Bab 5: Rencana Pertama Elara

174 10 0
                                    

Di ruang tamu istana yang megah, Elara duduk di atas sofa, dengan kepala yang dipenuhi berbagai rencana.

Setelah momen kecil di perpustakaan, dia merasa ada harapan untuk mendekatkan diri dengan Sebastian. Maka, dia pun memutuskan untuk merencanakan sesuatu yang lebih santai dan intim—sebuah piknik.

“Lydia, menurutmu, apakah Sebastian akan menyukai ide ini?” tanya Elara sambil memandangi pelayannya yang setia.

Lydia, dengan senyum lembutnya, menjawab, “Tuan Duke bukanlah tipe orang yang suka kegiatan luar ruangan, Milady. Tapi, mungkin dengan cara ini, Anda bisa membuatnya lebih terbuka.”

Elara mengangguk, meskipun dalam hatinya dia merasa sedikit ragu. “Aku akan mencoba. Mungkin suasana yang berbeda bisa membuatnya merasa lebih nyaman.”

Beberapa jam kemudian, Elara memberanikan diri untuk mendekati Sebastian di ruang kerjanya. Sebastian sedang sibuk membaca dokumen, wajahnya seperti biasanya, tanpa ekspresi.

“Apa yang kau butuhkan, Elara?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari kertas-kertas di hadapannya.

Elara menelan ludah, lalu menjawab dengan nada riang, “Aku berpikir... Bagaimana jika kita pergi piknik besok? Di kebun istana. Cuaca diprediksi cerah, dan—”

“Aku sibuk,” potong Sebastian cepat, suaranya dingin.

Elara terdiam sejenak, merasakan kegugupan yang semakin mendalam. Namun, dia tidak ingin menyerah begitu saja. “Sebastian, hanya beberapa jam saja. Kita bisa makan siang di luar dan menikmati udara segar. Ini... mungkin bagus untukmu juga.”

Sebastian akhirnya mengangkat pandangannya, menatap Elara dengan tatapan yang sulit ditebak. “Baiklah,” katanya akhirnya, meskipun nadanya tidak sepenuhnya meyakinkan. “Tapi jangan terlalu lama.”

Elara menghela napas lega, tersenyum. “Terima kasih, Sebastian. Aku akan memastikan semuanya siap.”

***

Keesokan harinya, Elara dan Sebastian duduk di atas selimut mewah yang terbentang di atas rumput hijau.

Meja piknik kecil di antara mereka dipenuhi dengan makanan lezat—buah segar, roti, keju, dan berbagai hidangan ringan lainnya. Burung-burung berkicau riang di atas pepohonan, dan angin sepoi-sepoi menambah kesejukan hari itu.

Namun, suasana di antara Elara dan Sebastian masih terasa canggung. Meskipun Elara berusaha untuk memulai percakapan ringan, Sebastian hanya menjawab dengan singkat, seolah-olah dia lebih tertarik pada pemandangan di sekitarnya daripada pada makanan atau bahkan pada Elara sendiri.

“Apakah kau sering datang ke kebun ini?” tanya Elara, mencoba memecah keheningan.

“Tidak sering,” jawab Sebastian singkat, sebelum memakan sepotong apel.

Elara menghela napas pelan, merasa frustasi. Dia sudah berusaha keras, tetapi tetap saja, Sebastian tampaknya sulit didekati. Namun, sebelum dia bisa memikirkan langkah selanjutnya, suara langkah kaki terdengar mendekat.

“Elara, Sebastian! Betapa tak terduganya bertemu kalian di sini,” suara Isabella Nightshade yang penuh kepura-puraan memecah ketenangan mereka.

Elara mendongak, melihat Isabella mendekat dengan senyum yang tampak manis, tetapi matanya penuh dengan niat tersembunyi. Pakaian Isabella yang mewah dan berlebihan membuat Elara merasa bahwa kehadirannya bukan kebetulan.

“Isabella,” Sebastian menyambutnya dengan anggukan singkat, tetapi tidak menunjukkan antusiasme.

“Aku sedang berjalan-jalan di kebun dan tak sengaja melihat kalian di sini. Bolehkah aku bergabung?” Isabella bertanya, meskipun jelas dia tidak benar-benar meminta izin.

Sebelum Sebastian bisa menjawab, Elara tersenyum dan berkata, “Tentu, Isabella. Tapi aku khawatir kami tidak punya cukup makanan untuk dibagikan. Mungkin lain kali?”

Isabella tampak sedikit tersinggung, tetapi dengan cepat menutupi ekspresinya. “Oh, tidak masalah. Aku hanya ingin mengucapkan salam.”

Setelah beberapa saat basa-basi, Isabella akhirnya pergi dengan senyum tipis. Elara menghela napas lega, sementara Sebastian menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Kau menangani situasi itu dengan baik,” kata Sebastian tiba-tiba, membuat Elara terkejut.

Elara tersenyum kecil. “Aku hanya tidak ingin piknik kita terganggu. Lagipula, ini waktu kita.”

***

Setelah kepergian Isabella, suasana di antara mereka menjadi sedikit lebih santai. Elara melihat bahwa Sebastian tampaknya tidak lagi terlalu kaku, meskipun dia tetap diam.

“Elara...” suara Sebastian terdengar lebih lembut kali ini, seolah-olah ada sesuatu yang ingin dia katakan tetapi ragu.

Elara menoleh, menatapnya dengan mata penuh harap. “Ya, Sebastian?”

Sebastian terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku tahu kau berusaha keras untuk mendekatiku. Dan... aku menghargai itu.”

Kata-kata itu sederhana, tetapi bagi Elara, itu adalah sebuah pengakuan yang besar. Dia tersenyum, merasa lega dan sedikit terharu. “Aku hanya ingin kita bisa lebih mengenal satu sama lain, Sebastian. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku percaya kita bisa melakukannya.”

Sebastian mengangguk pelan. “Aku juga percaya. Meskipun aku tidak selalu menunjukkannya.”

Momen itu, meskipun singkat, membuat Elara merasa bahwa usahanya tidak sia-sia. Ada sesuatu yang berubah, meskipun sedikit, di antara mereka. Mungkin, hubungan mereka tidak akan langsung membaik, tetapi setidaknya, ada harapan.

Sebastian mengambil cangkir teh dan mengangkatnya sedikit ke arah Elara. “Untuk hari ini,” katanya singkat.

Elara tersenyum dan mengangkat cangkirnya juga. “Untuk hari ini, dan untuk hari-hari yang akan datang.”

Mereka bersulang dalam diam, menikmati momen kebersamaan yang penuh harapan. Mungkin, langkah pertama menuju kebahagiaan dalam pernikahan mereka sudah dimulai.

The Villainess BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang