Bab 23: Kembali ke Rumah

219 2 0
                                    

Setelah perjalanan panjang dan penuh makna ke kerajaan tetangga, Elara dan Sebastian akhirnya kembali ke tanah air mereka, Clairmond. Meskipun perjalanan itu telah mempererat hubungan mereka, mereka berdua merasakan ketegangan yang tak terucapkan saat istana Clairmond mulai tampak di kejauhan.

"Aku merasa lega akhirnya kita kembali," ujar Elara sambil menatap gerbang besar istana yang perlahan terbuka. Namun, ada kerutan di dahinya yang menandakan kekhawatirannya.

Sebastian mengangguk, ekspresinya tetap tenang meski pikirannya dipenuhi oleh berbagai kekhawatiran. "Ya, tapi aku punya firasat bahwa sesuatu telah terjadi selama kita pergi."

Begitu mereka memasuki halaman istana, Lydia, pelayan setia Elara, bergegas menyambut mereka. "Tuan putri, Yang Mulia, selamat datang kembali," sapanya dengan senyum hangat, tetapi Elara segera menyadari ketegangan yang tersembunyi di balik senyum Lydia.

"Ada apa, Lydia? Kau tampak khawatir," tanya Elara langsung, matanya yang tajam menangkap kegelisahan pelayannya.

Lydia melirik Sebastian sejenak sebelum menjawab dengan suara rendah, "Ada masalah di desa-desa sekitar. Para pemberontak lokal semakin berani, dan mereka tidak puas dengan pemerintahan Yang Mulia. Ada kabar bahwa mereka mungkin merencanakan sesuatu yang lebih besar."

Sebastian menghela napas dalam-dalam, menyadari bahwa istirahat yang mereka harapkan setelah perjalanan panjang itu tidak akan terjadi. "Aku harus segera mengurus ini," katanya dengan tegas.

Namun, sebelum Sebastian dapat melangkah pergi, Elara menahan lengannya. "Kita akan mengurus ini bersama," katanya dengan suara yang lembut namun penuh tekad. "Kita harus menghadapi ini sebagai pasangan, seperti yang kita lakukan di perjamuan."

Sebastian menatap Elara, dan untuk sesaat, matanya melembut. "Kau benar. Kita harus menghadapi ini bersama."

***

Elara dan Sebastian segera mengumpulkan dewan penasihat mereka di aula besar istana. Peta wilayah Clairmond terbentang di atas meja panjang, dan berbagai titik merah menandakan lokasi pemberontakan yang tersebar di seluruh negeri.

"Pemberontakan ini telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir," jelas salah satu penasihat dengan nada serius. "Mereka mengklaim bahwa pemerintahan Yang Mulia tidak adil, dan mereka menuntut perubahan."

"Ini lebih dari sekadar ketidakpuasan," tambah penasihat lain. "Ada seseorang yang menghasut mereka dari balik layar. Kita harus menemukan siapa itu dan menghentikannya sebelum keadaan semakin buruk."

Elara memperhatikan dengan seksama, mencatat setiap detail. "Apakah kita tahu siapa yang menjadi pemimpin pemberontak ini?" tanyanya, suaranya tenang tetapi penuh otoritas.

"Belum ada informasi pasti, tetapi kami menduga seseorang dari kalangan bangsawan yang tidak puas mungkin terlibat," jawab penasihat tersebut.

Sebastian menghela napas panjang, merasakan beban tanggung jawab yang semakin berat di pundaknya. "Kita harus bertindak cepat sebelum pemberontakan ini menjadi ancaman besar."

"Aku akan pergi ke desa terdekat dan berbicara langsung dengan rakyat," kata Elara tiba-tiba, membuat semua orang di ruangan itu terkejut, termasuk Sebastian.

"Tidak, itu terlalu berbahaya," balas Sebastian dengan nada tajam. "Aku tidak akan membiarkanmu mengambil risiko seperti itu."

Namun, Elara menatap Sebastian dengan tegas. "Rakyat perlu melihat bahwa kita peduli pada mereka. Mereka perlu tahu bahwa kita tidak hanya berdiam di istana, tetapi juga mendengar keluhan mereka. Aku bisa membuat mereka merasa didengar."

Sebastian menghela napas lagi, kali ini dengan nada lebih lembut. "Baiklah, tapi kau tidak akan pergi sendirian. Aku akan menemanimu."

Elara tersenyum tipis. "Itu yang aku harapkan dari seorang Duke yang bijaksana."

***

Ketika mereka tiba di desa yang paling terpengaruh oleh pemberontakan, Elara dan Sebastian disambut oleh pandangan curiga dan wajah-wajah tegang dari para penduduk. Sebastian, yang biasanya dikenal dengan sikapnya yang tegas dan tanpa kompromi, kali ini mencoba pendekatan yang berbeda.

Dia berbicara dengan pemimpin desa dengan penuh rasa hormat, mendengarkan setiap keluhan yang disampaikan. Sementara itu, Elara berkeliling, berbicara dengan wanita dan anak-anak, memastikan bahwa mereka merasa aman dan didengar.

Ketika seorang wanita tua dengan rambut abu-abu mendekati Sebastian dan Elara, matanya penuh kekhawatiran, Sebastian turun dari kudanya dan menatap wanita itu setara. "Apa yang bisa kami lakukan untuk membantumu?" tanyanya dengan lembut, suaranya dipenuhi oleh kejujuran yang jarang terlihat dari seorang bangsawan.

Wanita tua itu terkejut sesaat sebelum menjawab dengan suara gemetar, "Kami hanya ingin keadilan, Yang Mulia. Kami ingin merasa aman dan tidak dilupakan."

Sebastian mengangguk, dan tanpa ragu-ragu, dia memerintahkan para penjaga untuk membantu penduduk memperbaiki rumah-rumah mereka yang rusak akibat pemberontakan. Dia juga berjanji akan membangun kembali sekolah yang hancur dan memberikan bantuan bagi mereka yang membutuhkan.

Elara menyaksikan semua ini dengan perasaan hangat di dalam hatinya. Ini adalah sisi Sebastian yang jarang terlihat—sisi yang penuh perhatian dan peduli terhadap rakyatnya. Momen itu membuatnya semakin jatuh cinta pada suaminya.

Saat mereka bersiap untuk kembali ke istana, Elara meraih tangan Sebastian dan berkata, "Kau telah menunjukkan kepada mereka bahwa kau bukan hanya seorang Duke yang kuat, tetapi juga seorang pemimpin yang peduli."

Sebastian menatap Elara, dan untuk pertama kalinya, dia merasa tidak perlu menyembunyikan perasaannya. "Dan kau, Elara, telah menunjukkan kepadaku bahwa kita bisa menjadi lebih kuat jika kita bekerja bersama."

Mereka berdua tersenyum satu sama lain, dan saat itu, tanpa perlu banyak kata, mereka tahu bahwa hubungan mereka telah mencapai tingkat yang baru—sebuah kemitraan sejati, baik dalam cinta maupun dalam pemerintahan.

The Villainess BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang