Bab 4: Mencoba Mendekati Sang Suami

219 10 0
                                    

Elara berjalan pelan menyusuri lorong panjang istana yang sepi, menuju perpustakaan pribadi Sebastian. Sejak pertemuan pertama mereka, Sebastian selalu terlihat dingin dan menjauh, seolah kehadiran Elara tidak berarti apa-apa baginya.

Tapi hari ini, Elara memutuskan untuk mencoba pendekatan baru. Dia tahu bahwa perpustakaan adalah tempat favorit Sebastian—sebuah tempat di mana dia menghabiskan berjam-jam membaca buku dan mempelajari dokumen-dokumen penting.

Dengan hati yang berdebar, Elara membuka pintu kayu besar perpustakaan itu dan melihat Sebastian duduk di dekat jendela, tenggelam dalam sebuah buku tebal.

Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela besar, menyoroti rambut hitamnya yang berkilau dan bahu tegapnya yang kokoh.

“Elara?” Suara rendah Sebastian memecah kesunyian saat dia menyadari kehadirannya. Dia tidak terlihat terganggu, tetapi juga tidak menunjukkan minat yang nyata.

Elara tersenyum, berusaha menutupi rasa gugupnya. “Aku berpikir untuk mengunjungi perpustakaan ini. Aku penasaran dengan koleksi buku di sini.”

Sebastian mengangguk ringan, lalu kembali menatap bukunya. “Silakan saja.”

Elara berjalan mendekati rak-rak buku yang tinggi dan berdebu, melihat-lihat judul-judul yang tertata rapi. Dia merasa sedikit canggung, tidak tahu harus berkata apa lagi. “Apakah... ada buku yang kau rekomendasikan?” tanyanya akhirnya, berharap ini bisa menjadi awal percakapan.

Sebastian mengangkat matanya sekilas, tampak mempertimbangkan pertanyaan itu. “Tergantung. Apa yang menarik bagimu?”

Elara sedikit terkejut oleh pertanyaan itu, tetapi dia cepat-cepat merespon. “Aku suka cerita petualangan. Mungkin ada novel yang bagus?”

Sebastian tidak menjawab langsung, tetapi matanya kembali fokus pada buku di tangannya, seolah-olah dia tidak terlalu tertarik dengan topik itu. Elara merasa usahanya untuk mendekatkan diri tampaknya tidak berhasil, tetapi dia mencoba tetap tenang.

***

Elara mencoba beberapa kali lagi untuk memulai percakapan, tetapi setiap upaya tampak sia-sia. Sebastian selalu memberikan jawaban singkat atau hanya mengangguk tanpa menunjukkan minat lebih. Dia kembali tenggelam dalam dunianya sendiri, dan Elara merasa seperti bayangan yang tak terlihat.

Saat dia mengambil buku dari rak dan membukanya dengan acak, pikirannya melayang. Bagaimana dia bisa membuat Sebastian membuka diri?

Apakah semua usahanya hanya akan berakhir dalam kekecewaan? Dia telah berusaha keras untuk menunjukkan ketulusan dan minatnya, tetapi Sebastian tetaplah sosok yang misterius dan sulit dijangkau.

“Sebastian…” Elara mencoba sekali lagi, suaranya lembut namun penuh harap. “Apakah ada yang bisa kubantu? Mungkin… dengan pekerjaanmu?”

Sebastian menggelengkan kepala tanpa mengalihkan pandangannya dari buku. “Tidak perlu. Aku bisa menanganinya sendiri.”

Elara merasakan hatinya tenggelam. Usahanya untuk lebih mengenal Sebastian tampaknya tidak berhasil. Meskipun demikian, dia tidak ingin menyerah begitu saja.

Dia tahu bahwa menembus tembok pertahanan Sebastian tidak akan mudah, tetapi dia juga tidak ingin terus-menerus merasa terasing dalam pernikahan ini.

***

Saat Elara hampir menyerah, sebuah kejadian kecil terjadi yang merubah suasana. Elara berjalan menuju meja dengan cangkir kopi yang dibawanya dari dapur. Namun, saat dia mencoba meletakkannya di atas meja, cangkir itu tiba-tiba terlepas dari tangannya, jatuh dan tumpah tepat di sebelah buku yang sedang dibaca Sebastian.

“Oh tidak!” Elara berseru, panik melihat kopi yang mulai menggenang di atas meja.

Sebastian dengan cepat bereaksi, menarik bukunya ke atas dan menghindari tumpahan kopi. “Hati-hati!” ujarnya, terdengar lebih waspada daripada marah.

Elara segera meraih kain dari saku gaunnya dan mulai mengelap meja. “Maafkan aku, Sebastian! Aku tidak sengaja… Aku sungguh minta maaf!” Wajahnya merah karena malu.

Sebastian menatapnya sejenak, lalu tanpa diduga, dia tersenyum kecil—sebuah senyum yang nyaris tidak terlihat, tetapi cukup untuk membuat jantung Elara berdebar lebih cepat.

“Tidak apa-apa,” katanya dengan nada yang lebih lembut daripada biasanya. “Kau tidak perlu terlalu khawatir.”

Elara menatap Sebastian dengan mata besar, terkejut oleh reaksi itu. “Benarkah? Aku pikir kau akan marah.”

Sebastian menggeleng pelan. “Itu hanya kopi. Buku ini bisa diganti.”

Elara tertawa kecil, merasa lega. “Aku benar-benar kikuk, ya?”

Sebastian mengangkat bahu, masih dengan senyum tipis di bibirnya. “Mungkin sedikit.”

Ada keheningan sejenak di antara mereka, tetapi kali ini, itu bukanlah keheningan yang canggung. Elara merasakan sebuah kehangatan yang aneh, seolah-olah mereka baru saja berbagi momen yang lebih dalam daripada sekadar percakapan singkat. Mungkin insiden kecil ini adalah awal dari sesuatu yang lebih.

“Sebastian…” Elara memulai, tetapi dia tidak tahu bagaimana melanjutkan.

“Ya?” Sebastian menatapnya dengan penuh perhatian, seolah menunggu kata-kata berikutnya.

Namun, sebelum Elara bisa mengatakan apapun, pintu perpustakaan terbuka dan Lydia muncul dengan tergesa-gesa. “Milady, ada pesan penting dari Istana Kerajaan. Anda harus segera menanggapinya.”

Elara menatap Sebastian sejenak, lalu mengangguk pada Lydia. “Baiklah, aku akan segera ke sana.”

Sebelum pergi, Elara berbalik dan melihat Sebastian sekali lagi. Dia tersenyum padanya, dan kali ini, senyuman itu dibalas dengan tulus. Meskipun momen mereka terpotong, Elara merasa bahwa ada harapan. Dia belum sepenuhnya gagal.

“Terima kasih, Sebastian,” katanya pelan sebelum melangkah keluar.

Saat dia pergi, Sebastian kembali ke bukunya, tetapi kali ini, senyumnya masih tersisa di sudut bibirnya. Mungkin, hanya mungkin, pernikahan ini tidak akan seburuk yang dia kira.

The Villainess BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang