiri. Kau tetap di sini dan pastikan tidak ada yang mencurigai apa pun. Kalau terjadi sesuatu padaku… jaga Sebastian, oke?”

Dengan berat hati, Lydia mengangguk dan menyaksikan Elara menghilang di balik pintu yang menuju ke bagian luar istana.

***

Elara menyelinap melalui lorong-lorong gelap istana, mencari jalan menuju tempat di mana musuh-musuh Sebastian dikabarkan akan berkumpul. Jantungnya berdebar kencang, tapi dia menolak membiarkan rasa takut menguasai dirinya. Dia tahu risiko yang dihadapinya, namun cinta dan tekadnya lebih besar dari segala ketakutan.

Saat tiba di ruang rahasia di bawah istana, Elara mendengar suara-suara orang berbicara dengan nada rendah. Dia bersembunyi di balik pilar, mencoba mendengarkan rencana mereka. Tidak lama kemudian, dia menyadari bahwa mereka berencana untuk menyerang Sebastian pada saat jamuan makan malam yang akan datang. Tanpa ragu, Elara keluar dari persembunyiannya.

“Berhenti!” teriak Elara, suaranya bergema di ruangan itu. Para pria berbalik dengan terkejut, melihat Elara berdiri dengan penuh keberanian.

“Apa yang kau lakukan di sini, Nyonya?” tanya salah satu dari mereka, suaranya penuh dengan ancaman.

“Aku tidak akan membiarkan kalian menyentuh Sebastian!” Elara menjawab dengan lantang, mencoba menyembunyikan rasa takut yang mulai merayap di dalam dirinya.

Seorang pria melangkah maju, senyuman jahat menghiasi wajahnya. “Kau pikir seorang wanita sepertimu bisa menghentikan kami?”

Namun sebelum dia bisa melakukan apa-apa, Elara mengeluarkan pisau yang disembunyikannya di balik gaunnya. Dengan cepat, dia menyerang pria itu, namun dalam kekacauan yang terjadi, Elara akhirnya terjatuh dan terkena luka parah di perutnya.

Rasa sakit yang menyengat membuatnya terhuyung, tapi dia tetap berdiri, menatap musuh-musuhnya dengan penuh tekad. “Aku lebih baik mati daripada membiarkan kalian menyakiti suamiku,” bisiknya dengan suara bergetar.

***

Elara terbangun dengan pandangan kabur, tubuhnya terasa sangat lemah. Dia berada di kamarnya, dengan cahaya lilin yang lembut menerangi ruangan. Ketika matanya mulai fokus, dia melihat sosok Sebastian duduk di samping tempat tidurnya, wajahnya penuh dengan kecemasan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

“Elara… kau akhirnya sadar,” kata Sebastian, suaranya pelan namun sarat dengan emosi yang sulit dijelaskan.

“Sebastian… apakah kau baik-baik saja?” Elara berusaha berbicara, meski setiap kata terasa seperti duri yang menyayat tenggorokannya.

Sebastian mengangguk, matanya yang tajam kini tampak lembut dan penuh rasa sayang. “Aku baik-baik saja berkat kau. Elara, kenapa kau melakukan ini? Kau bisa saja mati!”

Elara tersenyum lemah, mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Sebastian. “Aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Aku… aku mencintaimu, Sebastian. Aku rela melakukan apa saja untukmu.”

Air mata menggenang di mata Sebastian saat dia meraih tangan Elara dengan lembut. “Bodoh… kau bodoh sekali,” gumamnya, tetapi ada kehangatan dalam nada suaranya yang Elara belum pernah dengar sebelumnya.

“Kalau begitu, biarkan aku jadi bodoh selama itu untukmu,” jawab Elara, setengah bercanda meski suaranya terdengar lemah.

Sebastian tertawa kecil, meskipun masih dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku tidak tahu harus berkata apa, Elara. Kau… kau mengajarkan aku apa itu cinta yang sebenarnya.”

Dengan hati-hati, Sebastian membungkuk dan mencium kening Elara dengan penuh kasih sayang, meninggalkan perasaan hangat yang menyebar ke seluruh tubuhnya. “Aku akan menjagamu sekarang. Tidak akan ada lagi yang bisa menyakitimu. Aku janji,” katanya lembut, memandang Elara dengan mata yang penuh dengan kejujuran dan penyesalan.

Dan malam itu, di bawah hujan yang mulai mereda, hubungan antara Elara dan Sebastian berubah secara mendalam. Pengorbanan Elara tidak hanya menyelamatkan Sebastian dari bahaya, tetapi juga membuka hatinya untuk cinta yang sejati. Mereka tahu bahwa jalan di depan tidak akan mudah, tetapi selama mereka bersama, tidak ada yang tidak bisa mereka hadapi.

The Villainess BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang