Bab 9: Masa Lalu yang Kelam

127 12 0
                                    

Hari itu, hujan turun dengan derasnya, menciptakan irama yang monoton di jendela kastil. Elara duduk di ruang baca, matanya menelusuri lembar demi lembar dokumen yang diberikan oleh Julian Ashford.

Julian, dengan wajah serius, menjelaskan bahwa dokumen-dokumen tersebut menyimpan kunci untuk memahami masa lalu Sebastian—dan mengapa dia menjadi pria yang begitu dingin dan tertutup.

“Elara, kau harus berhati-hati,” bisik Julian, matanya penuh kekhawatiran.

“Masa lalu Sebastian tidak hanya penuh dengan kesedihan, tetapi juga pengkhianatan yang mendalam. Ini bukan sesuatu yang mudah untuk dihadapi.”

Elara mengangguk pelan, memusatkan perhatian pada dokumen-dokumen itu. Saat dia membaca lebih lanjut, jantungnya terasa semakin berat.

Ternyata, Sebastian pernah dikhianati oleh orang yang sangat dipercayainya—seseorang yang dia anggap sebagai sahabat.

Pengkhianatan itu tidak hanya menghancurkan kepercayaan Sebastian pada orang lain, tetapi juga merusak kemampuannya untuk mencintai.

“Jadi, inilah alasannya...” Elara bergumam pada dirinya sendiri, hatinya dipenuhi dengan simpati. “Sebastian telah menutup dirinya dari dunia karena luka ini.”

Julian, yang berdiri di dekatnya, menatap Elara dengan serius. “Apa yang akan kau lakukan, Elara? Kau tahu bahwa Sebastian tidak mudah mempercayai orang.”

Elara menarik napas dalam-dalam, tekadnya semakin kuat. “Aku akan menunjukkan padanya bahwa aku berbeda. Aku ingin dia tahu bahwa tidak semua orang akan menyakitinya.”

***

Di hari berikutnya, Elara memutuskan untuk mendekati Sebastian dengan hati-hati. Dia tahu bahwa untuk membangun kepercayaan, dia harus bersabar dan tulus. Ketika dia memasuki ruang kerja Sebastian, dia melihat suaminya duduk di meja dengan ekspresi dingin seperti biasanya.

“Sebastian, aku ingin bicara,” kata Elara dengan suara lembut namun tegas.

Sebastian mengangkat alisnya, menatap Elara tanpa emosi. “Ada apa, Elara?”

Elara berjalan mendekat, mencoba menahan kegugupan yang merayapi dirinya. “Aku ingin kau tahu bahwa aku tidak akan pernah mengkhianatimu. Aku tahu kau sulit mempercayai orang lain, tapi aku di sini untukmu. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa kau andalkan.”

Sebastian menatapnya dalam diam, ekspresinya sulit terbaca. Setelah beberapa saat, dia berbicara dengan nada dingin. “Kata-kata mudah diucapkan, Elara. Tapi apakah kau benar-benar berpikir kau bisa menembus tembok yang telah kubangun selama bertahun-tahun?”

Elara tersenyum tipis, mencoba untuk tidak terpengaruh oleh sikap dinginnya. “Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi aku tidak akan menyerah. Setiap orang butuh seseorang yang bisa dipercaya, dan aku ingin menjadi orang itu untukmu.”

Sebastian menghela napas panjang, seolah-olah dia lelah dengan percakapan ini. Namun, di balik sikap acuhnya, ada sesuatu dalam matanya yang menunjukkan bahwa dia mendengarkan. Bahwa mungkin, di lubuk hatinya, dia ingin percaya pada seseorang lagi.

***

Malam itu, setelah Elara meninggalkan ruang kerja, Sebastian tetap duduk di mejanya, merenung. Kata-kata Elara terngiang-ngiang di kepalanya. Dia menginginkan untuk mempercayai Elara, tetapi bayangan masa lalu terus menghantuinya.

Beberapa jam kemudian, Elara kembali ke ruangan itu, kali ini dengan cangkir teh hangat di tangannya. “Aku membawakanmu teh, Sebastian,” katanya dengan senyum lembut.

Sebastian menatapnya sejenak sebelum menerima cangkir tersebut. Saat dia menyentuh cangkir itu, kehangatannya mengingatkannya pada sesuatu yang hampir dilupakannya—kehangatan yang berasal dari kepercayaan.

“Elara,” Sebastian akhirnya berbicara, suaranya pelan namun penuh dengan beban emosional. “Aku... tidak tahu bagaimana harus mempercayaimu. Setiap kali aku mencoba, bayangan pengkhianatan itu kembali menghantui. Kau harus mengerti, bukan aku tidak ingin mempercayaimu, tapi aku takut...”

Elara mendekatinya, duduk di sebelahnya dengan penuh perhatian. “Sebastian, aku di sini bukan untuk memaksa. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau tidak sendirian. Aku akan berada di sini, apa pun yang terjadi.”

Sebastian menundukkan kepalanya, berjuang melawan emosinya. “Aku takut... aku akan kehilanganmu seperti yang lainnya.”

Elara menggenggam tangannya, memberikan sentuhan yang menenangkan. “Kau tidak akan kehilangan aku, Sebastian. Aku berjanji akan tetap di sisimu, tidak peduli seberapa sulitnya.”

Air mata yang tak terduga menggenangi mata Sebastian, namun dia cepat-cepat menghapusnya. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahan, tapi kali ini, dia tidak bisa menahannya. “Elara...”

Dalam keheningan yang mengikutinya, Sebastian membiarkan dirinya tenggelam dalam kenyamanan yang diberikan oleh Elara. Itu adalah momen langka, di mana dia mengizinkan dirinya untuk merasakan dan menerima kehadiran seseorang di hatinya. Meski hanya sejenak, dinding yang mengelilingi hatinya mulai retak, memberikan secercah harapan bagi keduanya.

Elara tersenyum lembut, mengetahui bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dalam antara mereka. “Aku di sini, Sebastian. Selalu.”

Sebastian tidak menjawab, tetapi genggaman tangannya pada Elara mengencang, seolah-olah dia takut jika dia melepaskannya, kehangatan itu akan hilang selamanya.

Hari itu, di tengah keheningan malam, sebuah janji tak terucap tercipta di antara mereka—janji untuk mencoba, untuk mempercayai, dan untuk bersama melewati segala rintangan.

The Villainess BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang